Dihimpun oleh Emi
Sita Rose |
Nina Bobok – Sabtu, 16 November 2013 - Diceritakan dahulu kala, di
tengah-tengah hutan yang lebat, Kalimantan, tinggal dan hidup sepasang suami
istri beserta dua orang anaknya. Kedua
orang tua ini sudah berusia setengah umur, sedangkan kedua anaknya, yang sulung
berusia lebih kurang dua belas tahun, dan yang bungsu berumur lebih kurang lima
tahun. Keadaan hidup mereka sangat menyedihkan karena hanya hidup dari berhuma
atau berladang. Meskipun tiap-tiap tahun selalu mendapat padi dari hasil humanya,
namun masih selalu hidup dalam kekurangan. Keadaan semacam itu berjalan
terus-menerus dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan yang cukup berarti bagi
mereka. Keadaan semacam inilah yang mempengaruhi kehidupan mereka dan anak-anak
mereka tanpa ada batasnya.
Jika kedua suami istri ini pergi
ke huma, maka anaknya yang sulung mengasuh adiknya di pondok. Dalam keseharian
tampak nyata, bahwa kedua orang tua ini tidak menyukai atau membenci kedua
orang anaknya. Kalau hendak menanak nasi, ditunggunya dahulu kedua anaknya itu
tidur, dan jika sudah masak bergegas mereka makan dengan lahapnya sampai tak
tersisa. Hanya kerak-kerak nasi saja yang diberikan kepada kedua anaknya.
Saat sampai pada musim membuat
huma atau ladang, kedua suami istri itu pun bekerja memenebas hutan lebat.
Sedang asyik mereka menebas hutan, terdengar kedua anaknya berteriak minta
makan, “Ooo... pak, ooo... mak, perut kami lapar, ‘ndak makan sembela padi,
‘ndak makan sembela pulut!”. Mendengar kedua anaknya minta makan, bapaknya
menyahut: “Kendia dulu... nak, etam sedang menebas huma!”.
Sejak menebas hutan sampai
menebang kayu yang sudah memakan waktu hampir setengah hari itu, kedua anaknya
belum juga diberi makan. Maka terdengar lagi teriakan kedua anaknya yang
kelaparan, “Oo... pak, ooo... mak, perut kami lapar sekali, ‘ndak makan sembela
padi, ‘ndak makan sembela pulut!”.
Mendengar itu lalu ibunya
menyahut pula, “Kendia dulu nak, etam lagi nebangi kayu!” Setelah mendengar
jawaban ibunya itu, maka berdiamlah kedua anaknya itu di dalam pondok.
Dari menebang kayu, menebar reba
sampai membakar dan menduru, kedua anaknya selalu berteriak minta makan, tetapi
selalu dijawab secara berganti-ganti oleh kedua orang tuanya. Demikian
peristiwa itu terjadi terus menerus. Sejak mulai menanam, merumput, mengetam
atau memotong, hingga akhirnya sampai pada menumbuk padi untuk mendapatkan
beras baru, selalu terdengar suara anaknya berteriak-teriak minta makan dan
selalu dijawab dengan jawaban yang sama, “etam dulu nak, karang dulu nak, nasi
etam parak masak”.
Ketika nasi sudah masak,
terdengar lagi kedua anaknya berteriak minta makan. Maka dijawab oleh orang
tuanya: “Baik, sekarang pergilah nak, ngalak daun pisang di pinggir huma etam,
tu!”. Jawab ibunya sambil memberikan sebilah pisau kepada anaknya. Anaknya
segera turun dari pondok, sambil membopong adiknya lalu mendekati kedua orang
tuanya mengambil pisau untuk memotong daun pisang kemudian berjalan menuju ke
sebuah huma yang kata kedua orang tuanya ada pohon pisangnya. Akan tetapi di
sana ternyata tak ada pohon pisangnya. Maka anaknya bertanya lagi kepada orang
tuanya, “Mana pohon pisangnya, mak?” dijawab oleh ibunya, ”Nun, jauh lagi nak!
‘tu di pinggir huma sana, kalau masih tak ada terus saja berjalan terus sampai
ke hutan sana!” Anaknya yang sulung sambil
menggendong adiknya kembali ke huma bahkan terus berjalan menuju kedalam hutan sebagai
mana yang diperintahkan oleh orang tuanya.
Sementara kedua anaknya berjalan menuju hutan untuk
mengambil daun pisang, kedua suami istri itu segera makan nasi yang telah
dimasaknya tadi sampai tak tersisa. Setiba di hutan, sambil menurunkan adiknya,
berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik, rupanya bapak dan ibu kita sudah tak
suka lagi kepada kita berdua, dan tak menganggap lagi kita sebagai anaknya. Kita
berdua disuruhnya mengambil daun pisang sampai jauh di hutan ini, sedang mereka
berdua makan dengan lahapnya di pondok. Lebih baik kita berdua pergi saja dan
tak usah kembali lagi. Biarlah kita berdua mati kelaparan di dalam hutan lebat
ini dari pada kembali ke pondok”.
Setelah berkata demikian, maka
kedua kakak beradik itu berjalan menyusuri hutan tanpa tujuan. Sampai berhari-hari
mereka berjalan mengikuti kemana kaki melangkah. Jika malam tiba mereka
beristirahat dan tidur di sela-sela akar kayu. Jika pagi menjelang mereka
kembali berjalan tanpa tujuan. Untuk bertahan hidup mereka makan pucuk-pucuk
daun muda.
Saat matahari mulai condong ke
barat tanda hari mulai menjelang petang, kedua kakak beradik itu menemukan
pohon jambu biji yang buahnya demikian lebat. Karena perutnya sudah demikian lapar, maka tanpa
pikir panjang lagi sang kakak sambil mengendong adiknya memanjat pohon jambu
biji itu dan memetiknya. Di atas batang jambu yang cukup kuat mereka membuat
para-para untuk tinggal sementara menghindari binatang buas yang berkeliaran di
malam hari karena pada saat itu hari pun sudah mulai gelap. Setelah selesai
membuat para-para adiknya diletakkan di atas para-para, sedangkan kain yang
tadi dipakai untuk menggendong adiknya tadi digantungkan pada sebuah dahan
sebagai ayunan tempat tidur adiknya.
Demikianlah keadaan kedua kakak
beradik itu bertahan hidup. Jika lapar mereka makan buah jambu biji yang banyak
mengelantung di sekitar mereka. Tempat tinggal mereka di atas dahan pohon jambu
itu diperbaiki, diberi atap dan dinding yang terbuat dari daun-daun “betete” yang
banyak berserakan di sekitar mereka.
Suatu ketika, di pagi hari yang
cerah, saat sang kakak menunggui adiknya yang sedang tidur di dalam ayunan,
lewat seekor babi hutan yang sedang kelaparan. Babi itu memakan jambu-jambu
biji yang banyak jatuh berserakani bawah pohon jambu biji itu. Melihat peristiwa
ini, timbul pikiran sang kakak untuk membunuh babi itu sebagai santapan sedap di
pagi hari dengan menggunakan pisau raut yang dibawanya untuk memotong daun
pisang. Sang kakak pun kemudian memetik buah jambu biji yang sudah masak, lalu
dipotong-potongnya jambu biji tersebut menjadi beberap potong. Jambu-jambu biji
itu kemudian dimasukkan secara berjejer ke dalam pisau rautnya yang tajam itu. Beberapa
saat kemudian sang kakak menjatuhkan potongan-potongan jambu biji yang berjejer
pada pisau rautnya itu ke tanah dengan sang babi hutan sedang mengendus-endus
buah jambu. Melihat potongan buah jambu biji yang demikian menggiurkan dengan
warna merahnya, babi hutan tersebut langsung memakan buah jambu tersebut sampai
pisau rautnya pun ikut ditelannya. Begitu ditelan tentu saja pisau raut yang tajam
itu menusuk dan merobek tenggorokan babi hutan yang kelaparan itu. Merasa kesakitan,
babi hutan itu mengguik-guik panjang, dan berputar-putar,darah segar mengucur
deras dari leher dan tenggorokannya yang robek, mengelepar jatuh dan mati saat
itu juga. (Bersambung)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai,
Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar