http://pangarakan.blogspot.com
Senin, 11 Juni 2018 - 05:05 WIB
Senin, 11 Juni 2018 - 05:05 WIB
Ki Slamet & Sita |
Ada
sepasang suami isteri yang belum dikaruniai anak, padahal mereka sudah lama
menikah. Mereka juga sudah berupaya ke sana ke mari agar mempunyai anak sendiri
namun keinginan itu belum terkabul.
Setiap
hari mereka berdo’a. Pada suatu malam mereka bermimpi melihat seorang kakek
tua. Kake itu berkata,
“Jika
kalian ingin mempunyai anak, carilah rebung yang dililit ular sawah. Rebus dan
makanlah rebung itu!”
Rebung
adalah tunas bambu yang masih muda, bila dimasak dengan bumbu yang cocok rasanya
memang lezat.
Esok
harinya suami isteri itu mencari rebung yang dililit ular sawah. Sang suami
segera menceritakan mimpinya semalam kepada ular sawah. Namanya dongeng
binatang pun dapat bicara, demikian juga si ular sawah. Ia segera angkat bicara
setelah mendengar penuturan si suami.
“Baiklah,
akan kuberikan rebung ini. Tapi tuan harus berjanji.”
“Hai ular sawah,
apa yang harus aku janjikan?”
“Jika
anak yang lahir perempuan, ia akan menjadi milikku. Anak itu harus diserahkan
kepadaku saat berusia tujuh tahun.” Kata
ular sawah.
Karena
demikian besarnya keinginan memiliki anak, tanpa pikir panjang lagi
suami-isteri itu segera menyetujui perjanjian yang diajukan si ular sawah. Rebung
ditebas lalu dibawa pulang, dimasak dengan leza lalu dimakan. Ajaib beberapa
hari kemudian perut si isteri mulai membesar. Sang isteri benar-banar telah
mengandung alias bunting. Setelah genap sembilan bulan sang isteri pun
melahirkan anak.
Sejenak
mereka gembira namun kegembiraan itu segera sirna ketika mengetahui anak yang
dilahirkan ternyata perempuan. Namun nasi sudah menjadi bubur, janji sudah
terlanjur mereka ucapkan di depan ular sawah . Akan tetapi, rasa sayang suami
isteri itutidak dapat dikalahkan. Betapa berat hati seorang yah dan ibu
menyerahkan anak mereka kepada seekor ular, akhirnya mereka sepakat untuk
mengingkari janjinya, tidak menyerahkan puterinya kepada ular sawah. Puti
Kesumba pun dilarang bermain di luar rumah. Semua keperluan Puti Kesumba mereka
sediakan dan dilakukan di dalam rumah.
Pada
suatu hari,hendak pergi berlayar selama tiga bulan. Sang suami berpesan kepada
isterinya agar menjaga Puti Kesumba baik-baik.
Sepeninggal
sang suami, sang isteri memawa Puti Kesumba mandi di sungai. Ketika sedang
asyik bermain, Puti Kesumba ditangkap ular sawah. Ia berteriak,
“Tolong, Bu! Tong...!
Ibunya
terkejut meratap sejadi-jadinya. Akan tetapi, apa hendak dikata, kelengahannya
membuat ia berpisah dengan anak kesayangannya. Ular sawah itu telah membawa
Puti Kesumba ke tebing yang menjorok ke tengah sungai yang tak seorang pun
dapat menjangkaunya.
Suatu
ketika, ular sawah bertanya kepada Puti Kesumba,
“Puti, sudah seberapa besarkah kau
sekarang?”
“Masih kecilkecil baru sebesar
buah mangga,”
Jawab
Puti Kesumba. Ia tak takut lagi kepada ular sawah itu bahkan ia membohongi ular
sawah itu. Begitu seterusnya jika ular sawah itu bertanya, ia selalu menjawab
dengan cepat dan berdalih mulai dari sebesar mangga menjadi sebesar bola,
kemudian sebesar kelapa. Setelah mendengar jawaban Puti Kesumba seperti itu,
ular sawah pergi memanggil teman-temannya. Dia mengundang sepuluh ekor ular
sawah. Mereka akan makan besar nanti malan, menyantap Puti Kesumba.
Ketika
pesta akan dimulai, pada saat yang bersamaan ayah Puti Kesumba pulang dari
berlayar. Perahunya penuh dengan pakaian. Ia pun lewat di dekat tebing itu.
Puti Kesumba melihat ayahnya, ia pun berteriak minta tolong seraya berkata,
“Ayah, tolonglah saya, ambillah
saya cepaaat ayah...!”
Ayah
Puti Kesumba terkejut, ia segera mendekatkan perahunya ke tempat Puterinya lalu
dengan cekatan menyambar dan mengangkat Puti Kesumba ke dalam perahunya, lalu
dikayuh perahunya menjauh dari tempat itu.
Pada
saat yang bersamaan sepuluh teman-teman ular sawah datang. Demi melihat Puti
Kesumba jauh di hulu sungai, si ular sawah berteriak,
“Wah, ayamku lepas...!”
Sepuluh
ular-ular sawah yang diundang menjawab,
“Kunang! Kunang! Aku makan
kepalanya!
“Ayamku lepas...!”
“Kunang! Kunang! Aku makan perutnya!”
“Ayamku Lepas...!
“Kunang! Kunang! Aku makan
ekornya!”
Sepuluh
ekor ular yang diundang itu pun menyergap ular sawah yang mengundang. Bagi
dunia ular pesta tak boleh gagal, siapa yang mengundang, dialah yang bertanggung
jawab terhadap hidangan yang akan disuguhkan. Jika tak sanggup menyediakan,
maka sipengundang itulah yang disantap beramai-ramai. Dalam waktu yang tak
terlalu lama, ular sawah yang mengundang sepuluh temannya itu pun mati dengan
tubuh terkoyak-koyak tanpa tersisa sedikitpun dimangsa oleh teman-temannya
sendiri.
Sementara
itu, Puti Kesumba dan ayahnya tiba di rumahnya kembali. Puti Kesumba mendapati
ibunya sedang bergelung di tempat tidur. Badan ibunya menjadi kurus karena tak
mau makan. Selama tiga bulan ibunya menangis tiada henti. Puti pun berlari ke
tempat ibunya sambil menangis,
“Hu...hu...hu...! Ibu, Puti
pulang, bu!”
Ibu
Puti Kesumba menangis memeluk puterinya yang amat dikasihinya itu, ia berterima
kasih kepada Tuhan yang telah menyelamatkan dan mengembalikan puteri
satu-satunya tanpa luka sedikitpun. Dengan penuh kasih sayang kembali didekapnya
erat-erat puteri buah hati yang menjadi kesayangannya itu. Ia menangis
tersedu-sedan. Betapa tidak, jika mengingat saat puterinya sedang mandi dan bermain
di sungai lalu disergap oleh ular sawah dan membawanya ke tebing yang menjorok
ke tengah sungai.
Sejak
saat itu, keluarga itu pun hidup berbahagia. Ular sawah yang mereka takutkan
kini telah tiada mati dimangsa oleh teman-temannya sendiri yang merasa telah
dibohongi.
S
u m b e r :
Yudhistira,
Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Penerbit DELIMA Solo 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar