“PAK PANDIR”
Pak Pandir, tertipu karena kebodohannya. |
SABTU, 17 NOV. 2012 – SITA BLOG: Adik-adik, kali
ini kakak akan bercerita tentang dongeng
dari negeri Iraq yang menceritakan tentang seorang yang amat bodoh. Oleh karena
teramat bodohnya ia dikenal dengan nama Pak Pandir. Adik-adik, beginilah
ceritanya!
Pada
zaman dahulu di sebelah Timur kota Bagdad, ada seorang lelaki tua yang amat
bodoh. Karena bodohnya ia selalu percaya dengan setiap perkataan orang lain meskipun,
orang tersebut sama sekali belum pernah dikenalnya. Laki-laki tua itu bukan
lain adalah pak Pandir.
Suatu
ketika pak Pandir ingin pergi ke kota untuk menjual kambing peliharaannya. Ia
pun mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya sebagai bekal
diperjalanan. Karena untuk mencapai kota Bagdad diperlukan waktu yang cukup
panjang sampai berhari-hari lamanya. Karena teramat bodoh, pak Pandir jadi
sedemikian repot mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya. Menghitung
baju, makanan dan minuman sampai memakan waktu satu minggu lamanya. Semua
barang perbekalannya itu dimasukkan ke dalam karung dan dinaikkan di punggung
keledainya. Kambing yang akan dijual diikatkan ke ekor keledai dan pada leher
kambing digantungkan sebuah lonceng.
“Ya, ya, ya!
Sambil berjalan kaki, tentu aku dapat mendengar bunyi lonceng itu,” piker pak
Pandir.
“Jika lonceng
masih tetap berbunyi, itu pertanda tak ada yang mencuri kambingku. Nah,
bukankah akalku cukup cerdik, hanya orang lain saja yang menganggap aku bodoh.”
Pagi-pagi
benar pak Pandir berangkat dengan berjalan kaki menuju kota Bagdad. Pada waktu
itu penduduk negeri belum begitu banyak. Daerah-daerah yang menghubungkan antar
desa ke desa yang lain masih sangat sepi, liar dan masih berbahaya karena
banyaknya para begal dan penyamun yang hendak merampok bagi siapa saja yang
lewat di situ.
Di
suatu tempat yang sunyi menjelang petang hari, tiga orang begal bersembunyi di
balik gundukan semak-semak siap menghadang pak Pandir. Salah seorang begal
berkata kepada teman-temannya:
“Aku akan
merampas kambingnya.”
“Jika begitu,
aku keledainya.” Berkata begal yang satunya.
“Wakh, kalau
begitu aku hanya dapat bagian baju kumalnya itu.” Begal yang lain mengeluh
kecewa.
Begal
pertama mengendap-endap ke lereng bukit yang cukup curam menanti pak Pandir
lewat. Ketika pak Pandir melewati jalan di lereng bukit dengan barang dan
khewan bawaannya, begal pertama memotong tali pengikat kambing dengan pisaunya,
dan lonceng yang berada di leher kambing diikatkan pada ekor keledai. Setelah
melakukan aksinya yang diketahui pak Pandir begal itu bersembunyi kembali.
Pak
Pandir sama sekali tak menyadari kalau kambingnya telah dicuri, karena
loncengnya masih tetap berbunyi dan masih didengarnya. Meski pun bunyinya dari
lonceng yang diikatkan pada ekor keledai oleh sang begal pertama.
Pak
pandir terus saja melangkah dengan riangnya di petang hari yang sudah mulai
gelap itu. Beberapa saat kemudian dia menoleh ke belakang ke arah kambingnya.
Pak Pandir sangat terkejut dan terkesima karena kambingnya sudah tak ada lagi
di belakangnya. Barulah ia menyadari kalau kambingnya telah dicuri orang dan
lonceng yang masih berbunyi itu ternyata diikatkan pada ekor keledai yang
dibawanya. Dia pun menjerit, menangis sekeras-kerasnya.
Pada
saat itu datanglah seseorang menyapanya yang bukan lain adalah begal kedua:
“Ada apakah
bapak sampai menangis dan menjerit keras seperti itu, apa ada yang bisa saya
tolong, pak?” Tanya begal kedua kepada
pak Pandir berpura-pura menyapa.
“Kambingku…kambingku
telah dicuri orang. Tadi dia bersamaku, sekarang lenyap. Pasti ada yang
mencurinya.”
“Oya,
benar…benar, pak! Tadi aku melihat ada orang yang sedang menuntun seekor
kambing menuju ke balik bukit itu. Pasti dia pencurinya pak, sekarang bapak
kejar saja ke arah sana. Biar keledai bapak saya yang mengawasi di sini.”
“Ya, ya,
ya…kalau begitu aku akan mengejar pencuri itu. Tolong titip keledaiku dan
barang bawaanku ini, dan terima kasih
sebelumnya.”
Pak
Pandir pun segera berlari menuju ke balik bukit yang ditunjukkan oleh begal
kedua. Dan, tentu saja orang yang dicari tak mungkin ditemukan karena itu hanya
siasat begal kedua untuk mengelabui pak Pandir yang memang pandir itu. Ia sudah
kelelahan mencari ke sana-ke mari akan tetapi pencuri yang dicarinya tidak
didapatinya. Ia pun segera kembali ke tempat semula. Akan tetapi keledai dan
dan orang yang dititipi barangnya tadi tak dijumpainya. Ia pun menyadari bahwa
telah tertipu untuk yang kedua kalinya. Pak Pandir merebahkan tubuhnya ke
tanah, menjerit dan menangis sambil menjambaki rambutnya yang memang sudah awut-awutan
itu. Untung saja cuaca di malam itu terang bulan sehingga karung bawaan yang
berisi pakaian itu tidak kotor dan basah karena kehujanan. Ia merenung seorang
diri di malam itu. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, tak ada lagi kambing dan
keledai yang bisa dijual di kota selain kembali ke desanya. Dengan langkah
gontai ia memanggul karung berisi pakaian dan sedikit makanan tersisa kembali
pulang ke desanya.
Tak
tersa hari sudah menjelang pagi. Sang Surya sudah menampakkan sinarnya yang
kuning keemasan. Di sebuah perigi yang airnya jernih pak Pandir membasuh
mukanya yang kusut tak berseri menghilangkan peluh dan debu yang masih melekat
di sekujur tubuhnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada seorang laki-laki
sedang meraung-raung, menangis sambil menjambaki rambutnya sendiri. Persis apa
yang telah dilakukannya tadi malam ketika kambing dan keledainya dicuri orang.
“Sial, celaka,
dan naas benar nasibku ini. Aku tertipu lagi…tertipu lagi untuk yang kedua
kali. Jika ketemu, aku akan bunuh orang itu!”
Seketika
pak Pandir pun mendekati orang itu seraya bertanya:
“Ada apa dan
mengapakah anak muda sampai menangis meraung-raung seperti itu?”
“Aku
terperangkap dan terjerat kesulitan hutang yang mendera hidupku, aku tertipu
oleh iming-iming yang menggiurkan. Semua hartaku sudah habis dibawanya,
sedangkan satu-satunya peninggalanku yang bisa aku bawa untuk bekal hidup yaitu
kantung permataku, jatuh dan masuk ke dalam perigi ini sedangkan aku tak bisa
berenang untuk menyelam ke dasar perigi ini. Aku berjanji jika ada orang yang
bisa mengambil permataku di dasar perigi ini akan aku berikan setengahnya
sebagai tanda terima kasihku.”
Pak
Pandir mengangguk-angguk sebagai ikut berempati dengan apa yang sudah
dituturkannya oleh orang muda itu. Dalam pikirnya, ternyata masih ada orang
yang lebih sial dan celaka dari pada dirinya sendiri. Sekarang kenapa aku tidak
ambil saja kantung itu di dasar perigi ini. Dan separuh permata itu akan aku
jual sebagai pengganti barang dan keledai serta kambingku yang hilang dicuri
orang.
“Baiklah, aku
akan membantumu untuk mendapatkan kantung permatamu di dasar perigi ini. Akan
tetapi aku tak ingin pakaianku menjadi basah. Tolong jaga dan awasi baju serta
karung bawaanku ini ini jangan sampai dicuri orang.”
“Baik pak,
jangan khawatir. Aku akan menjga dan mengawasinya di sini.”
Segera
setelah membuka pakaiannya, pak Pandir pun terjun ke dalam perigi untuk mencari
dan mendapatkan kantung permata sampai ke dasarnya. Akan tetapi barang yang
dicarinya tak ditemukannya. Ya, memang tak mungkin akan ditemukan kantung
permata itu oleh karena semua itu hanya merupakan tipuan dan bualan begal
ketiga untuk memperdaya pak Pandir karena menginginkan karung bawaannya yang
berisi pakaian. Sudah lelah dan hampir kehabisan nafas, akhirnya pak Pandir
kembali kepermukaan perigi untuk memberitahukan bahwa kantung permata yang
dicarinya tak berhasil ditemukan. Apa nyana, ternyata orang yang dimaksud sudah
tak ada, lenyap bersama lenyapnya pakaian yang dikenakan dan karung bawaan
miliknya.
Pak
Pandir menyadari bahwa ia sudah tertipu untuk kesekian kali karena kebodohannya
dan terlalu percaya dengan kata-kata manis dari orang lain meskipun orang itu
belum pernah dikenalnya. Dengan perasaan kecewa dan marah, ia akhirnya
melanjutkan perjalanan pulang kedesanya dengan hanya menggunakan celana dalam
saja. di setiap desa-desa yang dilaluinya orang mentertawainya, mengejeknya
sebagai orang tak waras. Akan tetapi pak Pandir terus saja berjalan tak mau
menghiraukan orang-orang yang mengejeknya itu. Anjing menggonggong, kafilah
tetap berlalu. Bahkan di sepanjang jalan, kepada orang-orang yang dijumpainya,
ia menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu.
Setiba
di desanya, pak Pandir pun menceritakannya juga kepada para tetangganya di
kampung. Para tetangganya mendengarkan sambil tertawa terpingkal-pingkal karena
merasa cerita yang dipaparkan pak Pandir sangat lucu.
Bahkan setiap malam ada saja para tetangga yang minta diceritakan
pengalaman pak Pandir yang lucu itu. Karena pak Pandir pandai sekali bercerita,
lama kelamaan pak pandir dikenal sebagai pendongeng yang handal, dan namanya
menjadi terkenal kerena kemahirannya dalam mendongeng. [Sita S.Priyadi]
Referensi : Tira
Ikranegara 2004. Dongeng Anak-Anak Se
dunia. Jakarta, Bintang Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar