Jumat, 28 September 2012

KISAH SEORANG IBU DAN SEPOTONG ROTI Diceritakan oleh Sita


Ibu dan Sepotong Rotinya
SABTU, 28 SEPT. 2012 – SITA BLOG: Adik-adik tersayang, kali ini kakak akan bercerita seorang tentang seorang ibu yang sangat berbudi mulia. Kisah ini terjadi di zaman Khalifah Usman r.a. sahabat Rasulullah. Beginilah ceritanya! 

Ada kebiasaan yang selalu dilakukan oleh Khalifah Usman r.a. yaitu pada setiap musim haji tiba, ia memimpin sendiri rombongan jamaah haji dari kota Madinah ke Makkah. Pada suatu ketika, saat musim haji, terjadi kerusuhan di kota Madinah sehingga Khalifah Usman terpaksa tidak bisa memimpin sendiri rombongan haji karena harus meredam terlebih dahulu kerusuhan yang terjadi di kota Madinah tersebut, dan ia mewakilkan pimpinan rombongan haji kepada Abdullah bin Abbas.

Selesai berkemas, rombongan haji pimpinan Abdullah bin Abbas berangkat menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di perjalanan rombongan jamaah haji ini kehabisan bekal makanan karena bekal yang mereka bawa ternyata tidak cukup untuk sampai ke Makkah. Di suatu kampung, Abdullah bin Abbas akhirnya memerintahkan kepada rombongannya untuk mendirikan kemah dan beristirahat melepaskan lelah sambil mencari makanan untuk bekal diperjalanan selanjutnya. Beberapa orang dari rombongan yang ditugaskan mencari bekal makanan menjumpai sebuah rumah gubuk yang dihuni seorang ibu tua yang sedang duduk di serambi rumah gubuknya. Mereka pun bertanya kepada ibu tua tersebut:

            “Ibu, mohon maaf sebelumnya, bisakah ibu menolong kami yang sedang kesulitan untuk mencari makanan? Terus terang ibu, kami benar-benar kelaparan dan sangat membutuhkan  bekal makanan untuk perjalanan haji ke Makkah, bisakah ibu menjual  makanan kepada kami, dan kami akan membayar makanan tersebut sesuai yang ibu kehendaki.”  Sapa salah seorang rombongan haji kepada ibu tua penuh harap.

            “Maaf tuan-tuan, saya tidak bisa menjual bahan makanan apa pun, karena makanan yang saya miliki hanya cukup untuk saya dan dua orang putra kami.”

            “Oya, kalau saya boleh tahu… di manakah kedua putra ibu itu sekarang berada?”

Mendengar pertanyan ini, ibu tua itu pun menjelaskan, bahwa kedua putranya sedang pergi ke hutan. Selanjutnya terjadilah percakapan yang lebih lama antara beberapa orang rombongan yang ditugaskan Abdullah bin Abbas dengan ibu tua itu.

            “Apakah yang ibu masak untuk kedua putra ibu sepulangnya dari hutan nanti?”

            “Saya membuatkan mereka sepotong roti besar.”

            “Selain dari itu, ibu memasak apa lagi?”

            “Tidak ada lagi, hanya itu yang ibu masak untuk mereka.”

            “Jika demikian, juallah roti itu separuhnya kepada kami, dan kami akan membayarnya dengan harga yang tinggi.”

Mendengar perkataan seperti itu, ibu tua menjadi tersinggung lalu berdiri dari tempat duduknya seraya mengambil roti yang telah dimasaknya lalu berkata:

“Maaf tuan-tuan, jangan tuan mengira, bahwa saya perempuan tua yang hina ini untuk menjual roti yang hanya cukup untuk kami bertiga dengan harga yang tinggi. Akan tetapi jika Tuan-Tuan benar-benar dalam kesusahan, maka baiklah, ambil saja roti ini dan tak perlu Tuan-Tuan membayarnya.”

Akhirnya ibu tua pun memberikan seluruh roti yang dimilikinya kepada utusan rombongan haji pimpinan Abdullah bin Abbas yang sedang membutuhkan bahan makanan. Setelah mengucapkan terima kasih, maka pulanglah para utusan tersebut dengan perasaan puas. Setiba di perkemahan, mereka pun langsung menghadap pimpinan rombongan dan menceritakan tentang ibu tua dengan rotinya yang baru saja mereka dapatkan. Mendengar cerita ini, Abdullah bin Abbas sangat kagum dan langsung memerintahkan utusan tadi untuk pergi menjumpai kembali ibu tua untuk menghadap Abdullah bin Abbas. Para utusan pun segera berangkat kembali melaksakan perintah pimpinannya, Abdullah bin Abbas.

Singkat cerita, sampailah utusan Abdullah bin Abbas di rumah gubug ibu tua, mereka memberi salam dan menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar itu ibu tua itu berkata:

            “Apa yang dihajatkan pimpinan Tuan-Tuan sehingga mau berjumpa dengan perempuan badui yang hina dan melarat ini?”

Ibu tua merasa keberatan untuk bertemu dengan pimpinan mereka. Akan tetapi karena didesak terus, akhirnya ibu tua itu pun mau juga menemui pimpinan mereka, Abdullah bin Abbas. selanjutnya terjadilah percakapan antara Abdullah bin Abbas dengan ibu tua yang sangat dikaguminya karena sifatnya yang langka dimiliki oleh manusia kebanyaka itu.

            “Dari suku manakah ibu?”

            “Saya dari suku Bani Kalb.”

            “Bagaimana keadaan ibu sekarang?”

            “Alhamdulillah, baik-baik saja. Untuk makan, kami setiap hari membakar roti. Untuk minum, ada air yang bersih mengalir di sungai dekat hutan tempat tinggal kami. Kami senantiasa menjaga agar daerah kami terlepas dari marabahaya. Kami selalu bersyukur bisa hidup tenang dan damai.”

Mendengar panjang lebar cerita ibu tua itu, Abdullah bin Abbas, sebagai pimpinan rombongan jamaah haji, diam-diam tambah kagum saja. Lalu berkata:

            “Bukankah ibu yang telah berbaik hati menolong kami dengan memberikan roti itu, padahal ibu juga sangat membutuhkan untuk kedua putra ibu, dan ibu sendiri?”
                   
Mendengar Abdullah bin Abbas banyak memuji-mujinya, ibu tua itu langsung berkata:

            “Jika hanya itu yang ingin Tuan katakana kepada saya, kiranya Tuan tidak perlu repot-repot untuk memanggil saya datang menghadap Tuan. Terus terang, saya tak butuh pujian-pujian apa pun!”

Mendengar perkataan ibu tua yang demikian itu, Abdullah bin Abbas tak menghiraukan. Rupanya beliau masih belum puas dengan ucapannya, ia pun berkata lagi kepada ibu tua itu:

            “Kebaikan ibu sungguh tak terbalas. Bukankah dengan ibu menolong kami, kedua putra ibu harus menanggung lapar?”

            “Rupanya soal itu lagi yang Tuan ulangi; malu saya mendengar soal sepotong roti yang terus-menerus dibicarakan. Tuan adalah pemimpin agung. Saya ingin Tuan bicara sesuatu yang lebih berarti untuk didengar.”

Abdullah bin Abbas mohon maaf kepada ibu tua itu dengan berkata:

            “baiklah, saya tidak akan mengulanginya lagi. Akan tetapi dengan apakah saya dapat membalas budi baik ibu sebagai tan da terima kasih kami?”

            Perkataan terima kasih Tuan itu sudahlah cukup bagi saya, bahkan saya sebenarnya tidak membutuhkan ucapan terima kasih itu, karena saya memberikan roti itu ihklas karena Allah karena rombongan haji tuan sangat membutuhkannya. Jawab ibu tua itu dengan tegas. Sebagai pimpinan rombongan haji, Abdullah bin Abbas nampaknya cukup prihatin. Ia ingin menunjukkan terima kasihnya dan membalas budi baik ibu tua yang miskin, tetapi jiwanya kaya dengan sifat yang baik dan mulia. Abdullah bin Abbasa mendesak ibu tua itu agar mau menerima hadiahnya seraya mengucapkan:

            “Ibu, izinkanlah saya memberikan sesuatu kepada ibu sebagai rasa terima kasih kami kepada ibu. Apakaah yang sangat ibu perlukan?”
                        
            “Tuan, masih banyak orang yang lebih miskin daripadda saya. Merekalah yang lebih patut dan sangat membutuhkan pertolongan Tuan. Kami sendiri kiranya sudah cukup.” Demikian jawab ibu tua itu.   

            “Ibu, tentu mere pun saya pikirkan juga. Terhadap ibu sendiri, rasanya hati saya belum puas manakala ibu masih menolak menerima tanda terima kasih kami atas perlakuan budi baik ibu kepada kami yang musafir ini.” Abdullah bin Abbas memohon agar pemberiannya diterima ibu tua itu.

Karena didesak terus, akhirnya ibu tua itu menerima pemberian hadiah sebagai tanda terima kasih atas budi baik dan mulianya dari Abdullah bin Abbas selaku pimpinan rombongan jamaah haji. Dengan perasaan haru akhirnya Ibu tua menerima empat puluh ekor unta dan sepuluh ribu dirham dari Abdullah bin Abbas.(Referensi: Nurhayat Alhadar, 1993, Kumpulan Kisah Zaman Nabi dan Para Sahabat, Jakarta, Penerbit Mizan.)



           

1 komentar:

  1. Kisah tersebut di atas merupakan pancaran sinar ajaran Allah melalui seorang ibu yang telah disampaikan oleh Baginda Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W.

    BalasHapus