Sabtu, 29 September 2012

MB. Rahimsyah: “ASAL MULA BANYUWANGI” Diceritakan oleh Sita



Raden Banterang dan Dewi Surati
SABTU, 28 SEPT. 2012 - SITA BLOG : Di pantai Timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh Sri Baginda Prabu Menak Prakosa. Ia mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Ia juga mempunyai seorang putra yang gagah, cakap, dan tampan parasnya bernama Raden Banterang. Raden Banterang inilah yang kelak menjadi putera mahkota menggantikan ayahnya sebagai raja. Ia sangat ditakuti dan disegani rakyatnya. Akan tetapi ada sedikit kelemahan pada dirinya sebagai seorang pangeran yang kelak menjadi raja. Wataknya pemberang dan cepat marah, bahkan tak segan-segan ia member hukuman yang berat kepada hambanya jika tidak menuruti perintahnya.

Suatu ketika Raden Banterang berburu khewan bersama pengiringnya. Dalam perburuan tersebut secara tak disengaja ia berpisah dengan para pengiringnya. Raden Banterang tersesat sampai jauh ke dalam hutan hingga akhirnya tiba di sebuah sungai. Di tepi sungai itu nampak seorang gadis berparas cantik seperti putri raja sedang memetik bunga, Raden Banterang sangat terpesona dengan kecantikan paras gadis tersebut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Sedang mimpikah aku ini, mengapa di tengah hutan selebat ini, di tepi sungai pula, ada seorang putri cantik seorang diri saja tanpa ditemani oleh siapa-pun?”  Maka bertanyalah Raden Banterang kepada gadis tersebut:

            “Wahai Tuan Putri yang cantik jelita, siapakah Tuan ini? Mengapa Tuan Putri berada di tempat ini sendirian saja? Manusia atau Dewikah Tuan Putri ini?” 

Mendengar sapaan yang tak diduga dari Raden Banterang, gadis itu sangat terkejut, ia sama sekali tak menyangka jika di tengah hutan tempat ia bersembunyi masih saja ada orang yang mengetahuinya. Gadis itu pun lalu menjawab dengan mimik muka ketakutan:

            “Saya manusia biasa, sama sekali bukan dewi. Saya berada di sini bersembunyi karena  takut akan serangan musuh. Beberapa waktu lalu kerajaan kami diserang oleh kerajaan musuh. Ayah saya tewas gugur terbunuh dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Sejak saat itu saya mengembara seorang diri sampai akhirnya bersembunyi di tempat ini.”

            “Benarkah Tuan Putri adalah putri Raja Klungkung?” Tanya Raden Banterang kepada gadis itu.

            “Benar yang Tuan katakana, saya adalah Surati putri Raja Klungkung yang gugur itu.”
Raden Banterang diam beberapa saat. Sesungguhnya ia mengetahui bahwa yang menyerang kerajaan Klungkung adalah kerajaan yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Mendengar cerita gadis tersebut Raden Banterang menjadi iba. Selanjutnya putri raja Klungkung dibawa ke istana. Tak lama kemudian oleh Raden Banterang, putri raja Klungkung itu dinikahinya, dan mereka berdua hidup bahagia.

Rakyat kerajaan Menak Prakosa semuanya ikut berbahagia karena Raden Banterang mendapat istri yang selain cantik dan elok rupawan, elok pula perangainya. Berkat keelokan perangai dan budi pekerti Dewi Surati putrid raja Klungkung itu, sifat pemarah Raden Banterang berangsur-angsur lenyap. Suatu ketika Dewi Surati berjalan-jalan di luar istana. Secara tak disengaja ia berjumpa dengan seorang laki-laki kumal berpakaian compang-camping layaknya seorang pengemis. Laki-laki itu berteriak-teriak memanggil namanya:

            “Surati, Surati!”

Alangkah terkejutnya Dewi Surati mendengar teriakan yang memanggil-manggil namanya. Dipandangnya laki-laki itu secara saksama. Akhirnya Dewi Surati mengenali wajah laki-laki itu yang tak lain adalah kakaknya sendiri yang sudah lama berpisah sejak penyerbuan kerajaan Klungkung dikalahkan oleh kerajaan Prabu Menak Prakosa. Dewi Surati pun mendekati saudara laki-lakinya itu yang memang sudah lama dirindukannya. Berkatalah Dewi Surati kepada saudaranya itu:

            “Aduh, kakanda tercinta! Adinda tidak mengira kalau kita dapat bersua lagi. Adinda menyangka kakanda sudah gugur di medan tempur saat menghadapi serangan musuh bersama-sama ayahanda tercinta. Kiranya Sang Dewata Agung masih melindungi kita berdua.” 

            “Surati, sungguh adinda tidak tahu malu. Mengapa adinda mau diperistri oleh laki-laki yang sesungguhnya adalah pembunuh ayahanda sendiri. Sungguh aku mengutukmu Surati. Sekarang kakanda akan menuntut balas atas kematian ayah kita. Maukah adinda membantu kakanda?”
Mendengar ucapan kakaknya yang mengajak untuk membalaskan dendamnya, Dewi Surati tegas menjawab:  
            “Maaf kakanda, adinda tidak bisa membantu kakanda karena Raden Bantering adalah seseorang yang telah menolong hamba dalam kesusahan, dialah yang telah menyelamatkan adinda dari berbagai penderitaan saat bersembunyi sendiri di tengah hutan, dan Raden Banterang pun sekarang sudah menjadi suami adinda tercinta. Maaf, sekali lagi maaf kakanda, adinda tidak bisa mengabulkan permintaan kakanda untuk membalaskan dendam.”

Mendengar semua penuturan itu, kakak kandung Dewi Surati Nampak kecewa sekali. Ia menggerutu dalam hatinya, “Awas kau Surati, rupanya kau telah mengkhianati keluarga kita sendiri.” 

Suatu hari Raden Banterang pergi berburu, saat sedang mengejar seekor kijang, datang seorang pengemis menghampiri  Raden Banterang seraya berkata: 

            “Tuanku Raden Banterang, sejak tadi hamba mencari tuanku di hutan ini. Percayalah pada hamba tuanku, bahwa jiwa tuanku sangat terancam bahaya. Ada seseorang yang ingin membunuh tuanku. Orang itu adalah permasuri Tuanku sendiri Dewi Surati. Tadi hamba melihat dengan mata kepala hamba sendiri, permaisuri bersama seorang laki-laki merencanakan pembunuhan terhadap Tuanku. Cepat kembali Tuanku, jika masih tak percaya pada hamba buktikanlah nanti, di bawah peraduan permaisuri ada sebilah keris pusaka kerajaan Klungkung yang diperuntukan untuk membunuh Tuanku.” Setelah berkata demikian pengemis itu bergerak cepat hilang di balik semak-semak. Raden Banterang sangat terkejut mendengar berita dari seorang pengemis yang tiba-tiba saja datang menhampirinya. Ia sungguh percaya dengan apa yang dikatakan pengemis itu meskipun hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh pengemis itu adalah bhong belaka.

Raden Banterang pun bergegas pulang kembali ke istana. Sesampai di istana Ia langsung memeriksa peraduan permaisurinya. Apa yang dilihat, benar saja di bawah peraduan itu terdapat keris pusaka kerajaan Klungkung. Alangkah panasnya hati Raden Banterang melihat semua kenyataan ini. Ternyata apa yang dikatakan pengemis di hutan tadi adalah benar. Artinya permaisurinya sendiri telah mengkhianatinya, bersekongkol dengan saudara laki-lakinya untuk membunuh dirinya. Kemarahan Raden Banterang pun sudah tak bisa dikendalikan lagi. Lalu diajaknyalah permaisurinya Dewi Surati ke muara sebuah sungai. Di sana Raden Banterang menceritakan semua apa yang didengar dari seorang pengemis yang mengatakan tentang rencana pembunuhan kepada dirinya saat berburu di hutan. Raden Banterang berkata kepada Dewi Surati dengan nada penuh kemarahan:

            “Inikak balasanmu kepada semua kebaikanku, Surati?”

            “Adinda berani bersumpah, sungguh! Seujung kuku pun sekali-kali hamba tidak melakukan seperti yang kakanda tuduhkan itu.”   

Mendengar jawaban Dewi Surati kemarahan Raden Banterang malah bertambah. Ia membentak Dewi Surati sambil memperlihatkan keris yang ditemukannya di bawah peraduan Dewi Surati:

            “Diam kau, pendusta! Lihatlah, apa ini yang kupegang, keris pusaka ayahandamu, bukan?!”

            “Kakanda Raden Banterang, itu memang keris ayahandaku, keris pusaka kerajaan Klungkung. Akan tetapi, demi Dewata Yang Agung pusaka itu hanya diwariskan dan dipegang oleh kakak hamba. Sungguh hamba tidak mengerti kenapa keris pusaka itu sekarang bisa ada di tangan kakanda Raden Banterang?” Dewi Surati berupaya menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, kemudian melanjutkan kata-katanya lagi:

            “Raden Banterang, adinda berani bersumpah bahwa adinda masih istri yang setia kakanda. Memang adinda akui, kakak hamba datang menemui hamba di luar istana untuk meminta bantuan hamba untuk membunuh kakanda Raden Banteran. Tetapi semua itu hamba tolak, hamba tidak mau.”

Raden Banterang tetap tidak mau mempercayai dengan semua kata-kata yang diucapkan oleh permaisurinya Dewi Surati dengan tulus itu, maka Raden Banterang pun menghunus keris yang ada di pinggangnya itu membunuh Dewi Surati.

            “Biklah, baiklah…jika kakanda sudah tak mempercayai adinda, adinda rela mati menemui ajal di sungai ini. Akan tetapi harap kakanda camkan baik-baik, bahwa jika nanti air sungai ini berbau harum mewangi itu berarti adinda tidak bersalah, sebaliknya jika air sungai ini berbau busuk itu tandanya hamba bersalah.” 

Sebelum keris itu menghujam ke perutnya, Dewi Surati melompat ke sungai lalu menghilang. Tewas tenggelam di dasar sungai. Akan tetapi saat itu juga tercium bau aroma yang sangat harum mewangi di sekitar sungai itu.  Raden Banterang berteriak dengan suara gemetar, “Banyuwangi…!Banyuwangi…! Istriku ternyata tidak berdosa…istriku tidak berdosa!”

“Banyuwangi…!”  Teriak seorang pengemis dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Hai, Raden Banterang! Aku adalah kakaknya. Istrimu Dewi Surati memang tidak berdosa. Ia menolak membantuku untuk membunuhmu. Banyuwangi itulah tanda cinta sucinya.”   

Setelah berkata demikian, pengemis itu pun menghilang. Raden Banterang menyesali perbuatannya. Mengapa ia terburu nafsu tanpa terlebih dahulu menyelidikinya dengan cermat. Ia sangat menyesali perbuatannya yang telah membuat maut kepada istrinya yang sangat dicintainya itu. Akan tetapi seperti pepatah bilang, menyesal pun tak berguna lagi. Sampai sekarang daerah tempat Dewi Surati menghilang dikenal dengan nama BANYUWANGI. Banyu berarti air dan Wangi berarti harum. Banyuwangi berarti air yang harum. (Referensi: MB. Rahimsyah, Cerita Rakyat Nusantara, CV. Beringin 55, Surakarta.)  
                     

1 komentar:

  1. JIKA ORANG TUA MERASA SULIT BERKOMUNIKASI DENGAN ANAK MAKA MENDONGENGLAH, SEMPATKAN WAKTU BARANG SETENGAH ATAU SATU JAM UNTUK BERCANDA RIA DENGAN ANAK-ANAK ANDA!

    BalasHapus