Minggu, 04 Agustus 2013

Legenda Dampo Awang Anak Durhaka Diceritakan Oleh Kak Sita S.Priyadi


Situ kapal kuno ditemukan di Desa Punjul Harjo, Kecamatan Rembang

Blog Sita – Minggu, 04 Agustus 2013 – 19:20 WIB - Adik-adik, tentu kalian sudah pernah mendengar tentang kisah anak yang durhaka. Seperti cerita rakyat Sumatra Barat, Malin Kundang yang menjadi batu karena durhaka kepada ibunya. Nah, adik-adik! Sekarang, kak Sita pun mau bercerita tentang anak yang durhaka pula kepada ibunya yaitu Dampo Awang. Cerita ini berasal dari daerah Punjul Harjo Kecamatan Rembang, Jawa Tengah. Adik-adik, selamat membaca dan salam penuh kasih dari kak Sita di Pangarakan Bogor.

Beginilah ceritanya! Dahulu kala di desa Punjul Harjo daerah pesisir kota Rembang hiduplah seorang janda yang konon masih keturunan etnis Tionghoa. Suaminya tewas dibunuh para perompak dilaut saat kapalnya hendak berlabuh di pantai pesisir kota Rembang. Ia mempunyai empat orang putera yang kini masing-masing sudah beranjak dewasa. Anak pertama bernama Dampo Awang, kedua Dampo Alung, ketiga Dampo Aming, dan keempat bernama Dampo Bunsu. Dari keempat puteranya itu yang nampak paling tampan, pintar dan cerdas serta pandai bicara namun egoistis mau menang sendiri adalah Dampo Awang. Sedangkan Dampo Alung, Dampo Aming, dan Dampo Bunsu seperti pemuda-pemuda kebanyakan yang berada di desanya. Kelebihan mereka dibanding Dampo Awang adalah lebih mencintai dan lebih perhatian kepada ibunya yang sudah mulai tua dan melemah.

Meskipun sang janda ibu beranak empat ini sudah semakin menua dan  melemah, semangat kerja kerasnya untuk menghidupi keluarganya demikian  tinggi dan tak kenal kata menyerah atau pun putus asa. Ia memiliki kelebihan dari ibu-ibu yang lain di desanya yang didapat dari leluhurnya di negeri China. Pandai membuat kue, membuat ukiran dan batik yang didisainnya sendiri. Dengan keterampilan itulah sang janda ini, meskipun tanpa seorang suami, mampu menghidupi keempat anak-anaknya hingga menjadi dewasa.  

Sejak ditinggal mati oleh suaminya, dengan keterampilan yang dimilikinya itu ia bekerja keras membanting tulang. Membuat kue, membuat batik dan ukiran yang didisain dan dilukisnya sendiri. Setelah jadi lalu dijualnya ke pasar. Hal ini dilakukannya terus-menerus bertahun-tahun hingga akhirnya keempat puteranya tumbuh dan berkembang menjadi pemuda yang gagah dan tampan.   

Suatu ketika keempat puteranya Dampo Awang, Dampo Alung, Dampo Aming dan Dampo Bunsu menghadap ibunya. Anak sulungnya Dampo Awang berkata.

“Ibu, kami sekarang sudah dewasa dan ingin sekali mandiri, tidak bergantung terus kepada ibu. Kami melihat ibu sudah semakin tua dan lemah.  Menurut kami ibu sudah waktunya untuk beristirahat.” “Iya ibu!” kata ketiga puteranya yang lain secara serempak.
 
Ibunya terperanjat dan merasa heran mendengar penuturan dan keinginan dari keempat puteranya itu. Iapun berkata kepada keempat puteranya.

“Anakku, ibu masih belum faham dengan apa yang kalian katakan barusan! Bertahun-tahun sejak ayah kalian meninggalkan kita, dan waktu itu kalian masih kecil-kecil dan sampai sekarang kalian menjadi dewasa, ibu ikhlas bekerja keras membanting tulang hanya untuk menjagamu, mengasihimu dan menghidupi keluarga kita.” Mendengar perkataan ibunya keempat puteranya berkata.

“Maafkan kami, ibu! Bukan maksud kami menyinggung perasaan ibu!” Dampo Awang lalu melanjutkan kata-kataya, mewakili ketiga adiknya, “Begini, bu! Justru itulah, kami sesungguhnya merasa iba dengan ibu yang sudah kian menua dan melemah pula tenaga ibu tapi masih menghidupi kami. Padahal seharusnya tenaga muda kami yang kuat dan perkasa inilah yang menggantikan ibu untuk menghidupi keluarga kita ini, bu!” ketiga saudaranya mangut-manggut saja tanda setuju dengan apa yang dikatakan saudara tertuanya itu.
Sejenak kemudian Dampo Awang melanjutkan kata-katanya lagi, menuturkan keinginannya yang juga merupakan keinginan saudaranya yang lain untuk pergi berlayar merantau ke negeri-negeri seberang, “Ibu,kami memohon dengan teramat sangat. Izinkan dan restuilah kami untuk berlayar merantau ke negeri seberang. Mencari ilmu pengetahuan dan pengalaman baru serta pekerjaan sebagai bekal hidup dikelak kemudian hari agar penghidupan kita lebih layak dari sekarang.”

Menyadari hasrat dan keinginan anak-anaknya yang demikian besar untuk pergi merantau mencari kehidupan baru di negeri lain, dan itu nampaknya sudah tak bisa dicegah lagi, maka sang  ibu pada akhirnya pun merestui keempat puteranya untuk pergi merantau. Meskipun dengan rasa berat hati.

“Baiklah anak-anakku, ibu mengerti dan menyadari tak mungkin selamanya kita dapat bersama-sama. Kalian memang sudah besar, dewasa dan harus mandiri. Akan tetapi, ibumu tidak bisa membekali kalian sejumlah uang untuk bekal diperjalanan nanti. Ibu hanya bisa mendoakanmu semoga Tuhan selalu bersamamu dan kelak kalian berhasil menjadi orang.” Demikian pesan sang ibu kepada kempat anaknya, Dampo Awang, Dampo Alung, Dampo Aming dan Dampo Bunsu.

Mendengar sendiri perkataan ibunya yang pada akhirnya menyetujui dan merestui keingingannya untuk merantau ke negeri seberang, betapa gembira dan suka citanya mereka. Mereka pun mencium tangan ibunya sebagai tanda terima kasih karena sudah mengizinkan untuk merantau. Pada malam harinya secara serempak mereka pun segera berkemas-kemas menyiapkan barang-barang yang akan mereka bawa besok. Semua perbekalan yang akan dibawa mereka masukkan ke dalam tasnya masing. Pada saat mereka sedang berkemas-kemas membereskan segala sesuatunya, sang ibu memanggil mereka untuk berkumpul di ruang tengah.

“Dampo Awang, Dampo Alung, Dampo Aming dan Dampo Bunsu, kemarilah kalian. Ada pesan yang ingin ibu sampaikan kepada kalian berempat, sekarang juga!”

Mendengar suara ibunya memanggil, mereka berempat pun segera bergegas keluar dari kamarnya menuju  ruang  tengah dimana ibunya sedang menanti mereka.  Mereka kemudian secara bergiliran mencium kedua tangan ibunya lalu duduk di bangku yang lain. Sejenak keadaan menjadi hening. Tak lama kemudian barulah ibunya membuka pembicaraan.

“Anak-anakku, besok pagi-bagi benar kalian akan berangkat. Ibu berpesan wanti-wanti, setelah kalian berada di negeri seberang nanti, kalian harus mengutamakan budi pekerti yang baik. Apabila telah berhasil, jangan lupakan negeri sendiri apalagi dengan ibumu yang sudah tua renta ini. Untuk kepergian kalian ibu hanya bisa membekali pecahkan piring yang sengaja ibu pecahkan menjadi lima bagian. Masing-masing dari kalian dan ibu mendapatkan satu.

Sang ibu kemudian meletakkan bungkusan bermotif batik yang dibawa dari kamarnya tadi di atas meja. Lalu membuka bungkusan yang berisi lima pecahan piring tersebut kemudian membagikannya kepada keempat puteranya masing-masing satu bagian. Diawali kepada Dampo Awang lalu Dampo Alung, Dampo Aming, Dampo Bunsu dan terakhir adalah dirinya sendiri. Keempat puteranya merasa heran dan masih belum mengerti dengan pemberian ibunya yang berupa lima buah pecahan piring. Gerangan apakah maksud dari semuanya ini. Saat mereka masih nampak keheranan, ibunya berkata:

“Anak-anakku, tentu kalian heran dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah gerangan maksud ibu memberikan pecahan piring kepada kalian termasuk kepada ibu masing-masing mendapatkan satu? Tentu itu ada maksudnya anak-anakku. Sebagaimana kalian ketahui piring memiliki fungsi sebagai tempat atau wadah untuk makan. Itu maknanya piring sebagai lambang tempat tinggal kita, rumah kita atau kampung halaman kita dimana tempat kita hidup dan dibesarkan oleh orang tua kita.  Jadi dengan ibu memberikan pecahan piring itu kepada kalian sebagai lambang  setelah kalian masing-masing berpisah dan berpencar berada di negeri orang dan berhasil dengan apa yang kalian cita-citakan, agar kalian selalu tetap bersatu tidak saling bertengkar dan bermusuhan, selalu ingat pada kampung halaman kita, rumah kita dan orang tua serta keluarga kita terutama oleh ibu kalian yang sudah tua ini. Meskipun kalian semuanya masing-masing berpisah berbeda tempat tinggal. Apabila di antara kalian tak saling mengenal lagi gunakan pecahan piring itu dan mencocokkannya sebagai tanda pengenal bahwa kalian adalah bersaudara sekandung.”

Setelah mendengar penjelasan dari ibunya barulah mereka semua dapat mengerti dan memahami maksud yang terkandung dari pecahan piring tadi. Mereka semua sepakat akan menjaga dan menyimpan pecahan piring itu dengan sebaik-baiknya, kalau perlu dengan nyawanya sekalipun. Perasaan suka cita nampak tercermin dari ekspresi wajah mereka. Apa lagi Dampo Awang yang memang sudah lama berniat merantau ke negeri-negeri seberang. Mencari penghidupan baru dan  pengalaman baru. Ia memang bercita-cita ingin menjadi orang terpandang, kaya, berharta dan disegani oleh semua orang. Di dalam hatinya tersimpan satu tekad baja, “Aku harus berhasil, ya harus berhasil jadi orang kaya, berharta dan terpandang yang disegani dan dihormati oleh semua orang.”

Pagi-pagi benar di pesisir pantai kota Rembang sang ibu melepas keempat puteranya. Dampo Awang pergi berlayar dengan menaiki kapal dagang menuju negeri China, Dampo Alung ke negeri Malaysia, Dampo Aming ke negeri Palembang di Sumatra, dan Dampo Bunsu ke negeri Banten  di ujung Barat Jawadwipa.

Diceritakan. Sepeninggal keempat puteranya yang pergi merantau, sang ibu tinggal sendiri saja. Di rumahnya tak ada siapa-siapa lagi, tak ada lagi yang membantunya membawa kue, kain batik dagangannya ke pasar. Dalam kesepiannya itu ia jadi ingat dan merindukan kampung halamannya di negeri China. Bagaimana waktu itu ia hidup berbahagia dengan keluarga besarnya, dan dengan suaminya yang sangat mencintainya yang telah tewas dibunuh para perompak saat bertugas menjadi duta keliling di negeri Jawa.

Keempat puteranya yang sangat dinanti-natikan kehadirannya pun sudah tak mengingatnya lagi. Bertahun-tahun sudah, itu dilaluinya dengan penuh kerinduan dan penderitaan kemeranaan yang teramat sangat. Akan tetapi ia tetap bersemangat tak mengenal putus asa. Untuk melenyapkan rasa sepinya ia terus berkarya dan terus berkarya. Kain batik motif hasil ciptaannya semakin lama semakin dikenal orang dari tahun ke tahun karya batiknya semakin digemari dan dikenal banyak orang. Bahkan sampai ke negeri-negeri seberang seperti Malaysia, Kalimantan, Sumatra bahkan sampai ke negeri tempatnya berasal China.  Para petinggi negeri dan putri-putri raja, saudagar dan para pembesar kerajaan banyak yang menyukai dan memakai kain batik hasil buah karyanya. Akan tetapi semua keberhasilannya itu tak bisa dinikmati oleh sang janda seorang ibu berputra empat ini karena kain batik berseni tinggi hasil ciptaannya itu sebelumnya sudah dibeli oleh para tengkulak yang memborong hasil karyanya karena sudah tahu karya-karya batiknya banya diminati oleh kebanyakan para pembesar kerajaan dan menghasilkan banyak keuntungan besar. Kehidupan sang janda ini tetap saja miskin dan semakin melarat karena ia sudah tak kuat lagi berjalan untuk menjual kue-kue, kain batik dagangannya ke pasar. Sedangkan keempat puteranya yang sudah ditunggu-tunggunya sekian lama pun hingga kini tak datang-datang juga.

Suatu ketika putera bungsunya Dampo Bunsu datang berkunjung menemui ibunya. Hatinya begitu miris melihat ibunya yang kini semakin tua dengan gerut-gerut wajah yang menggambarkan penderitaan. Kepada ibunya ia bersujud, mencium kedua tangannya sambil menangis sesenggukkan seraya berkata.

“Ibu, maafkan ananda Bunsu yang lama tak berkunjung kesini menjumpai ibu. Sampai sekarang ananda merasa belum berhasil menjadi orang meskipun sudah lama berjuang bekerja keras di negeri orang akan tetapi Keadaan ananda masih seperti dulu. Ananda pun sampai sekarang belum berkeluarga. Maafkan Bunsu belum bisa membalas budi dan jasa ibu selama ini.” Demikian penuturan Dampo Bunsu yang masih sungkeman kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya itu.

Dengan penuh rasa kasih sayang sang ibu mengusap-usap kepala putra bungsunya dengan tangan kanannya sedang tangan kirinya memegang pundaknya, seraya berkata.

“Bunsu, sungguh ibu tak mengharapkan apa-apa darimu, ibu juga tak membutuhkan balas budi darimu. Dengan kau kembali ke kampung halamanmu, kembali ke rumahmu ini saja, ibu sudah merasa sangat senang dan sangat berbahagia sekali. Tinggallah di sini bersama ibu untuk mendalami kerajinan ukir dan seni membatik yang merupakan warisan keterampilan leluhurmu dan  mengolah tanah yang tinggal sepetak peninggalan almarhum ayahmu ini. Oya, bagaimana dengan kakak-kakakmu yang lain? Apakah kau sudah mendengar beritanya? Dimanakah mereka sekarang? Ibu juga sangat merindukannya.” Demikian pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh ibunya sebagai wujud dari kerinduan terhadap anak-anaknya.

“Entahlah, bu! Tapi menurut berita mereka semua berhasil menjadi orang dan sudah berkeluarga. Dampo Awang menjadi saudagar kaya menjadi menantu raja karena kawin dengan putri satu-satunya di negeri China. Dampo Alung di Negeri Malaysia menjadi saudagar pula dan kawin dengan perempuan Malaysia yang juga seorang putri saudagar kaya dan paling terpandangdi sana. Sedangkan Dampo Aming menjadi saudagar kayu di negeri Palembang juga sudah berkeluarga.

Suatu ketika orang-orang desa Rembang semua berlarian menuju pesisir karena tersiar kabar bahwa ada tiga buah kapal berlabuh di sana. Kapal pertama datang dari negeri Malaysia, kapal kedua dari negeri Palembang dan kapal yang ketiga berasal  dari negeri China. Pemilik kapal semuanya berwajah tampan dan gagah dengan para istrinya yang cantik rupawan. Akan tetapi dari kesemua saudagar tersebut hanya saudagar dari China yang paling gagah, paling tampan dengan pakaiannya  kebesarannya. Apa lagi istrinya yang berambut panjang, berkulit putih kekuningan, bermata jeli ditambah dengan perhiasan mas intan dan berlian yang menghiasi hampir di seluruh tubuh dan pakaiannya yang teramat indah sejuk dipandang mata.

Mendengar berita dari orang-orang yang berlalu lalang, pikiran sang janda ibu beranak empat ini jadi menerawang ke para putra-putranya yang teramat sangat dirindukannya yaitu Dampo Awang, Dampo Alung dan Dampo Aming.  Dalam hatinya ia berkata, “Aku yakin mereka adalah anak-anakku yang merindukan kampung halamannya. Bukankah menurut kabar ada tiga buah  kapal yang berlabuh di pesisir dengan tiga orang saudagar dan istri-istri mereka yang cantik jelita sebagai pemilik kapal.” Tidak berpikir panjang lagi sang ibu berkata kepada putra bungsunya, Dampo Bunsu.

“Bunsu, cepatlah antar ibu nak! Ibu yakin benar mereka semua adalah anak-anakku, kakak-kakakmu. Mereka ternyata masih mengingat kampung dimana mereka dibesarkan. Hayo cepat kita bergegas, bungsu! Aku sudah tak sabar lagi ingin menjumpainya dan memeluknya.”

Demikianlah ekspresi kerinduan seorang ibu kepada anak-anaknya. Melihat ini Bunsu tak tega melihat ibunya yang begitu antusias ingin menjumpai anak-anaknya yang semua itu belum tentu benar. Akan tetapi ibunya memang begitu yakin bahwa mereka yang tiba di pesisir adalah keempat putranya yang sudah merantau sekian lama dan berjanji akan kembali lagi kepadanya.

“Baiklah bu, aku akan mengantarkan ibu. Akan tetapi bukankah sebaiknya ibu berganti pakaian yang lebih baik dulu. Pakaian yang ibu gunakan itu sudah lusuh tak elok untuk dipandang.”

“Biarkanlah Bunsu, ibu memang sengaja ingin menguji sampai sejauh manakah kecintaan dan kasih sayang mereka terhadap orang tua yang telah membesarkan mereka. Apakah mereka akan silau oleh harta kemewahan dan wanita atau tidak, kita kita lihat saja nanti.

Dampo Bunsu segera memapah ibunya untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian mereka pun berjalan menuju pesisir yang agak jauh dari tempat tinggalnya kira-kira satu kilometer. Singkat cerita mereka pun sampai di pesisir. Di sana mereka melihat banyak orang-orang bergerumun seperti melihat sesuatu yang membuat mereka terkagum-kagum. Dampo Bunsu segera mempercepat langkahnya menuruti keinginan ibunya yang sudah tak sabar lagi menjumpai orang yan diyakini adalah ketiga putranya. Setiba di tempat kerumunan itu Dampo Bunsu mendesak orang-orang yang menghalangi jalan mereka agar ibunya bisa dengan leluasa masuk menuju ke barisan terdepan. Benarlah keyakinan ibunya karena yang dilihat semua para saudagar yang baru saja menuruni tangga kapal itu bukan lain lain adalah Dampo Alung, Dampo Aming dan Dampo Awang. Dampo Bunsu beserta ibunya segera menyapa dengan hormat kepada kakaknya. Ia masih ragu apakah benar yang berada di hadapannya itu adalah kakaknya sendiri Dampo Alung.

“Maaf tuan, apakah tuan Saudagar benar bernama Dampo Alung putra seorang janda miskin yang berada di desa Rembang ini. Masih ingatkah tuan dengan ibu tuan yang berada di sebelah saya ini? Sapa Dampo Bunsu kepada kakaknya sambil memegangi badan ibunya.

Mendapat sapaan seperti itu Dampo Alung sedikit terperanjat. Ia menatap nanar kepada Dampo Bunsu dan seorang ibu yang berdiri di hadapannya. Ia menatap dan memperhatikan dengan cermat. Tak lama kemudian menjatuhkan tubuhnya bersujud di kaki ibunya, menangis terisak-isak sambil berkata.

“Ibuuu...maafkan aku bu, aku sudah sepuluh tahun tak kembali ke kampung rembang ini untuk menjumpai ibu dan tanpa memberi kabar sedikitpun.”
“Tak apa nak! Dengan begini saja dan tak malu mengakui ibumu yang miskin ini ibu sudah cukup bahagia.”

Sejenak kemudian Dampo Alung beranjak dari sungkem kepada ibunya lalu berdiri dan kemudian memperkenalkan istrinya kepada ibunya. Istrinya pun segera mencium tangan mertuanya itu. Dampo Alung sangat bangga dengan istri tercintanya itu karena justru istrinya itulah yang mengajaknya kembali ke kampung halamannya di Rembang untuk menjumpai ibunya yang sudah lama ditinggalkannya.

Dampo Aming dan istrinya yang melihat kejadian tersebut, dan mengenal betul dengan wajah ibu dan saudaranya itu segera berlari menghampiri mereka. Setelah dekat dan berhadapan dengan ibu dan kakaknya Dampo Alung dan adiknya Dampo Bunsu, ia segera memeluk kedua saudaranya itu, dan segera sungkem kepada ibunya yang disusul istrinya.

“Ibu... maafkan ananda yang tak tahu balas budi ini. Begitu lama ananda melupakan ibu untunglah istri ananda yang baik ini selalu mengingatkan ananda agar secepatnya kembali ke kampung halaman untuk menjumpai ibu di Rembang ini.” Tutur Dampo Aming kepada ibunya sambil mencium pipi ibunya.

Orang banyak yang saat itu memperhatikan sikap dan perlakuan  yang tak malu-malu dengan keadaan ibunya yang berpakaian lusuh dan banyak tambalan layaknya pengemis itu berdecak kagum atas sikap Dampo Alung mau pun Dampo Aming kepada ibunya. Pikir mereka, “Berbahagialah orang tua yang memiliki anak yang sangat menghormati dan mencintai orang tuanya.”

Sementara dikejauhan nampak Dampo Awang dan istrinya yang cantik jelita dengan mas perhiasan di tubuh dan pakaiannya yang indah tiada bandingannya dengan orang-orang di situ, nampak berjalan dengan langkah yang teramat congkak. Pikirnya hanya mereka berdua yang terkaya, dan yang termewah dipeloksok Rembang tergagah. Kepada orang yang lewat dihadapannya Dampo Awang bertanya dengan angkuhnya.

“Hai, kisanak! Tolong tunjukkan kepada kami dimanakah tempat tinggal seorang wanita yang karya seni batiknya begitu terkenal sampai ke negeri kami di China. Istriku yang cantik ini ingin menjumpai dan memesan kerajinan batiknya yang indah itu?”

“Oh...tuan rupanya belum mengenal perempuan itu.” Jawab orang yang ditanya, kemudian melanjutkan kata-katanya lagi. “Orang tersebut adalah seorang wanita tua yang sudah lama ditinggal oleh keempat puteranya yang mungkin sudah melupakannya. Nama keempat putranya itu adalah Dampo Awang, Dampo Alung, Dampo Aming, dan Dampo Bunsu. Dan tadi pagi saya melihat puteranya Dampo Bunsu sudah kembali ke sini. Dan sekarang sedang mengantarkan ibunya yang sudah tua itu kemari untuk menjemputi anak-anaknya yang konon akan datang dari perantauan pada hari ini. Tuan! Perempuan tua yang dipapah oleh anak bungsunya itulah orang yang tuan cari.” Jawab orang yang ditanya Dampu Awang sambil tangan kirinya menunjuk ke arah Dampu Bunsu dan ibunya berada.  

Mendengar namanya dan nama ketiga saudaranya disebut-sebut, Dampo Awang sedikit terkejut. Sungguh tak disangka kalau wanita terkenal di kota Rembang yang terkenal sampai ke negeri China bukan lain adalah ibunya sendiri yang sudah sepuluh tahun ini dilupakannya. Akan tetapi ia menjadi heran karena kesohoran nama ibunya berkat karya-karya seni batiknya itu sama sekali tidak membuat perubahan secara finansial dan ekonomi. Bahkan penampilannya malah semakin memalukan. Apalagi di situ ada istrinya putri dari seorang pembesar kerajaan di negeri China. Segera Dampo Awang hendak pergi menghindari perjumpaan dengan ibu dan ketiga adik-adiknya dengan mengajak istrinya kembali lagi ke negeri China. Akan tetapi, belum sempat ia mengajak istrinya, dari jauh terdengar teriakan saudara-saudaranya memanggil namanya. Ia pun tak bisa mengelak lagi dan pasrah dengan apa yang akan terjadi. Ia hanya bisa menanti ketiga saudaranya yang menghampiri dirinya sambil memapah ibunya yang sengaja dilupakannya itu. Ketika ibu dan saudara-saudaranya sudah dekat, ia berkata:

“Wahai kisanak semua! Siapakah Kisanak ini yang memanggil-manggil namaku begitu rupa sungguh tak sopan.” Jawab Dampo Awang samgil berkacak pinggang.

Mendengar jawaban yang sedemikian rupa dan tinkah berkacak pinggang macam jagoan, ketiga adiknya menjadi terperanjat dan kecewa. Berbagai macam emosi marah menjadi satu di dalam dirinya. Sedangkan ibunya hanya tersenyum saja. Sang ibu memang sudah menduga Dampo Awang akan besikap seperti itu karena dari kecil pun memang sudah begitu sikap dan perilakunya. Meskipun diakuinya Dampo Awang memang lebih pandai, pintar dan lebih cerdas ketimbang adik-adiknya.

“Hm...Dampo Awang, Dampok Awang, baru kaya dan berharta serta bergelimang kemewahan saja kau sudah lupa saudara-saudaramu. Kau lihatlah yang bersama kami ini, apakah kau masih tak ingat? Atau memang kau sudah terjangkit penyakit lupa ingatan sehingga melupakan ibumu ibumu sendiri?”

“Iya memang, aku memang sama sekali tak mengenal orang tua yang lusuh layaknya jembel pengemis ini. Siapakah dia? Sungguh aku muak dan mau muntah mencium baunya yang tak sedap itu. Segera enyahlah atau aku yang pergi dari sini kembali ke negeriku di China.”

Mendengar cercaan dan hinaan yang sedemikian menyakitkan dari puteranya, sang ibu masih mampu menahan amarahnya dengan tetap tersenyum meskipun hatinya begitu terluka, rasa pedih dan perih masih bisa ditahan dengan senyum yang diperlihatkan kepada Dampo Awang yang sudah durhaka kepada dirinya itu. Sedangkan ketiga saudaranya hampir tak bisa menahan emosinya lagi. Untunglah ibunya tetap menyarankan agar Dampo Alung, Dampo Aming dan Dampo Bunsu tetap bersabar. Mereka hanya bisa menatap kakaknya itu dengan mata nanar penuh perasaan emosi tak bisa ditahan dan sebentar lagi akan meledak menjadi prilaku yang tak bisa diduga akibatnya

“Ya, ya, ya... baiklah Dampo Awang, kau memang anak yang sungguh durhaka kepada ibumu. Sekarang keluarkanlah bagian pecahan piring simbol rasa persatuan kita yang telah diberikan ibu waktu kita hendak berangkat merantau. Apakah kau sudah lupa atau sengaja melupakan dan mengingkari janji-janjimu sendiri yang telah kita ikrarkan bersama akan selalu bersatu dan tidak melupakan kampung halaman terutama ibu kita sendiri!”

“Huh! Apa itu pecahan piring, buat apa aku menyimpannya, dan segala tetek begek janji-janji untuk selalu bersatu dengan pecahan piring itu? Sama sekali aku tak mengingatnya apa lagi memilikinya. Kalau pun aku memilikinya pasti sudah aku buang buang kelaut benda yang sama sekali tak berharga itu. Sudahlah! Aku mau kembali saja ke negeriku China yang telah memberiku bermacam-macan kenikmatan dan kemewahan dunia. Ha... ha... ha...!!!  sambil menggandeng istrinya, Dampo Awang beranjak dari tempatnya berdiri. Akan tetapi kakinya terasa berat dan tak bisa untuk digerakkan. Terasa bumi telah memegangi kakinya kepada anak yang telah durhaka kepada ibunya ini sehingga tak bisa digerakkan. Apalagi untuk melangkah menuju kapalnya.

Sang ibu sudah tak tahan lagi menerima hinaan dan celaan yang bertubi-tubi dari anaknya Dampo Awang yang sudah mendurhakainya. Maka disertai dengan guntur yang menggelegar serta hujan badai yang bagaikan ditumpahkan dari langit, ibunya berkata dengan keras. Sekeras gelegarnya guntur suaranya memekakkan telinga di siang hari itu.

“Wahai anakku Dampo Awang kau tak akan bisa beranjak kemana-mana sebelum ibumu menyelesaikan kata-kata kutukan ini kepadamu! Sunguh demi langit dan bumi dan Demi Tuhan pencipta semesta alam yang telah menyaksikan betapa durhakanya engkau kepada ibumu. Setelah kau beranjak dari sini berangkat dengan kapalmu, maka badai dan guntur akan memecahkan kapalmu, badai ombak dan lautan akan menelan semua harta benda dan kemewahan yang kau miliki. Itulah kutukan bagi semua orang durhaka kepada orang tuanya.”

Setelah kata-kata kutukan yang ditujukan kepada dirinya selesai diucapkan ibunya, barulah tubuh Dampo Awang bisa digerakkan. Ia secepatnya bergegas meninggalkan tempat itu menuju ke arah kapalnya yang berjangkar di pantai. Sesungguhnya Dampo Awang bergidik mendengar kutukan dari ibunya. Dalam hatinya ia menyesali segala sikap dan perilaku yang telah membuat ibunya begitu sakit hati sehingga mengeluarkan kata-kata kutukan yang sedemikian menggidikkan bulu roma. Tapi sesalpun tak berguna lagi. Ia bersama istrinya terus melangkahkan kakinya menuju ke kapalnya. Setelah tiba di kapal ia memerintahkan kepada juru mudinya agar segera mengembangkan layar untuk segera berangkat meninggalkan kota kelahirannya, Rembang.

Selang beberapa menit kemudian hujan badai semakin keras. Awan hitam disertai guntur semakin menggema menggelekar kuat dari sebelumnya. Tiba-tiba langit menjadi terang benderang disertai bunyi halilintar yang menggelgar keras, “Jeddduuuaaar...!!!” menghancurkan kapal yang ditumpangi Dampo Awang beserta istrinya dan para nakhoda serta semua harta benda milik Dampo Awang semuanya musnah ditelan laut pesisir kota Rembang. Konon pecahan dan reruntuhan  kapal Dampo Awang seperti jangkar dan yang lain masih bisa dilihat sampai sekarang sebagai bukti dan saksi bisu tentang balasan yang diperoleh bagi anak yang telah durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya. Ada yang percaya bahwa Dampo Awang sesungguhnya adalah Sam Po Kong yang dikenal dalam sejarah sebagai Laksamana Chen Ho. Demikianlah Wallahu’alam! (SPriyadi 1957)

Penulis:
Sita S.Priyadi Pangarakan, Bogor

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    BalasHapus