Raden Banterang dan Dewi Surati |
SABTU, 28 SEPT. 2012 - SITA BLOG : Di
pantai Timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh Sri Baginda Prabu
Menak Prakosa. Ia mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Ia juga mempunyai
seorang putra yang gagah, cakap, dan tampan parasnya bernama Raden Banterang. Raden
Banterang inilah yang kelak menjadi putera mahkota menggantikan ayahnya sebagai
raja. Ia sangat ditakuti dan disegani rakyatnya. Akan tetapi ada sedikit
kelemahan pada dirinya sebagai seorang pangeran yang kelak menjadi raja. Wataknya
pemberang dan cepat marah, bahkan tak segan-segan ia member hukuman yang berat
kepada hambanya jika tidak menuruti perintahnya.
Suatu
ketika Raden Banterang berburu khewan bersama pengiringnya. Dalam perburuan
tersebut secara tak disengaja ia berpisah dengan para pengiringnya. Raden Banterang
tersesat sampai jauh ke dalam hutan hingga akhirnya tiba di sebuah sungai. Di tepi
sungai itu nampak seorang gadis berparas cantik seperti putri raja sedang
memetik bunga, Raden Banterang sangat terpesona dengan kecantikan paras gadis
tersebut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Sedang
mimpikah aku ini, mengapa di tengah hutan selebat ini, di tepi sungai pula, ada
seorang putri cantik seorang diri saja tanpa ditemani oleh siapa-pun?” Maka bertanyalah Raden Banterang kepada gadis
tersebut:
“Wahai
Tuan Putri yang cantik jelita, siapakah Tuan ini? Mengapa Tuan Putri berada di
tempat ini sendirian saja? Manusia atau Dewikah Tuan Putri ini?”
Mendengar
sapaan yang tak diduga dari Raden Banterang, gadis itu sangat terkejut, ia sama
sekali tak menyangka jika di tengah hutan tempat ia bersembunyi masih saja ada orang
yang mengetahuinya. Gadis itu pun lalu menjawab dengan mimik muka ketakutan:
“Saya
manusia biasa, sama sekali bukan dewi. Saya berada di sini bersembunyi karena takut akan serangan musuh. Beberapa waktu lalu
kerajaan kami diserang oleh kerajaan musuh. Ayah saya tewas gugur terbunuh
dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Sejak saat itu saya mengembara seorang
diri sampai akhirnya bersembunyi di tempat ini.”
“Benarkah Tuan Putri adalah putri Raja Klungkung?” Tanya Raden Banterang kepada gadis
itu.
“Benar
yang Tuan katakana, saya adalah Surati putri Raja Klungkung yang gugur itu.”
Raden
Banterang diam beberapa saat. Sesungguhnya ia mengetahui bahwa yang menyerang
kerajaan Klungkung adalah kerajaan yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Mendengar
cerita gadis tersebut Raden Banterang menjadi iba. Selanjutnya putri raja
Klungkung dibawa ke istana. Tak lama kemudian oleh Raden Banterang, putri raja
Klungkung itu dinikahinya, dan mereka berdua hidup bahagia.
Rakyat
kerajaan Menak Prakosa semuanya ikut berbahagia karena Raden Banterang mendapat
istri yang selain cantik dan elok rupawan, elok pula perangainya. Berkat keelokan
perangai dan budi pekerti Dewi Surati putrid raja Klungkung itu, sifat pemarah
Raden Banterang berangsur-angsur lenyap. Suatu ketika Dewi Surati
berjalan-jalan di luar istana. Secara tak disengaja ia berjumpa dengan seorang
laki-laki kumal berpakaian compang-camping layaknya seorang pengemis. Laki-laki
itu berteriak-teriak memanggil namanya:
“Surati,
Surati!”
Alangkah
terkejutnya Dewi Surati mendengar teriakan yang memanggil-manggil namanya. Dipandangnya
laki-laki itu secara saksama. Akhirnya Dewi Surati mengenali wajah laki-laki
itu yang tak lain adalah kakaknya sendiri yang sudah lama berpisah sejak
penyerbuan kerajaan Klungkung dikalahkan oleh kerajaan Prabu Menak Prakosa. Dewi
Surati pun mendekati saudara laki-lakinya itu yang memang sudah lama dirindukannya.
Berkatalah Dewi Surati kepada saudaranya itu:
“Aduh,
kakanda tercinta! Adinda tidak mengira kalau kita dapat bersua lagi. Adinda menyangka
kakanda sudah gugur di medan tempur saat menghadapi serangan musuh bersama-sama
ayahanda tercinta. Kiranya Sang Dewata Agung masih melindungi kita berdua.”
“Surati, sungguh adinda tidak tahu malu. Mengapa adinda
mau diperistri oleh laki-laki yang sesungguhnya adalah pembunuh ayahanda
sendiri. Sungguh aku mengutukmu Surati. Sekarang kakanda akan menuntut balas
atas kematian ayah kita. Maukah adinda membantu kakanda?”
Mendengar
ucapan kakaknya yang mengajak untuk membalaskan dendamnya, Dewi Surati tegas
menjawab:
“Maaf kakanda, adinda tidak bisa membantu kakanda karena
Raden Bantering adalah seseorang yang telah menolong hamba dalam kesusahan,
dialah yang telah menyelamatkan adinda dari berbagai penderitaan saat
bersembunyi sendiri di tengah hutan, dan Raden Banterang pun sekarang sudah
menjadi suami adinda tercinta. Maaf, sekali lagi maaf kakanda, adinda tidak
bisa mengabulkan permintaan kakanda untuk membalaskan dendam.”
Mendengar
semua penuturan itu, kakak kandung Dewi Surati Nampak kecewa sekali. Ia menggerutu
dalam hatinya, “Awas kau Surati, rupanya
kau telah mengkhianati keluarga kita sendiri.”
Suatu
hari Raden Banterang pergi berburu, saat sedang mengejar seekor kijang, datang seorang
pengemis menghampiri Raden Banterang
seraya berkata:
“Tuanku
Raden Banterang, sejak tadi hamba mencari tuanku di hutan ini. Percayalah pada
hamba tuanku, bahwa jiwa tuanku sangat terancam bahaya. Ada seseorang yang
ingin membunuh tuanku. Orang itu adalah permasuri Tuanku sendiri Dewi Surati. Tadi
hamba melihat dengan mata kepala hamba sendiri, permaisuri bersama seorang laki-laki
merencanakan pembunuhan terhadap Tuanku. Cepat kembali Tuanku, jika masih tak
percaya pada hamba buktikanlah nanti, di bawah peraduan permaisuri ada sebilah
keris pusaka kerajaan Klungkung yang diperuntukan untuk membunuh Tuanku.” Setelah
berkata demikian pengemis itu bergerak cepat hilang di balik semak-semak. Raden
Banterang sangat terkejut mendengar berita dari seorang pengemis yang tiba-tiba
saja datang menhampirinya. Ia sungguh percaya dengan apa yang dikatakan
pengemis itu meskipun hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh
pengemis itu adalah bhong belaka.
Raden
Banterang pun bergegas pulang kembali ke istana. Sesampai di istana Ia langsung
memeriksa peraduan permaisurinya. Apa yang dilihat, benar saja di bawah
peraduan itu terdapat keris pusaka kerajaan Klungkung. Alangkah panasnya hati Raden
Banterang melihat semua kenyataan ini. Ternyata apa yang dikatakan pengemis di
hutan tadi adalah benar. Artinya permaisurinya sendiri telah mengkhianatinya,
bersekongkol dengan saudara laki-lakinya untuk membunuh dirinya. Kemarahan Raden
Banterang pun sudah tak bisa dikendalikan lagi. Lalu diajaknyalah permaisurinya
Dewi Surati ke muara sebuah sungai. Di sana Raden Banterang menceritakan semua
apa yang didengar dari seorang pengemis yang mengatakan tentang rencana
pembunuhan kepada dirinya saat berburu di hutan. Raden Banterang berkata kepada
Dewi Surati dengan nada penuh kemarahan:
“Inikak
balasanmu kepada semua kebaikanku, Surati?”
“Adinda berani bersumpah, sungguh! Seujung kuku pun
sekali-kali hamba tidak melakukan seperti yang kakanda tuduhkan itu.”
Mendengar
jawaban Dewi Surati kemarahan Raden Banterang malah bertambah. Ia membentak
Dewi Surati sambil memperlihatkan keris yang ditemukannya di bawah peraduan
Dewi Surati:
“Diam kau, pendusta! Lihatlah, apa
ini yang kupegang, keris pusaka ayahandamu, bukan?!”
“Kakanda
Raden Banterang, itu memang keris ayahandaku, keris pusaka kerajaan Klungkung. Akan
tetapi, demi Dewata Yang Agung pusaka itu hanya diwariskan dan dipegang oleh
kakak hamba. Sungguh hamba tidak mengerti kenapa keris pusaka itu sekarang bisa
ada di tangan kakanda Raden Banterang?” Dewi Surati berupaya menjelaskan
duduk persoalan yang sebenarnya, kemudian melanjutkan kata-katanya lagi:
“Raden
Banterang, adinda berani bersumpah bahwa adinda masih istri yang setia kakanda.
Memang adinda akui, kakak hamba datang menemui hamba di luar istana untuk
meminta bantuan hamba untuk membunuh kakanda Raden Banteran. Tetapi semua itu
hamba tolak, hamba tidak mau.”
Raden
Banterang tetap tidak mau mempercayai dengan semua kata-kata yang diucapkan
oleh permaisurinya Dewi Surati dengan tulus itu, maka Raden Banterang pun
menghunus keris yang ada di pinggangnya itu membunuh Dewi Surati.
“Biklah, baiklah…jika kakanda sudah
tak mempercayai adinda, adinda rela mati menemui ajal di sungai ini. Akan tetapi
harap kakanda camkan baik-baik, bahwa jika nanti air sungai ini berbau harum
mewangi itu berarti adinda tidak bersalah, sebaliknya jika air sungai ini
berbau busuk itu tandanya hamba bersalah.”
Sebelum
keris itu menghujam ke perutnya, Dewi Surati melompat ke sungai lalu menghilang.
Tewas tenggelam di dasar sungai. Akan tetapi saat itu juga tercium bau aroma
yang sangat harum mewangi di sekitar sungai itu. Raden Banterang berteriak dengan suara
gemetar, “Banyuwangi…!Banyuwangi…! Istriku ternyata tidak berdosa…istriku tidak
berdosa!”
“Banyuwangi…!”
Teriak seorang pengemis dalam waktu yang hampir
bersamaan.
“Hai,
Raden Banterang! Aku adalah kakaknya. Istrimu Dewi Surati memang tidak berdosa.
Ia menolak membantuku untuk membunuhmu. Banyuwangi itulah tanda cinta sucinya.”
Setelah
berkata demikian, pengemis itu pun menghilang. Raden Banterang menyesali
perbuatannya. Mengapa ia terburu nafsu tanpa terlebih dahulu menyelidikinya
dengan cermat. Ia sangat menyesali perbuatannya yang telah membuat maut kepada
istrinya yang sangat dicintainya itu. Akan tetapi seperti pepatah bilang, menyesal
pun tak berguna lagi. Sampai sekarang daerah tempat Dewi Surati menghilang
dikenal dengan nama BANYUWANGI. Banyu berarti air dan Wangi berarti harum.
Banyuwangi berarti air yang harum. (Referensi:
MB. Rahimsyah, Cerita Rakyat Nusantara, CV. Beringin 55, Surakarta.)
JIKA ORANG TUA MERASA SULIT BERKOMUNIKASI DENGAN ANAK MAKA MENDONGENGLAH, SEMPATKAN WAKTU BARANG SETENGAH ATAU SATU JAM UNTUK BERCANDA RIA DENGAN ANAK-ANAK ANDA!
BalasHapus