Minggu, 21 Juli 2013

Gadis Basanai Penantian Yang Membawa Kematian (Cerita Rakyat Sumatra Barat) Diceritakan Oleh Kak Sita



Sita Rosita
Blog Sita Rosita - Sabtu, 20 Juli 2013 – 11:22 WIB – Diceritakan seorang Gadis bernama Basanai yang ditinggal mati ibunya. Karena ia tak mempunyai saudara kandung, Basanai diambil anak oleh mamaknya. Diasuh dan dibesarkan bersama-sama Asamsudin anak laki-lakinya di Batang Kapas hingga menjadi besar. Bersama mamaknya mereka berdua tumbuh menjadi dewasa. Basanai tumbuh dewasa menjadi gadis yang berparas cantik rupawan. Rambutnya panjang bagaikan mayang terurai, bersuara lembut bagaikan buluh perindu, berkulit kuning langsat, gerak langkahnya lemah gemulai bagaikan putri sang raja. Maka tak heran jika Basanai menjadi gadis idaman para pemuda di desanya Batang Kapas, tak terkecuali pemuda Asamudin anak laki-laki dari mamaknya yang kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Berbadan kekar, berkulit agak kecoklatan karena sering membantu  ayahnya seorang saudagar kaya yang sering berlayar, berdagang ke negeri-negeri lain di luar Batang kapas.   

Meskipun Asamsudin sangat menaruh hati kepada Basanai, Ia tak pernah mengutarakannya  secara lisan. Perasaan cinta itu disimpan dan dipendamnya saja dalam hati.  Pikirnya, “orang-orang kaya putera bangsawan saja sudah banyak yang melamar akan tetapi ditolak mamaknya, apa lagi aku yang masih menganggur belum memiliki pekerjaan seperti ini.”

Lain halnya dengan Asamudin yang diam-diam menaruh hati pada Basanai, Basanai malah sama sekali tak mengetahui jika Asamsudin jatuh hati kepada dirinya. Perasaannya kepada Asamsudin hanya sebatas saudara sepupunya.

Suatu ketika, Asamsudin akan membersihkan tubuhnya mandi di pancuran. Di sana ia melihat beberapa helai rambut di atas batu yang diyakini itu adalah rambut Basanai. Maka ia pun mengambilnya lalu digulungnya rambut tersebut dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Sesampainya di rumah rambut tersebut disimpannya, dimasukkan ke dalam puan perak tempat menyimpan tembakau. Setelah memasukkan rambut tersebut, Asamsudin membungkus puan perak yang berisi rambut Basanai itu dengan sehelai kain putih. Kemana saja dia pergi  bungkusan puan perak itu dibawanya serta. Tak seorang pun yang boleh tahu apa isi dalam puan perak tersebut.

Hari terus berganti, minggu berganti bulan. Tibalah saatnya musim para pedagang Batang Kapas melakukan perjalanan panjang yang bahkan lamanya sampai berbulan-bulan untuk berdagang. Tidak seperti biasanya, saat hendak berangkat berlayar, Asamsudin merasakan sesuatu yang tidak enak. Sepertinya akan ada peristiwa buruk yang akan menimpa dirinya. Maka dari itu sebelum berangkat, Asamsudin berpesan kepada ibunya,

“Mak, tadi aku menaruh puan tembakau di atas  palang pintu depan rumah. Jangan sampai ada yang mengambilnya atau membuka isi puan perak itu, sampai aku kembali lagi ke rumah ini. Jika ada yang membuka apalagi mengambilnya, maka orang itu akan terkena bala atau kutukan yang telah aku buat. Apabila aku tewas diperjalanan terkena musibah, Mak ambil dan buka saja puan itu. Isinya asapi dengan kemenyan putih.” Demikian pesan Asamudin kepada ibunya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah palang pintu tempat ia meletakkan puan perak yang berisi gulungan rambut Basanai.  

Diceritakan, saat Basanai membersihkan sarang laba-laba yang membuat kotor dan tak sedapnya mata memandang rumah, ia melihat bungkusan kain putih yang berisi puan perak milik Asamsudin. Ia pun lalu bertanya kepada mamaknya, “Mandeh, bungkusan apakah yang berada di atas palang pintu rumah itu?”

Jawab mamaknya, “Oh, Basanai! Itu jimat milik Asamudin. Tak seorang pun boleh mengambil apalagi sampai membuka isi jimat itu, sampai Asamsudin kembali. Kescuali ababila Asamsudin tewas di tengah perjalanan. Begitu pesan Asamsudin kepada Mak, Basanai!”  

Rupanya bungkusan kain putih berisi puan perak milik Asamsudin lama-kelamaan semakin membuat hati Basanai penasaran. Setiap kali ia membersihkan rumah, timbul di dalam hatinya keinginan untuk mengambil bungkusan yang berisi jimat Asamsudin  itu.

Beberapa hari kemudian hati penasaran Basanai tak bisa ditahan lagi. Saat ia membersihkan sarang laba-laba, ia mengambil bungkusan kain putih berisi puan perak dan cermin kecil. Ia pun membukannya dan mengambil isinya. Ternyata isinya gulungan rambut. Basanai tahu kalau itu adalah rambut dirinya yang pernah ia taruh di atas batu tempat mandi di pancuran dulu. Timbul pertanyaan dalam hatinya, “Untuk apakah Assamuddin menyimpan rambutku?”  Basanai mengambil cermin kecil yang terletak di atas helai kain putih lalu ia berkaca pada cermin itu. Apa yang dilihatnya? Ternyata bukan wajahnya yang nampak melainkan wajah Asamsudin. Seketika itu juga ia kaget, dan bulu romanya terasa merinding.

Sejak peristiwa itulah wajah Asamsudin selalu terbayang-bayang di matanya.  Sepanjang waktu, tiap detik, tiap menit, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan ia selalu mengingat, mendambakan, dan merindukan Asamsudin. Ia selalu mengharap agar Asamsudin cepat kembali pulang. Dalam tidur pun acapkali ia mengigau mengucap kata-kata Asamsudin. Makan tak enak, tidur pum tak lena yang ada dalam pikirannya, yang ada dalam hatinya hanya Asamsudin. Keadaan semacam ini lama-kelamaan menyebabkan tubuh Basanai menjadi semakin kurus dan lemah karena tak ada lagi gairah makan. Berdiri pun ia sudah tak sanggup, badannya kian melemah. Basanai menderita sakit baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Ia merasa bahwa ajalnya sudah semakin dekat, maka ia pun berpesan kepada mamaknya, “Mandeh, jika aku meninggal sedangkan Asamsudin belum kembali pulang, tolong kuburkanlah aku di Gunung Ledeng. Kuburkanlah jasadku menghadap ke arah laut. Jika jasadku tak dapat melihat pencalang kapal Asamsudin, maka roh akulah yang kelak akan dapat melihatnya. Aku akan selalu menantinya di alam akhirat. Setelah berpesan demikian kepada mamaknya, Basanai pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Iya telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi menghadap Ilahi Rabbi.

Singkat cerita, kapal pencalang yang ditumpangi Asamsudin telah berlabuh di muara. Setelah sekian lama berlayar Kampung Batang Kapas menjadi sangat dirindukannya. Rindu kepada ibunya yang sangat disayanginya, rindu kepada Basanai yang sangat dicintainya. Rindu pula terhadap segenap teman dan sahabatnya. Setelah sampai dirumah, Asamsudin langsung menemui ibunya yang sedang duduk di bangku panjang depan rumah. Ia sama sekali tak melihat Basanai ada di situ. Setelah mencium tangan ibunya Asamsudin bertanya kepada ibunya, “Ibu, aku tak melihat Basanai, kemanakah dia?” Dengan linangan air mata, ibu Asamsudin menjawab,  “Asamsudin, jika kau mencintai Basanai, kenapa tak kau katakan dari dulu! Sepeninggalmu pergi berlayar, Basanai membuka bungkusan perak tembakau milikmu yang berada di atas palang pintu. Semenjak itu ia jadi selalu mengharapkanmu agar cepat kembali pulang. Sekarang Basanai telah tiada, ia meninggal karena menantikanmu, karena selalu merindukanmu hingga jatuh sakit, tubuhnya kering kerontang tak mau makan sampai akhirnya meninggal. Assamuddin, sebelum meninggal Basanai berpesan kepadamu, ”jika aku tidak dapat menantinya di dunia maka aku akan menantinya di akhirat. Jasadnya dikuburkan di Gunung Ledeng menghadap ke arah laut sesuai permintaannya, karena jika tak melihatmu kembali pulang, maka ia dapat melihat kapal pencalangmu dari Gunung Ledeng itu. Demikianlah pesan Basanai kepada ibu Asamsudin.” “Ya, bu! Ini memang salahku tak mau berterus terang”. Jawab Asamsudin sambil mengusap air matanya yang jatuh tetes demi tetes.   

Malam itu juga Asamsudin pergi ke makam Basanai di Gunung Ledeng. Membawa kemenyan putih, tujuh helah lidi dari daun berarak kelapa hijau, air putih dari tujuh muara. Sampai di lokasi makam Basanai, Asamsudin membaca mantra sambil membakar kemenyan. Setelah itu ia pun mengelilingi makam sebanyak tujuh kali sambil membawa bakaran kemenyan yang asapnya mengeluarkan bau aroma magis menambah seramnya suasana di Gunung Ledeng. Kemudian Asamsudin melecuti pula tanah makam dengan tujuh lidi yang dibawanya tadi sebanyak tujuh kali  pula. Tak lama kemudian di malam yang semakin pekat itu terdengar suara Gadis Basanai memanggil nama Asamsudin, “Asamsudin...Aku menantikanmu!”

Dan esok harinya penduduk Batang Kapas menemukan Asamsudin sedang menelungkup di makam Gadis Basanai. Ia telah meninggal menyusul kekasihnya Basanai yang meninggal dalam penantian berkepanjangan. Jasadnya dikuburkan di sisi makam Gadis Basanai. Di tanah makam Gadis Basanai dan Asamsudin itu ditanami pohon puding emas yang tumbuh subur. Pohon-pohon puding emas yang tumbuh subur itu saling melilit satu sama lainnya seakan-akan memperlihatkan akan cinta mereka yang tetap menyatu meski kasih mereka tak menyatu di dunia akan tetapi tetap menyatu di akhirat.  Menurut yang empunya cerita, pohon puding itu sampai sekarang masih ada dan terlihat oleh awak kapal pencalang yang datang dari arah Pagai. (priyadi1957)

Referensi :
A.A. Navis 1994. “Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat”. Jakarta: Grasindo

1 komentar: