Blog Sita : Nina Bobo
Jika kita menyusuri sungai Tenggarong dari
muara, setelah memakan waktu lebih kurang dua jam dengan memakai perahu, maka
kita akan sampai ke suatu tempat yang disebut Teriti. Dari sini memudik lagi kira-kira seperempat jam, kita akan
menemui pula perkampungan transmigrasi yang disebut Bekotok. Kalau kita teruskan perjalanan sampai memakan waktu
kira-kira sepuluh menit lagi, maka kita akan sampai ke Melulu, suatu tempat bekas benteng pertahanan Pahlawan Awang Long Senopati, ketika mempertahankan kota Tenggarong
dari serangan Belanda.
Dari sini kita mencoba naik ke darat
menyerong sedikit ke hilir, maka kita akan menemui gunung yang disebut Gunung Wang. Mengapa dan apa sebabnya dinamakan
Gunung Wang? Baiklah kita ikuti sekelumit kisahnya sebagai berikut.
Tersebutlah pada waktu itu, di daratan
Meluhu dua orang bersaudara, adik dan kakak yang hidup dengan berladang dan
mencari hasil hutan lainnya. kedua kakak beradik ini sangatlah rajin bekerja,
namun dalam segi pembawaan dan watak, mereka sangat berbeda.
Si Kakak, keras kemauan, pantang mundur, dan
rajin bekerja, tetapi mempunyai satu cacat. Elain lekas naik pitam, ia juga
mempunyai satu sikap tercela, yaitu tamak. Sedangkan si Adik, mempunyai sifat
sabar, lemah-lembut, dan pendiam, seperti orang bodoh tampaknya.
Dalam kehidupan mereka sehari-hari, jika
sampai waktu makan si Adik kebetulan dapat makan bersama-sama dapat diartikan
bernasib baiklah bagi si Adik. Tetapi jika si Kakak yang terdahulu makan, maka
akan sial bagi si Adik, karena makanan apa saja yang ada pasti akan licin dan
tandas dimakan oleh si Kakak. Dalam hal ini si Adik bukannya marah atas
kelakuan kakaknya yang demikian itu, tetapi sebaliknya ia hanya diam saja.
Demikianlah hidup kedua adik-kakak ini,
hingga makin lama hubungan mereka semakin memburuk. Demikianlah si Adik
akhirnya lebih senang mengasingkan diri, walaupun mereka hidup dalam satu
pondok.
Pada suatu hari, si Adik mendapat seekor
binatang landak akibat terkena jerat yang dipasangnya. Setelah disembelih,
landak itu lalu dibersihkan dan dipotong-potong, kemudian disalai. Sementara
menunggu Sali tersebut menjadi kering, rupanya si Adik tertidur dengan
nyenyaknya. Pada saat itulah tiba-tiba datang.
Demi melihat daging landak setengah masak di
atas salaian, timbullah seleranya. Diam-diam didekatinya salai landak itu, lalu
dimakannya sampai habis. Setelah itu ia pergi dari tempat itu.
Ketika si Adik terbangun dan melihat salai
daging landak tidak ada lagi, ia pun merasa heran sambil berkata,“Siapakah gerangan yang memakan salai daging
landak ini?” belum selesai si Adik bicara menyahutlah kakaknya,“Akulah yang memakannya.”
Mendengar itu, maka terdiamlah si Adik. Ia
sangat marah atas perbuatan kakaknya itu, namun ia berusaha sabar dan menahan
nafsunya. Jika disahut dan melawan, sudah barang tentu akan terjadi hal-hal
yang tidak baik bagi mereka berdua. Karena itulah si Adik lalu berjalan
meninggalkan pondok. Ia menyadari, bahwa kakaknya ingin menang sendiri. Agar
jangan sampai timbul perpecahan yang lebih parah, maka si Adik mengalah untuk
kebaikan. Biarlah segala perasaan kasih dikorbankan dulu, demi kebaikan
bersama. Lebih baik kasih dari jauh daripada dekat tetapi merusak kasih sayang.
Demikianlah setelah mengemasi segala
barang-barangnya dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya, ia pun berjalan tak
tentu arah tujuan. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah sang Adik di sebuah
gunung yang tampaknya sangat angker. Gunung itu tidak seberapa tingginya, namun
cukup melelahkan untuk mendakinya. Ketika sampai di pertengahan gunung itu, ia
pun duduk melepaskan lelah sambil menikmati keindahan alam di sekitarnya.
Burung-burung berkicau merdu bagaikan memberi sambutan selamat datang atas
kehadirannya. Angin bertiup sepoi-sepoi memberi kesegaran pada badannya yang
sedang kelelahan yang membuatnya tertidur pulas.
Di antara sadar dan tidak, ia bermimpi
melihat seorang laki-laki tua datang menghampirinya. Berpakaian serba putih,
berkumis lebat, berjanggut panjang
sampai ke dada, berwarna putih laksana kapas. Setelah dekat, orang tua itu
berkata,
“Anakku,
engkau telah datang ke tempatku ini secara kebetulan, karena memang aku sedang
menunggu kedatangan seseorang yang akan aku berikan kepada seseorang yang
memiliki sifat sabar, karena dengan kesabaran itu ia akan selamat. Dan sifat
sabar itu nampak jelas sekali ada pada dirimu. Oleh karena itu pergunakanlah
harta yang kuberikan ini dengan sebaik-baiknya. Dan aku berpesan wanti-wanti
kepadamu! Janganlah kau pergunakan harta ini ke jalan yang salah!”.
Demikian pesan orang tua itu sambil
mengarahkan telunjuknya ke arah lubang yang berada di sebelah kanan sang pemuda
seraya berkata,
“Anakku,
itu di sebelah kananmu ada sebuah lubang. Kau masuklah ke dalam lubang itu. Di
dalam lubang itu engkau akan menemukan barang. Ambil dan pergunakanlah
sebaik-baiknya. Akan tetapi aku mengharap jika nanti engkau hidup senang dari hasil pemberianku
engkau jangan menjadi orang yang tamak, loba dan serakah. Berbelaskasihanlah
kepada orang yang menderita dan kesusahan. Berilah pertolongan kepada mereka!”
“Oya,
satu lagi pesanku kepadamu anakku! Keberadaan lubang gua ini jangan sampai kau
beritahukan kepada orang lain, sekalipun itu adalah saudara kandungmu sendiri.
Kalau engkau memberitahukannya, maka akan terjadi suatu peristiwa di luar
dugaanmu. Jika sudah terjadi demikian, lubang gua itu bersama seluruh isinya
akan kuambil kembali, dan akan aku lenyapkan dari pandangan matamu. Hanya
dengan memelas dan sajian, maka lubang gua ini akan tampak. Itu pun dengan
syarat harus dengan darah dan kepala manusia. Ingatlah akan pesanku ini,
cucuku!”
Demikianlah pesan yang amat keras dari orang
tua itu lewat mimpi yang dialami oleh si pemuda. Setelah berpesan demikian
orang tua itu pun lenyap. Sang pemuda mengucak-ucak matanya, dikumpulkan
kembali ingatannya mencoba mengingat-ngat kembali segala perkataan orang tua
yang datang lewat mimpinya tadi. Ketika ia melihat ke atas, matahari telah
condong ke barat pertanda hari sudah menjelang sore.
Agar jangan sampai waktu terbuang percuma
dengan pikiran yang bukan bukan-bukan, ia pun lalu bangkit berdiri sambil
menyandang sikutan (tas ransel) yang dibawanya, pergi mencari lubang gua sebagaimana
telah diberitahukan oleh orang tua yang datang lewat mimpi yang dialaminya
tadi. Ia pun menoleh ke arah lubang gua yang terletak di sebelah kanan
tempatnya tidur dan bermimpi tadi. Memang benar di sebelah kanan tempatnya
berdiri, tampak lubang gua tersebut. hatinya berkata,
“Apakah
itu gua yang dimaksud oleh orang tua tadi? Jika demikian sebaiknya aku menuju
ke lubang gua itu”. Segera ia pun melangkahkan kakinya menuju ke
lubang gua itu lalu masuk ke dalam guaitu dengan tanpa rasa takut sekalipun.
Alangkah terkejutnya ia setelah berada di
dalam gua itu. Berulang kali dikucak-kucak matanya, kalau-kalau apa yang
dilihatnya hanyalah dalam mimpi belaka saja. di dalam gua itu, dilihatnya
sarang burung putih memenuhi di sekeliling dinding gua tersebut. setelah
menyaksikan dan membenarkan bukti kebenaran sebagaimana yang telah dikatakan
oleh orang tua berjanggut putih di dalam mimpinya ia kembali keluar.
Diletakkannya sebuah batu yang agak besar di mulut gua sebagai tanda. Setelah
itu ia menuruni kembali gunung itu. Setiba di kaki gunung didirikanlah sebuah
pondok tempat kediamannya.
Keesokan harinya pergilah ia ke gua itu
kembali dan langsung mengalap sarang burung yang banyak berada di seluruh
dinding gua. Demikianlah selanjutnya ia begitu rajin mengalap sarang burung itu
lalu dikumpulkannya, setelah banyak barulah ia menjualnya ke pasar. Hidupnya
pun mulai nampak sejahtera, dan harta bendanya semakin lama semakin bertambah
banyak.
Diceritakanlah si Kakak yang bersifat tamak,
semenjak ditinggal oleh adiknya beberapa waktu yang lewat, justru hatinya malah
merasa puas dan senang hidup sendiri, oleh karena tidak lagi harus berbagi
dengan adiknya. Apa saja yang didapatnya hanya untuk dirinya sendiri. Untuk
mencari adiknya yang pergi tiada terlintas sama sekali dalam hatinya.
Pada suatu ketika ia pergi berburu. Sudah
seharian penuh berjalan, tak seekor binatang buruanpun yang dijumpai. Ia terus
berjalan dan berjalan sampai masuk ke dalam hutan, namun usahanya untuk
mendapat binatang buruan sia-sia belaka.
Ketika sang surya hampir tenggelam masuk
keperaduannya, tibalah ia di tempat adiknya yang ketika itu sedang ada
beristirahat di dalam pondoknya. Demi mendengar ada suara orang di bawah bukit,
maka menengoklah si Adik ke bawah bukit. Betapa sukalah hati si Adik demi
melihat bahwa yang datang adalah kakaknya sendiri. Maka diajaknyalah kakanya
itu tanpa rasa syak wasangka dan curiga sedikit pun juga. Diajaknyalah kakaknya
itu masuk ke dalam pondoknya. Setelah duduk, disuguhlah kakaknya itu dengan
makan dan minum dan diajaknya bermalam d pondoknya bahkan diajaknya untuk
tinggal bersama. Menerima kebaikan dari si Adik, si Kakak sunguh senang ia
tidak menolak ajakkan saudaranya itu.
Pada malam harinya, mereka masing-masing
bercerita tentang keadaan mereka masing-masing. Si Kakak bertanya kepada
adiknya,
“Dik,
dari mana engkau mendapat harta demikian banyak karena setahuku sejak engkau
pergi meninggalkan rumah kita dulu kira-kira baru sekitar tiga purnama, tetapi
aku melihat hidupmu sudah senang, sejahtera dan berharta pula, sedangkan aku
tidak lebih dan tidak kurang masih seperti dulu saat kita masih tinggal
berkumpul bersama-sama?!” Demikian tanya si
Kakak kepada adiknya. Si Adik pun menjawab,
“Yah...kak!
beginilah kisahnya. Pada waktu aku pergi meninggalkan pondok kita dulu, setelah
salai daging landakku habis Kakak makan, aku berjalan tanpa tujuan. Kepergianku
itu tidak lain, menjaga agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita
inginkan bersama. Oleh karena antara Kakak dan aku memiliki perbedaan watak
yang bertentangan. Secara tidak kakak sadari Kakak maunya ingin menang sendiri,
lebih-lebih lagi sifat tamak yang Kakak miliki. Justru itulah aku berpendapat
lebih baik aku pergi”. Demikian tutur si
Adik. Sejenak kemudian melanjutkan ceritanya lagi,
“Setelah
lama lama aku berjalan, aku sampailah ke gunung ini, lalu kudaki sesampai di
pertengahan gunung ini aku pun beristrirahat melepaskan rasa lelah sampai aku
tertidur pulas. Di antara sadar dan tidak, aku bermimpi didatangi oleh seorang
laki-laki tua yang memberitahu aku bahwa di lubang gua tempat bersarang
burung-burung itu terdapat sarang-sarang burung di seluruh dinding-dindingnya.
Dan apa yang terjadi selanjutnya kakak dapat saksikan sendiri. Karena kakak
adalah kakak kandungku sendiri, maka kakak besok kuajak pergi mengalap sarang
burung di dalam gua itu”. Demikian si Adik begitu terusterangnya menceritakan
kepada saudaranya. Rupanya ia lupa akan pesan wanti-wanti dari sang kakek tua agar
tidak menceritakan kepada siapa saja meskipun itu adalah kakak kandungnya
sendiri.
Betapa amat gembiranya hati si Kakak demi
mendengar penuturan cerita dari si Adik yang begitu terus terang. Terbayanglah
di pelupuk matanya, bagaimana jika kelak dia akan menjadi seorang kaya raya.
Apalagi jika gua itu telah dikuasainya oleh dirinya sendiri.
Keesokan harinya, ketika fajar telah
menyingsing, kedua kakak beradik itu mendaki gunung menuju ke mulut gua. Setiba
di sana. Setiba di sana mereka berdua langsung masuk. Tanpa membuang waktu
mulailah mereka mengalap sarang-sarang burung yang banyak terdapat di sekitar
dinding gua itu. Setelah cukup banyak, mere pun keluar kembali lalu pulang
menuju pondok. Demikianlah pekerjaan mereka berhari-hari, hingga berjalan sampai
berpekan-pekan. Bagaimana si kakak tadi, apakah ada keinginannya untuk pulang
kembali ke tempatnya sendiri, entahlah...!!!
Pada suatu malam, setelah keadaan disekitar
pondok itu sunyi-senyap, hanya terdengar suara jangkrik menghimbau malam
ditingkah suara burung hantu di puncak kayu, sekonyong-konyong terdengarlah
suara elang mengulik di tengah malam, pertanda akan pertumpahan darah. Ketika
itu si Adik tidur pulas kelelahan, tetapi si Kakak jangankan tidur untuk
memejamkan mata saja tidak bisa. Kepalanya dipenuhi pikiran yang bukan-bukan.
Sifat tamaknya mulai menguasai jiwanya. Dia tidak puas mendapat hasil hanya
sekian banyak. Dia ingin hasil gua itu jatuh ke tangannya seorang diri. Untuk
mendapatkan jalan, itulah yang menyebabkan matanya tak dapat dipejamkannya.
Pikirannya bekerja keras mencari jalan dan akhirnya dibuatlah suatu rencana
yang cukup matang menurut pendapatnya, sehingga ia tersenyum puas. Menjelang
subuh barulah ia tertidur.
Keesokan harinya sebagaimana biasa, setelah
makan pagi, mereka bersiap-siap lalu berangkat menuju ke lubang gua sarang
burung itu. Tanpa syak wasangka sedikit pun jua si Adik berjalan di muka dan si
Kakak mengikutinya di belakang. Mereka memasuki mulut lubang gua tersebut.
setelah agak jauh ke dalam, ketika si Adik hendak menjulurkan tangannya hendak
mengalap sebuah sarang burung, pada saat itu pula mandau si Kakak membacok
pundak adiknya yang seketika terjatuh dengan yang mengeluarkan darah.
Melihat adiknya terjatuh dengan luka yang
cukup parah di pundaknya, si kakak tersenyum penuh kemenangan layaknya senyuman
iblis yang mengerikan. Inilah hasil rencananya yang dibuat hampir semalam
suntuk. Suatu rencana pembunuhan yang ditujukan kepada adik kandungnya sendiri.
Ketika si adik sempat membuka matanya dan menatap ke arah kakaknya ia tersenyum
seraya berkata,
“Wahai
kakakku, sampai hati kakak berbuat kejam terhadap adik kandung sendiri, begitu
tega membunuh saudara kandung sendiri. Aku kira dengan kuajak kakak
bersama-sama mengalap sarang burung di dalam gua ini, sifat kakak akan berubah
akan tetapi justru malah bertambah tamak, serakah dan culas bahkan menjadi
seorang pembunuh. Yah...Kakak, aku tidak menyesal atas perbuatan kakak terhadap
aku, karena kasih sayangku kepada kakak, aku sampai berani melanggar sumpah dan
melanggar semua peringatan dari orang tua yang datang di dalam mimpiku itu pada
beberapa bulan yang lewat. Apa yang telah berlaku atas diriku ini, aku pun
tidak menyesalinya karena semuanya itu adalah kulakukan atas kehendakku
sendiri. Namun satu hal haruslah kakak ingat, hukum karma akan berlaku. Mungkin
akan lebih kejam dari perbuatan kakak
saat ini. sifat tamak kakak inilah yang kelak akan mengakhiri jiwa kakak. Dan
sebelum aku menghembuskan nafas terakhir, aku memohon kepadamu, kak! Ambillah
semua hartaku dan gunakanlah untuk jalan yang benar dan kuasailah lubang gua
sarang burung ini. dan sebagai ucapan terakhirku mengulangi ucapan orang tua
tua dalam mimpiku itu, aku sumpahkan kepada orang lain, tidak akan menemukan
lagi lubang gua sarang burung ini, selain kakak sendiri. Kalau juga mereka
ingin menemukannya mereka harus memberi makan sajian, memelasnya dengan kepala
dan darah manusia”.
Setelah berpesan demikian kepada kakaknya
sang adik pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tahu bahwa adiknya telah
meninggal dibunuh oleh dirinya, ia lalu kekeluar dari dalam gua tersebut, untuk
mengambil segala harta peninggalan adiknya. Kini hatinya merasaa lega, karena
semua harta benda peninggalan adiknya tak terkecuali kekayaan yang tak terhingga
berupa sarang burung yang berada di dalam gua telah dikuasainya. Segala rencana
yang telah disusun pada malam itu, telah dilakukan dengan baik, dan kini hanya
tinggal memungut hasilnya saja.
Yah...begitulah manusia, hanya mampu
berencana tetapi Tuhan Yang Maha Esa jua Yang Maha Menentukan segalanya.
Demikianlah keadaan si kakak tadi, setelah berada di luar lubang gua, tiba-tiba
ia jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Ingatannya seketika berubah.
Penyesalan...yah penyesalan yang tak kunjung habisnya. Penyesalan yang
bercampur aduk dengan perasaan takut dan ngeri. Menyesal, karena telah sampai
hati mengorbankan adik kandungnya sendiri. Hanya karena harta dunia yang belum
tentu membawa kebahagian lahir batin dan kebahagiaan luhur di kemudian hari.
Ngeri dan takut karena dirinya bersalah, takut akan menerima pembalasan. Ke
mana pun pandangannya diarahkan, bayangan takut dan ngeri tadi tetap
mengikutinya.
Dibawa oleh perasaan tanpa dikendalikan oleh
pikiran yang sehat, ia lalu masuk kembali ke dalam lubang gua. Sebelum ia
meneruskan langkahnya, mulut lubang gua itu ditutupnya dengan kain hitam ikat
kepalanya sendiri. Setiba di dalam lubang gua, ia berjongkok di sisi mayat
adiknya, dan berkata,
“Duhai
adikku, maafkanlah segala kesalahan kakak karena telah tega melakukan satu
perbuatan di luar batas perikemanusiaan terhadap engkau. Tak ada gunanya kakak
hidup di atas timbunan harta, karena semua itu kakak peroleh atas percikan
darahmu. Kini kakak sangat menyesal,...menyesal atas perbuatanku terhadap engkau.
Kakak telah membalas kebajikanmu dengan kejahatan. Air susu aku balas dengan
air tuba. Untuk menebus segala dosa
kakak, wahai adikku, aku akan menyusulmu dan bersama-sama dengan engkau
mempertanggungjawabkan segala dosaku di hadapan Rabbul-izzati, memohon ampunan-Nya.
Sebelum aku menyusulmu, kuulangi pula sumpahmu ketika engkau akan menghembuskan
nafasmu yang terakhir, bahwa lubang gua sarang burung ini akan lenyap dari
pandangan mata, karena jika masih nampak oleh mata manusia, maka akan terjadi
pembunuhan-pembunuhan karena memperebutkan harta kekayaan yang terdapat di
dalamnya. Kalau juga mereka ingin menemukan, harus membayar nadarnya dengan
memberi makan (sesaji) berupa darah dan kepala manusia, maka kain hitam penutup
lubang gua sarang burung ini akan tersingkap”.
Setelah mengucapkan sumpah, si kakak pun
menusukkan mandaunya ke ulu hatinya hingga menembus jantungnya. Darah pun
menyembur dari luka di dadanya. Tubuhnya jatuh tepat di sisi mayat adiknya.
Hukum karma telah berlaku atas diri si kakak. Tiada suatu benda di atas dunia
ini yang akan membawa kebahagiaan, kekekalan abadi, selain amal dan perbuatan.
Tanpa harta, manusi pun tak bisa hidup, namun dalam mengejar harta itu,
wajiblah langkah maju dan surut perlu kita perhatikan dan kita perhitungkan di
atas dasar kebenaran yang hak.
Akhir kisah dua bersaudara kakak beradik
yang mati secara tragis ini memberi teladan dan pelajaran bagi kita bahwa nasu
serakah, tamak dan kerakusan terhadap harta dunia pada akhirnya akan membuat
manusia melupakan segalanya. Sampai sekarang di daerah gunung tersebut acapkali
nampak, bahkan penulis sendiri pun pernah melihat burung-burung yang bersarang
di dalam lubang gua itu mandi di Sungai Tenggarong di sekitar gunung tersebut.
Mengapa gunung tersebut dinamakan Gunung
wang, apakah diambil dari nama Uang karena di dalam lubang gua itu banyak tersimpan harta kekayaan
sarang burung yang dapat dijadikan uang, ataukah salah seorang di antara kakak
beradik itu ada yang bernama Wang, tidak diterangkan secara
jelas.
—KSP 42—
R E F E R E N S I :
KUMPULAN CERITA RAKYAT KUTAI
Dewan Redaksi Penerbitan Kutai
Masa Lampau, Kini, dan Esok
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
JAKARTA 1979
Tidak ada komentar:
Posting Komentar