Jumat, 26 Oktober 2012

Legenda Marga “HAN” Tak Ada Di Lasem Diceritakan Oleh Sita S.Priyadi



Legenda Marga Han tak ada di Lasem
Pemakaman Tua di Lasem
JUMAT, 26 OKT. 2012 – SITA BLOG: Nah, adik-adik! Kali ini kakak akan bercerita tentang legenda marga Han di kota Lasem. Perlu adik-adik ketahui kota Lasem termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah. 
Di kota Lasem ini, sejak ratusan tahun yang lalu sudah banyak dihuni oleh warga etnis Tionghoa keturunan Cina. Akan tetapi yang unik adalah marga Han sama sekali tak ada yang berani untuk tinggal dan menetap di Lasem sampai sekarang. Adik-adik ada cerita yang menarik di balik semua itu. Nah, kakak akan ceritakan sekarang !

Sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih terikat oleh kepercayaan leluhur seperti tabu, pantang, kutukan, dan sebagainya, demikian pula dengan masyarakat penduduk Lasem marga Han ini. Adik-adik beginilah ceritanya.

Diceritakan satu keluarga Jawa keturunan Cina bermarga Han yang kaya raya terdiri atas seorang ayah bernama Han yang telah lama ditinggal mati oleh istrinya, dan empat orang anaknya yang semuanya laki-laki.  Sejak ditinggal istrinya, Han selalu bermuram durja, ia selalu terbayang-bayang dan teringat-ingat akan kebaikan serta kesetiaan istrinya yang sangat dicintainya itu. Hidupnya serasa tak bergairah dan bersemangat lagi. Apa lagi ke empat putranya yang diharapkan bisa menggantikan dirinya untuk mengelola usahanya sebagai saudagar tak bisa diandalkan lagi. Mereka semuanya sibuk dengan kegemarannya masing-masing yaitu mabuk-mabukkan, wanita, dan berjudi, berjudi, terus berjudi sampai harta benda mereka habis terjual. 

“Wahai putra-putraku, apakah kalian semua tak menyadari akan kegemeran kalian pada judi itu telah membuat kita miskin dan melarat seperti ini. Ibu kalian sampai sakit-sakitan dan meninggal itu karena selalu memikirkan prilaku kalian yang selalu mabuk-mabukkan, berjudi dan terus berjudi. Kalian tak mau meneruskan usaha dagang ayah, malah sebaliknya kalian menjual habis semua harta benda kita sampai kita melarat dan miskin seperti ini.”

“Akh, ayah! Pokoknya kami semua sudah bosan dan capek pergi dari kampung satu ke kampung yang lain, kami hanya ingin bersenang-senang. Dari hasil menang judi pun kami bisa hidup sebagaimana ayah lihat sampai sekarang, lihatlah kami ,ayah! Ha ha ha… kami masih perlente dan necis, bukan?!”   

Meskipun Han telah berulang-ulang dan tak bosan-bosan memberikan nasehat-nasehat kepada putra-putranya itu dengan sungguh-sungguh, akan tetapi keempat putranya sama sekali tak mau mendengarkan bahkan mereka semakin menggila dengan hobi dan kesenangannya dalam berjudi. Memikirkan hal ini, Han jadi teringat di masa mudanya bahwa dia pun memiliki watak dan kebiasaan yang sama seperti yang dilakukan oleh anak-anaknya itu akan tetapi dia masih diberikan hidayah oleh Tuhan dan akhirnya insyaf dan bertobat.  Sekarang keluarganya benar-benar telah jatuh miskin. Memikirkan ini semua, Han Jatuh sakit. Beberapa hari kemudian akhirnya meninggal dunia dalam keadaan yang miskin, melarat dan papa. Anak-anak mereka pun tak mempunyai uang untuk menguburkan jenazah ayahnya itu.

“Bagaimana ini? Kita tak bisa lagi menguburkan jenazah orang tua kita karena tak sepeser pun lagi uang ada pada kita. Apalagi untuk membeli peti dan membiayai penguburan ayah.” Tanya saudara tertua pada ketiga adik-adiknya dengan wajah kusut. Sejenak merekapun  diam termenung, lalu saudara keempat, si bungsu menjawab pertanyaan kakak pertamanya,

            “Oya, kakak pertama! Jika demikian kita minta uang sumbangan saja kepada para tetangga di sini untuk membantu kesulitan kita, aku yakin mereka akan membantu kesulitan kita.”
            “Ya, ya, ya… boleh, boleh itu! Aku sangat setuju!” jawab kakak pertamanya yang diamini pula oleh saudara-saudaranya yang lain.

            “Kalau begitu, tak usah kita menunggu lama-lama. Sekarang juga mari kita berangkat untuk meminta uang sumbangan kematian kepada semua warga di tempat ini. Oya, jangan lupa dalam meminta uang sumbangan kematian itu, ekspresi wajah dan sikap kalian harus benar-benar meyakinkan bahwa kita benar-benar sangat berduka dengan kematian ayah kita. Katakanlah kepada mereka semua bahwa sebenarnya kita malu untuk melakukan ini seandainya masih kaya dan berharta seperti dulu.”

            “Baiklah kakak pertama!” 

Serempak ke empat bersaudara putra Han saudagar terkaya di Lasem yang sangat gemar berjudi itu, melakukan rencananya untuk meminta uang sumbangan kematian ayahnya kepada para tetangga sekampungnya. Mereka pun mendatangi para tetangga dekatnya dengan mengatakan maksud dan kedatangan mereka, sesuai dengan apa yang dipesankan oleh saudara tuanya. Dengan akting mereka yang sangat meyakinkan, semua tetangganya  memberi bantuan uang sumbangan kematian yang mereka sodorkan sebagai turut bela sungkawa atas kematian orang tua mereka yang memang dikenal sangat baik dan dermawan di kampungnya. 

Ternyata, uang sumbangan yang berhasil mereka kumpulkan dari para tetangganya sudah lebih dari cukup bahkan lebih untuk biaya pembelian sebuah peti mati dan biaya upacara pemakaman ayah mereka. Namun dasar memang sudah berwatak penjudi, uang dana sumbangan untuk biaya pemakaman ayah mereka itu bukan digunakan sebagaimana mestinya, malah digunakan untuk bermain judi lagi. Mereka berspekulasi dengan maksud, jika mereka menang dalam berjudi nanti tentu uang mereka akan terkumpul lebih banyak lagi. Akan tetapi siapa nyana justru mereka kalah dalam perjudian, dan uang dana untuk biaya pemakaman ayah mereka, bukannya bertambah malah uang yang ada habis semua kalah di meja perjudian. Akibatnya, tentu saja mereka tak bisa lagi menguburkan jenazah ayah mereka. Sekarang mereka tak bisa lagi menyimpan jenazah itu di rumah lebih lama lagi karena harus dikuburkan segera. 

Singkat cerita, karena uang untuk biaya pemakaman ayah mereka sudah dihabiskan di meja judi, mereka berempat pun membungkus jenazah sang ayah seadanya hanya dengan sehelai tikar yang terbuat dari daun pandan bukan ke dalam peti mati. Saat malam yang gelap gulita tiba, agar tak diketahui dan dilihat para tetangga, mereka berempat membawa jenazah sang ayah ke tempat pemakaman untuk dikuburkan secara dam-diam.

Rupanya Tuhan tak mengizinkan dengan apa yang sedang dilakukan oleh keempat anak durhaka terhadap jenazah ayahnya itu. Di malam yang gelap gulita itu, tiba-tiba saja turunlah hujan dengan lebatnya yang disertai suara gemuruh angin, Guntur yang memekakkan telinga dan sungguh malam itu sangat mencekam dan menakutkan. Karena tak bisa melanjutkan penguburan ayahnya, mereka berempat segera meninggalkan jenazah orang tua mereka itu begitu saja tanpa diletakkan ke tempat yang lebih layak. 

            “Hayo kita pulang, kita tinggalkan saja mayat orang tua kita ini di sini, besok malam kita kembali lagi.” Demikian ajak kakak tertua kepada adik-adiknya.

            “Kakak pertama, apakah tidak sebaiknya kita pindahkan dulu jenazah ayah kita ini ke tempat yang lebih aman agar tak tergenangi air yang semakin meninggi di pemakaman ini.” Saran adik ketiga kepada kakaknya.

            “Sudahlah adik ketiga, mayat tak akan berteriak dan merintih kedinginan. Kita tinggalkan saja jenazah ayah itu di sini. Coba lihat dan dengarkan, malam yang menyeramkan dan menakutkan ini dengan suara Guntur yang terus-menerus berbunyi sangat memekakkan telinga kita. Besok malam saja kita kembali lagi.”

Akhirnya mereka pun sepakat untuk kembali lagi ke pemakaman pada esok hari. Mereka pun bergegas meninggalkan pemakaman  kembali ke rumah. Pada malam keesokan harinya, ketika mereka kembali ke pemakaman untuk menguburkan ayahnya, peristiwa aneh terjadi. Mereka sama sekali tak mendapatkan jenazah ayahnya di tempat itu, dan mereka hanya melihat di tempat meletakkan mayat ayahnya semalam ada sebuah kuburan baru dengan sebuah batu nisan tak bernama. Keempat saudara sekandung yang gemar berjudi itu menjadi heran, dan tak habis pikir. mereka jadi bertanya-tanya dalam hati, "kemanakah jenazah ayahnya yang mereka letakkan semalam." Lama juga mereka berpikir dan merenung, menduga-duga apa maksud arti dari peristiwa aneh bin ajaib yang sedang mereka alami itu. Akan tetapi mereka sama sekali tak menemukan jawabannya. Dalam kesunyian yang semakin mencekam di malam itu, tiba-tiba terdengar suara dari arah makam tak bernama itu,

            "Anak-anakku, kalian semua sudah durhaka terhadap ayah, tak mau mendengarkan nasehat ayah, bahkan tega-teganya kalian meletakkan jenazah ayah sembarangan saja. Kesalahan kalian tak bisa lagi ayah maafkan. Mulai sekarang kalian bukan lagi bermarga Han, dan kalian tak boleh tinggal menetap di Lasem. Sekarang pergilah kalian semua ke daerah lain. Jika pesan ayah ini kalian langgar juga maka seluruh keluargamu, putra dan putrimu akan mendapat petaka yang besar."  

Mendengar suara kutukan dari ayahnya itu, serempak mereka berempat bersujud memohon ampunan dan maaf yang sebesar-besarnya di hadapan makam ayahnya itu. Akan tetapi sesal kemudian tak ada gunanya lagi. Maka anak tertua berkata kepada saudaranya,

“Adik-adikku, kalian semua telah mendengarkan kutukan dari ayah kita. Artinya semua ini sebagai tanda bahwa kita sudah tak diakui lagi sebagai anak oleh ayah. Dan kita semua, tidak diperkenan lagi untuk memakai nama Han sebagai marga kita, dan kita juga tidak diperkenankan lagi untuk tinggal di Lasem ini. Jika kita mengabaikan pertanda ini, maka kita akan kena kutuk dan akan merasakan akibatnya.”

Akhirnya keempat bersaudara, penjudi, dan pendurhaka kepada orang tuanya itu pergi mengembara ke daerah lain dan tak berani lagi tinggal menetap di Lasem.

Berawal dari kejadian dan kutukan Han pada keempat putranya itu, sampai sekarang orang Lasem etnis Tiongha yang bermarga Han tidak lagi berani tinggal dan menetap di Lasem. Mereka masih mempercayainya bahwa peristiwa itu memang benar-benar terjadi. Dan mereka tak berani melanggarnya karena jika dilanggar mereka akan mendapatkan musibah dan kemalangan besar dalam hidupnya. Jika masih berani tinggal menetap di Lasem pun mereka harus menanggalkan marganya dan menggantinya dengan nama marga lain. 

Menurut cerita penduduk Lasem, terutama dari etnis Tionghoa keturunan Cina, mereka sangat percaya dan meyakini betul akan kebenaran cerita itu, dan mereka dapat membuktikannya. Sampai sekarang keburan tak bernama yang sudah berusia ratusan tahun itu masih ada di di daerah Lasem.

Nah adik-adik, banyak pelajaran yang bisa kita petik dari cerita legenda ini yaitu kita harus selalu mengasihi dan menghormati kedua orang tua kita dengan baik. Jangan sampai orang tua kita hatinya sedih dan kecewa karena perlakuan dan sikap kita terhadap mereka kasar. Pendek kata, kita jangan sampai durhaka kepada kedua orang tua kita, ibu dan bapak kita. Oleh karena jika kita tak menghormatinya, tidak pula menyayangi dengan sepenuh hati, maka selamanya hidup kita tidak akan berkah. (Sita S.Priyadi) 

1 komentar:

  1. Cerita ini banyak mengandung pelajaran yang bisa kita petik yaitu, kita harus selalu mengasihi dan menghormati kedua orang tua kita dengan baik. Jangan sampai orang tua kita hatinya sedih dan kecewa karena perlakuan dan sikap kita terhadap mereka kasar. Pendek kata, kita jangan sampai durhaka kepada kedua orang tua kita, ibu dan bapak kita. Oleh karena jika kita tak menghormatinya, tidak pula menyayangi dengan sepenuh hati, maka selamanya hidup kita tidak akan menjadi berkah.

    BalasHapus