Pertarungan Datu Dalu dan Sangmaima |
SELASA, 02 OKT. 2012 – SITA BLOG: Adik-adik terkasih,
pernahkah adik-adik mendengar nama Si Losung dan Si Pinggan? Atau adik-adik
berwisata berkunjung ke danau Si lLosung dan Si Pinggan di Tapanuli Utara. Oh
ya, ada kisah yang menarik dari legenda Si Losung dan Si Pinggan ini. Baiklah kalau
begitu, kakak akan menceritakannya sekarang. Disimak baik-baik, ya?! Cerita ini
berasal dari Tapanuli Utara daerah Silahan, kecamatan Lintong Ni Huta, Sumatra
Utara.
Diceritakan dua bersaudara sekandung,
bernama Datu Dalu dan adiknya bernama Sangmaima. Orang tua mereka sudah
meninggal dengan mewariskan berbagai ilmu kesaktian, pengobatan, dan juga sebuah
tombak pusaka. Sesuai dengan adat di daerah itu bahwa anak tertualah yang
berhak atas warisan orang tuanya, maka tombak pusaka itu jatuh ke tangan Datu
Dalu. Tombak ini pun di jaga dan dipelihara oleh Datu Dalu dengan
sebaik-baiknya.
Pada suatu ketika Sangmaima hendak
pergi berburu babi hutan, maka bertandanglah ia ke rumah kakaknya Datu Dalu
untuk meminjam tombak pusaka peninggalan ayahnya sebagai senjata berburu. Tiba
di rumah kakaknya ia langsung menemui Datu Dalu yang pada saat itu memang
sedang membersihkan tombak pusaka miliknya itu. Berkatalah Sangmaima kepada
kakaknya:
“Abang, tolonglah pinjami aku tombak pusaka
peninggalan ayah kita karena aku akan pergi berburu babi hutan yang selama ini
selalu menyerang kebun tanamanku.”
“Baiklah adikku, akan abang
pinjamkan tombak ini, akan tetapi ada syaratnya!” Jawab Datu Dalu sambil memperlihatkan
tombak pusaka yang ada digenggamannya.
“Apa syaratnya itu, bang?” Tanya
Sangmaima.
“Tombak ini harus kau jaga baik-baik jangan
sampai hilang terutama mata tombak ini karena sudah tua mata tombak ini mudah
lepas, aku baru saja memperbaikinya.” Jawab Datu Dalu sambil mengarahkan
telunjuknya ke arah mata tombak, dan memberikan tombak pusaka itu pada adiknya.
“Baiklah bang, sebelumnya aku ucapkan terima
kasih, dan sebaiknya aku mohon pamit sekarang. Aku sudah tak sabar lagi ingin membunuh
babi-babi hutan yang sudah banyak merusak tanaman di kebunku itu.”
Sangmaima menerima tombak pusaka dengan gembira dan segera ia pun kembali ke
rumahnya untuk mempersiapkan perlengkapan berburu.
Beberapa waktu kemudian, sampailah
Sangmaima di kebunnya. Di sana ia melihat seekor babi hutan yang sedang asyik
memakan dan merusak tanaman di kebunnya.
“Hei, dasar babi hutan keparat! Kau telah
rusak dan makan habis tanamanku! Aku pasti akan kejar ke mana kau lari, aku
akan membunuhmu!” Teriak Sangmaima sambil melemparkan tombak pusaka yang dipinjam
dari kakaknya ke arah babi hutan yang ada di kebunnya itu.
Meskipun tombak itu telah mengenai
lambung babi hutan, tetapi sang babi hutan masih sempat menyelamatkan diri
dengan berlari kencang kemudian melenyapkan diri ke semak-semak yang banyak ditumbuhi pohon-pohon
lebat. Sangmaima terus mengejar ke arah babi hutan melenyapkan diri tetapi tak
didapatinya babi hutan yang telah terluka terkena tombak pusakanya. Di sana ia
hanya mendapati batang tombak yang mata tombaknya sudah tak ada lagi.
Sangmaima pun kembali ke rumahnya dan
segera ia bertandang ke rumah kakaknya untuk melaporkan kejadian tersebut. Dia
merasa pasti kakaknya akan marah besar mendengar berita mata tombak pusakanya
hilang terpaut di lambung babi hutan yang diburunya.
Sesampai di rumah kakaknya, ia
langsung menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu kepada Datu Dalu.
Mendengar ini kakaknya sangat marah.
“Akh, kau! Pokoknya abang tak mau tahu.
Kau harus menemukan dan mendapatkan kembali mata tombak pusaka warisan ayah kita
itu secepatnya, faham kau.”
“Baik bang, aku akan bertanggung
jawab, dan akan aku cari mata tombak itu sampai dapat lalu secepatnya kuberikan
kembali pada abang.”
“Sudahlah, jangan banyak cakap.
Sekarang juga kau berangkat mencari mata tombak itu.”
Saat itu juga Sangmaima berangkat ke
hutan untuk mencari mata tombak pusaka yang hilang terpaut di tubuh babi hutan.
Ia melacak jejak babi hutan yang terluka terkena tombaknya mulai dari tanaman
di kebunnya yang habis dimakan dan dirusak sampai kepada jejak tapak kaki babi
hutan yang menuju ke arah hutan. Akhirnya ia mendapatkan sebuah lubang besar
tempat dimana babi hutan itu hilang melenyapkan diri. Dengan perlengkapan tali
yang cukup panjang yang dibawanya, ia menuruni lubang itu sampai ke
dasarnya. Ternyata, lubang itu merupakan
pintu gerbang menuju ke istana bawah tanah.
Di istana itu Sangmaima menemukan mata
tombaknya yang hilang. Ia melihat mata tombak itu masih melekat di tubuh sang putri
raja yang sedang sakit. Kini tahulah ia bahwa babi hutan yang diburunya, yang
telah merusak tanaman di kebunnya itu ternyata jelmaan putri raja. Dengan bekal ilmu pengobatan warisan dari
ayahnya, diam-diam ia pun mengobati tuan putri raja hingga sembuh sehat seperti
sedia kala. Setelah mengobati tuan putri ia kembali menemui kakaknya untuk
mengembalikan mata tombak yang telah didapatkannya kembali.
Melihat kedatangan adiknya yang telah
berhasil mendapatkan kembali mata tombak pusakanya, Datu Dalu sangat gembira
dan sangat senang hatinya. Saking gembiranya hati Datu Dalu dengan ditemukannya
kembali mata tombak pusaka warisan ayahnya itu, ia mengadakan pesta adat secara
besar-besaran dengan mengundang para tetangga dan masyarakat sekitar. Akan
tetapi sayang sungguh disayang, Datu Dalu justru tidak mengundang adiknya
sendiri Sangmaima untuk datang ke pesta adat tersebut. Tentu saja perlakuan ini
telah membuat hati adiknya Sangmaima sangat tersinggung sekali. Rasa kecewa,
dongkol dan kemarahan yang bergelora di hatinya itu ia lampiaskan dengan
mengadakan pesta adat secara besar-besaran pula. Pesta itu diadakan Sangmaima
di rumahnya sendiri pada waktu yang bersamaan. Dalam pestanya itu Sangmaima
mengundang para tetangga dan masyarakat setempat yang dihibur dengan tontonan
tarian yang dilakukan oleh seorang gadis penari yang seluruh tubuhnya dihiasi
dengan bulu-bulu burung sehingga benar-benar menyerupai seekor burung Ernga
yang biasa berkicau pada sore hari di daerah itu. Tentu saja keadaan semacam
ini membuat para undangan dan masyarakat yang menonton merasa terhibur.
Waktu terus berlalu, pesta adat di
rumah Sangmaima semakin marak, para undangan dan masyarakat tetangga semakin
banyak yang hadir untuk menikmati hiburan music dan tarian burung Ernga.
Keadaan semacam ini membuat hati Datu Dalu menjadi iri karena pesta adat yang
diselenggarakan di rumahnya semakin sepi dari para tamu undangan bahkan tak ada
lagi yang datang ke pesta di rumahnya. Datu Dalu menjadi penasaran. Ia pun
datang untuk melihat-lihat dan menyelidiki pesta adat di rumah adiknya. Setelah
diteliti dan melihat keadaan sesungguhnya, ternyata ramainya para tamu undangan
dan masyarakat setempat hadir ke pesta adat adiknya adalah karena adanya
tontonan yang menarik, yaitu hiburan music dan tarian yang dimainkan oleh
seorang gadis penari dengan tarian burung Ernga yang sangat mempesona. Pada
saat itu pula ia masuk ke rumah Sangmaima lalu menjumpai adiknya dan berkata:
“Dik, tolong pinjami abang kelompok
penghibur dan penari burung Ernga itu untuk pesta di rumah abang.”
“Baik bang, tapi ada syaratnya!
Abang tidak boleh membikin perlengkapan music rusak atau hilang, apalagi burung
Ernga itu, jangan sampai hilang. Apakah abang sanggup? Tukas Sangmaima kepada kakaknya
sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sang penari burung.
“Baiklah, abang berjanji akan menjaganya
dengan sebaik-baiknya.” Jawab Datu Dalu sambil mengkerutkan keningnya.
Rupanya ia agak kecewa dengan ucapan adiknya yang seakan-akan membalikkan
omongannya saat adiknya meminjam tombak pusaka kepada dirinya tempo hari.
“Kalau
begitu, aku akan mengantarkan sendiri ke rumah abang seperangkat hiburan dan
penari itu ke rumah abang setelah pesta ini.”
Singkat cerita, Sangmaima mengantarkan
penari Ernga dan perangkatnya ke rumah kakaknya. Hari pertama pesta adat itu diselenggarakan
di rumah Datu Dalu, suasanya menjadi meriah dan ramai banyak dikunjungi para
hadirin dan tamu undangan karena adanya tontonan itu. Pada malam harinya,
diam-diam Sangmaima menjumpai gadis penari Ernga. Ia berkata kepada gadis itu:
“Ernga, dengar baik-baik perkataanku. Besok
pagi-pagi sekali, engkau harus meninggalkan tempat ini. Bawalah serta emas,
pakaian yang telah diberikan padamu!”
“Baik Tuanku!”
Pada hari yang kedua, Datu Dalu
kembali memanggil Ernga untuk menghibur dengan tarian burung Ernga dan
nyanyiannya yang sangat mempesona penonton itu. Berulang-ulang Datu Dalu
memanggil Ernga bahkan sampai setengah berteriak. Akan tetapi gadis yang
dipanggilnya tidak jua kunjung datang. Datu Dalu menjadi gusar, khawatir, dan
cemas. Dia mencari ke sana ke mari tetapi Ernga tetap tidak tampak kelihatan.
Pada saat itulah Sangmaima datang menjumpai kakaknya. Ia mengingatkan akan
perjanjian yang telah disepakati bahwa kakaknya akan bertanggung jawab untuk
menjaga Ernga jangan sampai hilang.
“Abang Datu, bagaimana ini? Abang sudah
berjanji padaku kalau akan menjaga Ernga
dengan sebaik-baiknya, tapi apa yang terjadi? Abang sudah mengingkari janji,
pokoknya aku tak mau tahu, abang harus mendapatkan Ernga itu kembali
sebagaimana dulu abang tak mau tahu soal mata tombak pusaka itu!”
“Aku mengaku salah, aku akan mengganti
kerugian semuanya. Seberapa banyak pun jumlah uang yang kau pinta, abang akan
menggantinya, faham kau!”
“Seberapa pun aku tetap tak mau
menerima ganti rugi abang, karena hanya Erngalah satu-satunya yang aku
inginkan, bang. Pokoknya abang harus mendapatkan kembali gadis Ernga itu, aku
tak mau tahu.”
“Berani-beraninya kau berkata kasar
seperti itu pada abangmu, itu artinya kau menantang aku untuk berkelahi.
Baiklah, aku akan melayanimu.”
Danau Si Losung |
Danau Si Pinggan |
Pertengkaran dan perkelahian pun akhirnya tak bisa
dielakkan lagi. Keduanya sama-sama pilih tanding, sama-sama berilmu silat
tinggi. Pertempuran pun semakin sengit, Keduanya saling mengeluarkan ilmu
kesaktiannya masing-masing yang
merupakan warisan dari ayahnya itu. Pada suatu kesempatan Datu Dalu melemparkan
lesung yang berada tak jauh darinya. Dia lalu melemparkan lesung itu dengan
sekuat tenaga. Lesung itu terlempar jauh melayang diangkasa dan jatuh didaerah
kampung tempat tinggal Saimima. Aneh bin ajaib, seketika itu juga, tempat
lokasi jatuhnya lesung itu berubah menjadi danau. Sampai sekarang danau itu
dikenal dengan nama Danau Si Losung. Melihat ini, Sangmaima pun tak mau kalah. Dia
pun melemparkan sebuah piring besar ke arah Datu Dalu, tetapi piring besar itu
tidak mengenai tubuh kakaknya. Piring it uterus melayang sampai akhirnya jatuh
di di kampong tempat tinggal Datu Dalu. Juga terjadi keajaiban, di tempat
jatuhnya piring besar itu muncul sebuah
danau. Penduduk setempat menyebut danau itu dengan sebutan Danau Si Pinggan
(piring). Begitulah legenda terjadinya danau Si Losung dan Si Pinggan dari
daerah Tapanuli Utara. (Referensi: MB.
Rahimsyah, Cerita Rakyat Nusantara, CV. Bringin 55. Solo)
Datu Dalu melemparkan lesung yang berada tak jauh darinya. Dia lalu melemparkan lesung itu dengan sekuat tenaga. Lesung itu terlempar jauh melayang diangkasa dan jatuh didaerah kampung tempat tinggal Saimima. Aneh bin ajaib, seketika itu juga, tempat lokasi jatuhnya lesung itu berubah menjadi danau. Sampai sekarang danau itu dikenal dengan nama Danau Si Losung. Melihat ini, Sangmaima pun tak mau kalah. Dia pun melemparkan sebuah piring besar ke arah Datu Dalu, tetapi piring besar itu tidak mengenai tubuh kakaknya. Piring it uterus melayang sampai akhirnya jatuh di di kampong tempat tinggal Datu Dalu. Juga terjadi keajaiban, di tempat jatuhnya piring besar itu muncul sebuah danau. Penduduk setempat menyebut danau itu dengan sebutan Danau Si Pinggan (piring).
BalasHapus