Kamis, 20 Februari 2020

E. Mohd. Iskandar: "GUNUNG WANG" ( Cerita Rakyat Kutai )

Blog Sita : Nina Bobo
Jumat, 21 Febuari 2020-06.45 WIB
 
Image "Buku Kumpulan Cerita Rakyat Kutai" (Foto : SP)
Buku Kumpulan Cerita Rakyat Kutai



Sita
Jika kita menyusuri sungai Tenggarong dari muara, setelah memakan waktu lebih kurang dua jam dengan memakai perahu, maka kita akan sampai ke suatu tempat yang disebut Teriti. Dari sini memudik lagi kira-kira seperempat jam, kita akan menemui pula perkampungan transmigrasi yang disebut Bekotok. Kalau kita teruskan perjalanan sampai memakan waktu kira-kira sepuluh menit lagi, maka kita akan sampai ke Melulu, suatu tempat bekas benteng pertahanan Pahlawan Awang Long Senopati, ketika mempertahankan kota Tenggarong dari serangan Belanda.

Dari sini kita mencoba naik ke darat menyerong sedikit ke hilir, maka kita akan menemui gunung yang disebut Gunung Wang. Mengapa dan apa sebabnya dinamakan Gunung Wang? Baiklah kita ikuti sekelumit kisahnya sebagai berikut.

Tersebutlah pada waktu itu, di daratan Meluhu dua orang bersaudara, adik dan kakak yang hidup dengan berladang dan mencari hasil hutan lainnya. kedua kakak beradik ini sangatlah rajin bekerja, namun dalam segi pembawaan dan watak, mereka sangat berbeda.

Si Kakak, keras kemauan, pantang mundur, dan rajin bekerja, tetapi mempunyai satu cacat. Elain lekas naik pitam, ia juga mempunyai satu sikap tercela, yaitu tamak. Sedangkan si Adik, mempunyai sifat sabar, lemah-lembut, dan pendiam, seperti orang bodoh tampaknya.

Dalam kehidupan mereka sehari-hari, jika sampai waktu makan si Adik kebetulan dapat makan bersama-sama dapat diartikan bernasib baiklah bagi si Adik. Tetapi jika si Kakak yang terdahulu makan, maka akan sial bagi si Adik, karena makanan apa saja yang ada pasti akan licin dan tandas dimakan oleh si Kakak. Dalam hal ini si Adik bukannya marah atas kelakuan kakaknya yang demikian itu, tetapi sebaliknya ia hanya diam saja.

Demikianlah hidup kedua adik-kakak ini, hingga makin lama hubungan mereka semakin memburuk. Demikianlah si Adik akhirnya lebih senang mengasingkan diri, walaupun mereka hidup dalam satu pondok.

Pada suatu hari, si Adik mendapat seekor binatang landak akibat terkena jerat yang dipasangnya. Setelah disembelih, landak itu lalu dibersihkan dan dipotong-potong, kemudian disalai. Sementara menunggu Sali tersebut menjadi kering, rupanya si Adik tertidur dengan nyenyaknya. Pada saat itulah tiba-tiba datang.

Demi melihat daging landak setengah masak di atas salaian, timbullah seleranya. Diam-diam didekatinya salai landak itu, lalu dimakannya sampai habis. Setelah itu ia pergi dari tempat itu.

Ketika si Adik terbangun dan melihat salai daging landak tidak ada lagi, ia pun merasa heran sambil berkata,“Siapakah gerangan yang memakan salai daging landak ini?” belum selesai si Adik bicara menyahutlah kakaknya,“Akulah yang memakannya.”

Mendengar itu, maka terdiamlah si Adik. Ia sangat marah atas perbuatan kakaknya itu, namun ia berusaha sabar dan menahan nafsunya. Jika disahut dan melawan, sudah barang tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik bagi mereka berdua. Karena itulah si Adik lalu berjalan meninggalkan pondok. Ia menyadari, bahwa kakaknya ingin menang sendiri. Agar jangan sampai timbul perpecahan yang lebih parah, maka si Adik mengalah untuk kebaikan. Biarlah segala perasaan kasih dikorbankan dulu, demi kebaikan bersama. Lebih baik kasih dari jauh daripada dekat tetapi merusak kasih sayang.

Demikianlah setelah mengemasi segala barang-barangnya dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya, ia pun berjalan tak tentu arah tujuan. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah sang Adik di sebuah gunung yang tampaknya sangat angker. Gunung itu tidak seberapa tingginya, namun cukup melelahkan untuk mendakinya. Ketika sampai di pertengahan gunung itu, ia pun duduk melepaskan lelah sambil menikmati keindahan alam di sekitarnya. Burung-burung berkicau merdu bagaikan memberi sambutan selamat datang atas kehadirannya. Angin bertiup sepoi-sepoi memberi kesegaran pada badannya yang sedang kelelahan yang membuatnya tertidur pulas.

Di antara sadar dan tidak, ia bermimpi melihat seorang laki-laki tua datang menghampirinya. Berpakaian serba putih, berkumis lebat, berjanggut  panjang sampai ke dada, berwarna putih laksana kapas. Setelah dekat, orang tua itu berkata,

“Anakku, engkau telah datang ke tempatku ini secara kebetulan, karena memang aku sedang menunggu kedatangan seseorang yang akan aku berikan kepada seseorang yang memiliki sifat sabar, karena dengan kesabaran itu ia akan selamat. Dan sifat sabar itu nampak jelas sekali ada pada dirimu. Oleh karena itu pergunakanlah harta yang kuberikan ini dengan sebaik-baiknya. Dan aku berpesan wanti-wanti kepadamu! Janganlah kau pergunakan harta ini ke jalan yang salah!”.

Demikian pesan orang tua itu sambil mengarahkan telunjuknya ke arah lubang yang berada di sebelah kanan sang pemuda seraya berkata,
“Anakku, itu di sebelah kananmu ada sebuah lubang. Kau masuklah ke dalam lubang itu. Di dalam lubang itu engkau akan menemukan barang. Ambil dan pergunakanlah sebaik-baiknya. Akan tetapi aku mengharap jika nanti  engkau hidup senang dari hasil pemberianku engkau jangan menjadi orang yang tamak, loba dan serakah. Berbelaskasihanlah kepada orang yang menderita dan kesusahan. Berilah pertolongan kepada mereka!”
“Oya, satu lagi pesanku kepadamu anakku! Keberadaan lubang gua ini jangan sampai kau beritahukan kepada orang lain, sekalipun itu adalah saudara kandungmu sendiri. Kalau engkau memberitahukannya, maka akan terjadi suatu peristiwa di luar dugaanmu. Jika sudah terjadi demikian, lubang gua itu bersama seluruh isinya akan kuambil kembali, dan akan aku lenyapkan dari pandangan matamu. Hanya dengan memelas dan sajian, maka lubang gua ini akan tampak. Itu pun dengan syarat harus dengan darah dan kepala manusia. Ingatlah akan pesanku ini, cucuku!”

Demikianlah pesan yang amat keras dari orang tua itu lewat mimpi yang dialami oleh si pemuda. Setelah berpesan demikian orang tua itu pun lenyap. Sang pemuda mengucak-ucak matanya, dikumpulkan kembali ingatannya mencoba mengingat-ngat kembali segala perkataan orang tua yang datang lewat mimpinya tadi. Ketika ia melihat ke atas, matahari telah condong ke barat pertanda hari sudah menjelang sore.

Agar jangan sampai waktu terbuang percuma dengan pikiran yang bukan bukan-bukan, ia pun lalu bangkit berdiri sambil menyandang sikutan (tas ransel) yang dibawanya, pergi mencari lubang gua sebagaimana telah diberitahukan oleh orang tua yang datang lewat mimpi yang dialaminya tadi. Ia pun menoleh ke arah lubang gua yang terletak di sebelah kanan tempatnya tidur dan bermimpi tadi. Memang benar di sebelah kanan tempatnya berdiri, tampak lubang gua tersebut. hatinya berkata,

“Apakah itu gua yang dimaksud oleh orang tua tadi? Jika demikian sebaiknya aku menuju ke lubang gua itu”.  Segera ia pun melangkahkan kakinya menuju ke lubang gua itu lalu masuk ke dalam guaitu dengan tanpa rasa takut sekalipun.

Alangkah terkejutnya ia setelah berada di dalam gua itu. Berulang kali dikucak-kucak matanya, kalau-kalau apa yang dilihatnya hanyalah dalam mimpi belaka saja. di dalam gua itu, dilihatnya sarang burung putih memenuhi di sekeliling dinding gua tersebut. setelah menyaksikan dan membenarkan bukti kebenaran sebagaimana yang telah dikatakan oleh orang tua berjanggut putih di dalam mimpinya ia kembali keluar. Diletakkannya sebuah batu yang agak besar di mulut gua sebagai tanda. Setelah itu ia menuruni kembali gunung itu. Setiba di kaki gunung didirikanlah sebuah pondok tempat kediamannya.

Keesokan harinya pergilah ia ke gua itu kembali dan langsung mengalap sarang burung yang banyak berada di seluruh dinding gua. Demikianlah selanjutnya ia begitu rajin mengalap sarang burung itu lalu dikumpulkannya, setelah banyak barulah ia menjualnya ke pasar. Hidupnya pun mulai nampak sejahtera, dan harta bendanya semakin lama semakin bertambah banyak.

Diceritakanlah si Kakak yang bersifat tamak, semenjak ditinggal oleh adiknya beberapa waktu yang lewat, justru hatinya malah merasa puas dan senang hidup sendiri, oleh karena tidak lagi harus berbagi dengan adiknya. Apa saja yang didapatnya hanya untuk dirinya sendiri. Untuk mencari adiknya yang pergi tiada terlintas sama sekali dalam hatinya.

Pada suatu ketika ia pergi berburu. Sudah seharian penuh berjalan, tak seekor binatang buruanpun yang dijumpai. Ia terus berjalan dan berjalan sampai masuk ke dalam hutan, namun usahanya untuk mendapat binatang buruan sia-sia belaka.

Ketika sang surya hampir tenggelam masuk keperaduannya, tibalah ia di tempat adiknya yang ketika itu sedang ada beristirahat di dalam pondoknya. Demi mendengar ada suara orang di bawah bukit, maka menengoklah si Adik ke bawah bukit. Betapa sukalah hati si Adik demi melihat bahwa yang datang adalah kakaknya sendiri. Maka diajaknyalah kakanya itu tanpa rasa syak wasangka dan curiga sedikit pun juga. Diajaknyalah kakaknya itu masuk ke dalam pondoknya. Setelah duduk, disuguhlah kakaknya itu dengan makan dan minum dan diajaknya bermalam d pondoknya bahkan diajaknya untuk tinggal bersama. Menerima kebaikan dari si Adik, si Kakak sunguh senang ia tidak menolak ajakkan saudaranya itu.

Pada malam harinya, mereka masing-masing bercerita tentang keadaan mereka masing-masing. Si Kakak bertanya kepada adiknya,

“Dik, dari mana engkau mendapat harta demikian banyak karena setahuku sejak engkau pergi meninggalkan rumah kita dulu kira-kira baru sekitar tiga purnama, tetapi aku melihat hidupmu sudah senang, sejahtera dan berharta pula, sedangkan aku tidak lebih dan tidak kurang masih seperti dulu saat kita masih tinggal berkumpul bersama-sama?!”  Demikian tanya si Kakak kepada adiknya. Si Adik pun menjawab,

“Yah...kak! beginilah kisahnya. Pada waktu aku pergi meninggalkan pondok kita dulu, setelah salai daging landakku habis Kakak makan, aku berjalan tanpa tujuan. Kepergianku itu tidak lain, menjaga agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama. Oleh karena antara Kakak dan aku memiliki perbedaan watak yang bertentangan. Secara tidak kakak sadari Kakak maunya ingin menang sendiri, lebih-lebih lagi sifat tamak yang Kakak miliki. Justru itulah aku berpendapat lebih baik aku pergi”.  Demikian tutur si Adik. Sejenak kemudian melanjutkan ceritanya lagi,

“Setelah lama lama aku berjalan, aku sampailah ke gunung ini, lalu kudaki sesampai di pertengahan gunung ini aku pun beristrirahat melepaskan rasa lelah sampai aku tertidur pulas. Di antara sadar dan tidak, aku bermimpi didatangi oleh seorang laki-laki tua yang memberitahu aku bahwa di lubang gua tempat bersarang burung-burung itu terdapat sarang-sarang burung di seluruh dinding-dindingnya. Dan apa yang terjadi selanjutnya kakak dapat saksikan sendiri. Karena kakak adalah kakak kandungku sendiri, maka kakak besok kuajak pergi mengalap sarang burung di dalam gua itu”. Demikian si Adik begitu terusterangnya menceritakan kepada saudaranya. Rupanya ia lupa akan pesan wanti-wanti dari sang kakek tua agar tidak menceritakan kepada siapa saja meskipun itu adalah kakak kandungnya sendiri.

Betapa amat gembiranya hati si Kakak demi mendengar penuturan cerita dari si Adik yang begitu terus terang. Terbayanglah di pelupuk matanya, bagaimana jika kelak dia akan menjadi seorang kaya raya. Apalagi jika gua itu telah dikuasainya oleh dirinya sendiri.

Keesokan harinya, ketika fajar telah menyingsing, kedua kakak beradik itu mendaki gunung menuju ke mulut gua. Setiba di sana. Setiba di sana mereka berdua langsung masuk. Tanpa membuang waktu mulailah mereka mengalap sarang-sarang burung yang banyak terdapat di sekitar dinding gua itu. Setelah cukup banyak, mere pun keluar kembali lalu pulang menuju pondok. Demikianlah pekerjaan mereka berhari-hari, hingga berjalan sampai berpekan-pekan. Bagaimana si kakak tadi, apakah ada keinginannya untuk pulang kembali ke tempatnya sendiri, entahlah...!!!

Pada suatu malam, setelah keadaan disekitar pondok itu sunyi-senyap, hanya terdengar suara jangkrik menghimbau malam ditingkah suara burung hantu di puncak kayu, sekonyong-konyong terdengarlah suara elang mengulik di tengah malam, pertanda akan pertumpahan darah. Ketika itu si Adik tidur pulas kelelahan, tetapi si Kakak jangankan tidur untuk memejamkan mata saja tidak bisa. Kepalanya dipenuhi pikiran yang bukan-bukan. Sifat tamaknya mulai menguasai jiwanya. Dia tidak puas mendapat hasil hanya sekian banyak. Dia ingin hasil gua itu jatuh ke tangannya seorang diri. Untuk mendapatkan jalan, itulah yang menyebabkan matanya tak dapat dipejamkannya. Pikirannya bekerja keras mencari jalan dan akhirnya dibuatlah suatu rencana yang cukup matang menurut pendapatnya, sehingga ia tersenyum puas. Menjelang subuh barulah ia tertidur.

Keesokan harinya sebagaimana biasa, setelah makan pagi, mereka bersiap-siap lalu berangkat menuju ke lubang gua sarang burung itu. Tanpa syak wasangka sedikit pun jua si Adik berjalan di muka dan si Kakak mengikutinya di belakang. Mereka memasuki mulut lubang gua tersebut. setelah agak jauh ke dalam, ketika si Adik hendak menjulurkan tangannya hendak mengalap sebuah sarang burung, pada saat itu pula mandau si Kakak membacok pundak adiknya yang seketika terjatuh dengan yang mengeluarkan darah.

Melihat adiknya terjatuh dengan luka yang cukup parah di pundaknya, si kakak tersenyum penuh kemenangan layaknya senyuman iblis yang mengerikan. Inilah hasil rencananya yang dibuat hampir semalam suntuk. Suatu rencana pembunuhan yang ditujukan kepada adik kandungnya sendiri. Ketika si adik sempat membuka matanya dan menatap ke arah kakaknya ia tersenyum seraya berkata,

“Wahai kakakku, sampai hati kakak berbuat kejam terhadap adik kandung sendiri, begitu tega membunuh saudara kandung sendiri. Aku kira dengan kuajak kakak bersama-sama mengalap sarang burung di dalam gua ini, sifat kakak akan berubah akan tetapi justru malah bertambah tamak, serakah dan culas bahkan menjadi seorang pembunuh. Yah...Kakak, aku tidak menyesal atas perbuatan kakak terhadap aku, karena kasih sayangku kepada kakak, aku sampai berani melanggar sumpah dan melanggar semua peringatan dari orang tua yang datang di dalam mimpiku itu pada beberapa bulan yang lewat. Apa yang telah berlaku atas diriku ini, aku pun tidak menyesalinya karena semuanya itu adalah kulakukan atas kehendakku sendiri. Namun satu hal haruslah kakak ingat, hukum karma akan berlaku. Mungkin akan lebih kejam dari  perbuatan kakak saat ini. sifat tamak kakak inilah yang kelak akan mengakhiri jiwa kakak. Dan sebelum aku menghembuskan nafas terakhir, aku memohon kepadamu, kak! Ambillah semua hartaku dan gunakanlah untuk jalan yang benar dan kuasailah lubang gua sarang burung ini. dan sebagai ucapan terakhirku mengulangi ucapan orang tua tua dalam mimpiku itu, aku sumpahkan kepada orang lain, tidak akan menemukan lagi lubang gua sarang burung ini, selain kakak sendiri. Kalau juga mereka ingin menemukannya mereka harus memberi makan sajian, memelasnya dengan kepala dan darah manusia”.

Setelah berpesan demikian kepada kakaknya sang adik pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tahu bahwa adiknya telah meninggal dibunuh oleh dirinya, ia lalu kekeluar dari dalam gua tersebut, untuk mengambil segala harta peninggalan adiknya. Kini hatinya merasaa lega, karena semua harta benda peninggalan adiknya tak terkecuali kekayaan yang tak terhingga berupa sarang burung yang berada di dalam gua telah dikuasainya. Segala rencana yang telah disusun pada malam itu, telah dilakukan dengan baik, dan kini hanya tinggal memungut hasilnya saja.

Yah...begitulah manusia, hanya mampu berencana tetapi Tuhan Yang Maha Esa jua Yang Maha Menentukan segalanya. Demikianlah keadaan si kakak tadi, setelah berada di luar lubang gua, tiba-tiba ia jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Ingatannya seketika berubah. Penyesalan...yah penyesalan yang tak kunjung habisnya. Penyesalan yang bercampur aduk dengan perasaan takut dan ngeri. Menyesal, karena telah sampai hati mengorbankan adik kandungnya sendiri. Hanya karena harta dunia yang belum tentu membawa kebahagian lahir batin dan kebahagiaan luhur di kemudian hari. Ngeri dan takut karena dirinya bersalah, takut akan menerima pembalasan. Ke mana pun pandangannya diarahkan, bayangan takut dan ngeri tadi tetap mengikutinya.

Dibawa oleh perasaan tanpa dikendalikan oleh pikiran yang sehat, ia lalu masuk kembali ke dalam lubang gua. Sebelum ia meneruskan langkahnya, mulut lubang gua itu ditutupnya dengan kain hitam ikat kepalanya sendiri. Setiba di dalam lubang gua, ia berjongkok di sisi mayat adiknya, dan berkata,

“Duhai adikku, maafkanlah segala kesalahan kakak karena telah tega melakukan satu perbuatan di luar batas perikemanusiaan terhadap engkau. Tak ada gunanya kakak hidup di atas timbunan harta, karena semua itu kakak peroleh atas percikan darahmu. Kini kakak sangat menyesal,...menyesal atas perbuatanku terhadap engkau. Kakak telah membalas kebajikanmu dengan kejahatan. Air susu aku balas dengan air tuba.  Untuk menebus segala dosa kakak, wahai adikku, aku akan menyusulmu dan bersama-sama dengan engkau mempertanggungjawabkan segala dosaku di hadapan Rabbul-izzati, memohon ampunan-Nya. Sebelum aku menyusulmu, kuulangi pula sumpahmu ketika engkau akan menghembuskan nafasmu yang terakhir, bahwa lubang gua sarang burung ini akan lenyap dari pandangan mata, karena jika masih nampak oleh mata manusia, maka akan terjadi pembunuhan-pembunuhan karena memperebutkan harta kekayaan yang terdapat di dalamnya. Kalau juga mereka ingin menemukan, harus membayar nadarnya dengan memberi makan (sesaji) berupa darah dan kepala manusia, maka kain hitam penutup lubang gua sarang burung ini akan tersingkap”.

Setelah mengucapkan sumpah, si kakak pun menusukkan mandaunya ke ulu hatinya hingga menembus jantungnya. Darah pun menyembur dari luka di dadanya. Tubuhnya jatuh tepat di sisi mayat adiknya. Hukum karma telah berlaku atas diri si kakak. Tiada suatu benda di atas dunia ini yang akan membawa kebahagiaan, kekekalan abadi, selain amal dan perbuatan. Tanpa harta, manusi pun tak bisa hidup, namun dalam mengejar harta itu, wajiblah langkah maju dan surut perlu kita perhatikan dan kita perhitungkan di atas dasar kebenaran yang hak.

Akhir kisah dua bersaudara kakak beradik yang mati secara tragis ini memberi teladan dan pelajaran bagi kita bahwa nasu serakah, tamak dan kerakusan terhadap harta dunia pada akhirnya akan membuat manusia melupakan segalanya. Sampai sekarang di daerah gunung tersebut acapkali nampak, bahkan penulis sendiri pun pernah melihat burung-burung yang bersarang di dalam lubang gua itu mandi di Sungai Tenggarong di sekitar gunung tersebut.

Mengapa gunung tersebut dinamakan Gunung wang, apakah diambil dari nama Uang karena di dalam lubang gua itu banyak tersimpan harta kekayaan sarang burung yang dapat dijadikan uang, ataukah salah seorang di antara kakak beradik itu ada yang bernama Wang, tidak diterangkan secara jelas.

—KSP 42—
R E F E R E N S I :
KUMPULAN CERITA RAKYAT KUTAI
Dewan Redaksi Penerbitan Kutai
Masa Lampau, Kini, dan Esok

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
JAKARTA 1979




Kamis, 07 Maret 2019

Ki Slamet 42: “HIKAYAT PANJI SEMIRANG 4" PUPUH 21-30

Blog Sita : “Nina Bobo”
Jumat, 08 Maret 2019 – 06:38 WIB


Image; "Panji Semirng 4" Pupuh ( 21 - 30 )


“HIKAYAT PANJI SEMIRANG 4”
( Pupuh: 21 – 30 )
T u n d u k  T a n p a  S y a r a t
(21)
Menyantaplah tapai bingkisan dari selir muda
Paduka Liku!” Demikianlah kata dayang tertua
“Apa, bersantap tapai?” jawab baginda curiga
Sri Baginda Raja betapa sangatlah murkanya
(22)
Seketika itu juga Sri Baginda Raja Daha segera
suruh para dayang mengambil tapai itu seraya
tangannya pun menunjuk ke arah tapai celaka
yang lah sebabkan tewasnya permaisuri utama:
(23)
Dayang tertua mengambil tapai itu lalu segera
Dipersembahkan kepada Sri Baginda Raja Daha
Sang Baginda memeriksa tapai itu lalu bertanya:
“Dayang, dari siapa tapai itu?” bertanya baginda
(24)
“Tapai itu persembahan Paduka Liku, baginda!”
Jawab dayang tertua dengan kata terbata-bata
Hati Sri Baginda menjadi bertambahlah curiga
Sri Baginda Raja membawa tapai keluar istana
(26)
Lalu tapai itu diberikanlah kepada anjing istana
Yang seketika itu juga, anjing itu tewaslah pula
Gejala dan ciri-cirinya sama dengan tewasnya
Puspa Ningrat Sang Permaisuri utama Baginda
(27)
Maka kembali menjadi gemparlah seisi istana
Karena hewan-hewan peliharaan baginda raja
Yang memakan tapai itu pun matilah seketika
Keadaan pun semakin menjadi gempar ketika 
(28)
Galuh Candra Kirana pingsanlah kedua kalinya
Hal ini membuat Sri Baginda bertambah murka
Lalu diboponglah tubuh putrinya Candra Kirana
Dibawa kemana-mana tanpa ketentuan arahnya
(29)
Tiba-tiba baginda ambil pedang lalu dihunusnya
Seraya berjalan cepat menuju ke arah puri istana
Paduka Liku sang selir muda Baginda Raja Daha
Sekalian orang seisi istana ketakutanlah jadinya
(30)
Melihat Sri Baginda murka acungkan pedangnya
Wajahnya nampak merah padam, mata menyala
Pancarkan api panas bagai panasnya api dahana
Seraya berteriak keras menggelegarlah suaranya:
— Slamet Priyadi 42 —
Jumat, 08 Maret 2019 – 06:38 WIB
PUSTAKA :
S. Sastrawinata, “Panji Semirang”
Balai Pustaka 1986