Minggu, 10 Juni 2018

Cerita Rakyat Jambi “PUTERI KESUMBA“ Dikisahkan oleh Ki Slamet Priyad

http://pangarakan.blogspot.com
Senin, 11 Juni 2018 - 05:05 WIB

Ki Slamet & Sita
Ada sepasang suami isteri yang belum dikaruniai anak, padahal mereka sudah lama menikah. Mereka juga sudah berupaya ke sana ke mari agar mempunyai anak sendiri namun keinginan itu belum terkabul.
Setiap hari mereka berdo’a. Pada suatu malam mereka bermimpi melihat seorang kakek tua. Kake itu berkata,

“Jika kalian ingin mempunyai anak, carilah rebung yang dililit ular sawah. Rebus dan makanlah  rebung itu!”

Rebung adalah tunas bambu yang masih muda, bila dimasak dengan bumbu yang cocok rasanya memang lezat.

Esok harinya suami isteri itu mencari rebung yang dililit ular sawah. Sang suami segera menceritakan mimpinya semalam kepada ular sawah. Namanya dongeng binatang pun dapat bicara, demikian juga si ular sawah. Ia segera angkat bicara setelah mendengar penuturan si suami.

“Baiklah, akan kuberikan rebung ini. Tapi tuan harus berjanji.”
“Hai ular sawah, apa yang harus aku janjikan?”
“Jika anak yang lahir perempuan, ia akan menjadi milikku. Anak itu harus diserahkan kepadaku saat berusia tujuh tahun.” Kata ular sawah.

Karena demikian besarnya keinginan memiliki anak, tanpa pikir panjang lagi suami-isteri itu segera menyetujui perjanjian yang diajukan si ular sawah. Rebung ditebas lalu dibawa pulang, dimasak dengan leza lalu dimakan. Ajaib beberapa hari kemudian perut si isteri mulai membesar. Sang isteri benar-banar telah mengandung alias bunting. Setelah genap sembilan bulan sang isteri pun melahirkan anak.

Sejenak mereka gembira namun kegembiraan itu segera sirna ketika mengetahui anak yang dilahirkan ternyata perempuan. Namun nasi sudah menjadi bubur, janji sudah terlanjur mereka ucapkan di depan ular sawah . Akan tetapi, rasa sayang suami isteri itutidak dapat dikalahkan. Betapa berat hati seorang yah dan ibu menyerahkan anak mereka kepada seekor ular, akhirnya mereka sepakat untuk mengingkari janjinya, tidak menyerahkan puterinya kepada ular sawah. Puti Kesumba pun dilarang bermain di luar rumah. Semua keperluan Puti Kesumba mereka sediakan dan dilakukan di dalam rumah.

Pada suatu hari,hendak pergi berlayar selama tiga bulan. Sang suami berpesan kepada isterinya agar menjaga Puti Kesumba baik-baik.

Sepeninggal sang suami, sang isteri memawa Puti Kesumba mandi di sungai. Ketika sedang asyik bermain, Puti Kesumba ditangkap ular sawah. Ia berteriak,

“Tolong, Bu! Tong...!

Ibunya terkejut meratap sejadi-jadinya. Akan tetapi, apa hendak dikata, kelengahannya membuat ia berpisah dengan anak kesayangannya. Ular sawah itu telah membawa Puti Kesumba ke tebing yang menjorok ke tengah sungai yang tak seorang pun dapat menjangkaunya.

Suatu ketika, ular sawah bertanya kepada Puti Kesumba,

“Puti, sudah seberapa besarkah kau sekarang?”
“Masih kecilkecil baru sebesar buah mangga,”

Jawab Puti Kesumba. Ia tak takut lagi kepada ular sawah itu bahkan ia membohongi ular sawah itu. Begitu seterusnya jika ular sawah itu bertanya, ia selalu menjawab dengan cepat dan berdalih mulai dari sebesar mangga menjadi sebesar bola, kemudian sebesar kelapa. Setelah mendengar jawaban Puti Kesumba seperti itu, ular sawah pergi memanggil teman-temannya. Dia mengundang sepuluh ekor ular sawah. Mereka akan makan besar nanti malan, menyantap Puti Kesumba.

Ketika pesta akan dimulai, pada saat yang bersamaan ayah Puti Kesumba pulang dari berlayar. Perahunya penuh dengan pakaian. Ia pun lewat di dekat tebing itu. Puti Kesumba melihat ayahnya, ia pun berteriak minta tolong seraya berkata,

“Ayah, tolonglah saya, ambillah saya cepaaat ayah...!”

Ayah Puti Kesumba terkejut, ia segera mendekatkan perahunya ke tempat Puterinya lalu dengan cekatan menyambar dan mengangkat Puti Kesumba ke dalam perahunya, lalu dikayuh perahunya menjauh dari tempat itu.

Pada saat yang bersamaan sepuluh teman-teman ular sawah datang. Demi melihat Puti Kesumba jauh di hulu sungai, si ular sawah berteriak,

“Wah, ayamku lepas...!”

Sepuluh ular-ular sawah yang diundang menjawab,

“Kunang! Kunang! Aku makan kepalanya!
“Ayamku lepas...!”
“Kunang! Kunang!  Aku makan perutnya!”
“Ayamku Lepas...!
“Kunang! Kunang! Aku makan ekornya!”

Sepuluh ekor ular yang diundang itu pun menyergap ular sawah yang mengundang. Bagi dunia ular pesta tak boleh gagal, siapa yang mengundang, dialah yang bertanggung jawab terhadap hidangan yang akan disuguhkan. Jika tak sanggup menyediakan, maka sipengundang itulah yang disantap beramai-ramai. Dalam waktu yang tak terlalu lama, ular sawah yang mengundang sepuluh temannya itu pun mati dengan tubuh terkoyak-koyak tanpa tersisa sedikitpun dimangsa oleh teman-temannya sendiri.

Sementara itu, Puti Kesumba dan ayahnya tiba di rumahnya kembali. Puti Kesumba mendapati ibunya sedang bergelung di tempat tidur. Badan ibunya menjadi kurus karena tak mau makan. Selama tiga bulan ibunya menangis tiada henti. Puti pun berlari ke tempat ibunya sambil menangis,

“Hu...hu...hu...! Ibu, Puti pulang, bu!”

Ibu Puti Kesumba menangis memeluk puterinya yang amat dikasihinya itu, ia berterima kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan dan mengembalikan puteri satu-satunya tanpa luka sedikitpun. Dengan penuh kasih sayang kembali didekapnya erat-erat puteri buah hati yang menjadi kesayangannya itu. Ia menangis tersedu-sedan. Betapa tidak, jika mengingat saat puterinya sedang mandi dan bermain di sungai lalu disergap oleh ular sawah dan membawanya ke tebing yang menjorok ke tengah sungai.

Sejak saat itu, keluarga itu pun hidup berbahagia. Ular sawah yang mereka takutkan kini telah tiada mati dimangsa oleh teman-temannya sendiri yang merasa telah dibohongi.

S u m b e r :
Yudhistira,
Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Penerbit DELIMA Solo 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar