Sita Rosita |
Blog Sita Rosita -
Sabtu, 20 Juli 2013 – 11:22 WIB – Diceritakan seorang Gadis bernama Basanai
yang ditinggal mati ibunya. Karena ia tak mempunyai saudara kandung, Basanai
diambil anak oleh mamaknya. Diasuh dan dibesarkan bersama-sama Asamsudin anak
laki-lakinya di Batang Kapas hingga menjadi besar. Bersama mamaknya mereka
berdua tumbuh menjadi dewasa. Basanai tumbuh dewasa menjadi gadis yang berparas
cantik rupawan. Rambutnya panjang bagaikan mayang terurai, bersuara lembut
bagaikan buluh perindu, berkulit kuning langsat, gerak langkahnya lemah gemulai
bagaikan putri sang raja. Maka tak heran jika Basanai menjadi gadis idaman para
pemuda di desanya Batang Kapas, tak terkecuali pemuda Asamudin anak laki-laki dari
mamaknya yang kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Berbadan kekar,
berkulit agak kecoklatan karena sering membantu
ayahnya seorang saudagar kaya yang sering berlayar, berdagang ke
negeri-negeri lain di luar Batang kapas.
Meskipun
Asamsudin sangat menaruh hati kepada Basanai, Ia tak pernah
mengutarakannya secara lisan. Perasaan
cinta itu disimpan dan dipendamnya saja dalam hati. Pikirnya,
“orang-orang kaya putera bangsawan saja sudah banyak yang melamar akan tetapi
ditolak mamaknya, apa lagi aku yang masih menganggur belum memiliki pekerjaan
seperti ini.”
Lain
halnya dengan Asamudin yang diam-diam menaruh hati pada Basanai, Basanai malah
sama sekali tak mengetahui jika Asamsudin jatuh hati kepada dirinya.
Perasaannya kepada Asamsudin hanya sebatas saudara sepupunya.
Suatu
ketika, Asamsudin akan membersihkan tubuhnya mandi di pancuran. Di sana ia
melihat beberapa helai rambut di atas batu yang diyakini itu adalah rambut
Basanai. Maka ia pun mengambilnya lalu digulungnya rambut tersebut dimasukkan
ke dalam saku pakaiannya. Sesampainya di rumah rambut tersebut disimpannya,
dimasukkan ke dalam puan perak tempat menyimpan tembakau. Setelah memasukkan
rambut tersebut, Asamsudin membungkus puan perak yang berisi rambut Basanai itu
dengan sehelai kain putih. Kemana saja dia pergi bungkusan puan perak itu dibawanya serta. Tak
seorang pun yang boleh tahu apa isi dalam puan perak tersebut.
Hari
terus berganti, minggu berganti bulan. Tibalah saatnya musim para pedagang
Batang Kapas melakukan perjalanan panjang yang bahkan lamanya sampai
berbulan-bulan untuk berdagang. Tidak seperti biasanya, saat hendak berangkat
berlayar, Asamsudin merasakan sesuatu yang tidak enak. Sepertinya akan ada
peristiwa buruk yang akan menimpa dirinya. Maka dari itu sebelum berangkat, Asamsudin
berpesan kepada ibunya,
“Mak, tadi aku
menaruh puan tembakau di atas palang
pintu depan rumah. Jangan sampai ada yang mengambilnya atau membuka isi puan
perak itu, sampai aku kembali lagi ke rumah ini. Jika ada yang membuka apalagi
mengambilnya, maka orang itu akan terkena bala atau kutukan yang telah aku
buat. Apabila aku tewas diperjalanan terkena musibah, Mak ambil dan buka saja
puan itu. Isinya asapi dengan kemenyan putih.” Demikian pesan
Asamudin kepada ibunya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah palang pintu
tempat ia meletakkan puan perak yang berisi gulungan rambut Basanai.
Diceritakan,
saat Basanai membersihkan sarang laba-laba yang membuat kotor dan tak sedapnya
mata memandang rumah, ia melihat bungkusan kain putih yang berisi puan perak milik
Asamsudin. Ia pun lalu bertanya kepada mamaknya, “Mandeh, bungkusan apakah yang berada di atas palang pintu rumah itu?”
Jawab
mamaknya, “Oh, Basanai! Itu jimat milik
Asamudin. Tak seorang pun boleh mengambil apalagi sampai membuka isi jimat itu,
sampai Asamsudin kembali. Kescuali ababila Asamsudin tewas di tengah
perjalanan. Begitu pesan Asamsudin kepada Mak, Basanai!”
Rupanya
bungkusan kain putih berisi puan perak milik Asamsudin lama-kelamaan semakin
membuat hati Basanai penasaran. Setiap kali ia membersihkan rumah, timbul di
dalam hatinya keinginan untuk mengambil bungkusan yang berisi jimat Asamsudin itu.
Beberapa
hari kemudian hati penasaran Basanai tak bisa ditahan lagi. Saat ia
membersihkan sarang laba-laba, ia mengambil bungkusan kain putih berisi puan
perak dan cermin kecil. Ia pun membukannya dan mengambil isinya. Ternyata
isinya gulungan rambut. Basanai tahu kalau itu adalah rambut dirinya yang
pernah ia taruh di atas batu tempat mandi di pancuran dulu. Timbul pertanyaan
dalam hatinya, “Untuk apakah Assamuddin
menyimpan rambutku?” Basanai
mengambil cermin kecil yang terletak di atas helai kain putih lalu ia berkaca
pada cermin itu. Apa yang dilihatnya? Ternyata bukan wajahnya yang nampak
melainkan wajah Asamsudin. Seketika itu juga ia kaget, dan bulu romanya terasa
merinding.
Sejak
peristiwa itulah wajah Asamsudin selalu terbayang-bayang di matanya. Sepanjang waktu, tiap detik, tiap menit, dari
hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan ia selalu mengingat,
mendambakan, dan merindukan Asamsudin. Ia selalu mengharap agar Asamsudin cepat
kembali pulang. Dalam tidur pun acapkali ia mengigau mengucap kata-kata Asamsudin.
Makan tak enak, tidur pum tak lena yang ada dalam pikirannya, yang ada dalam
hatinya hanya Asamsudin. Keadaan semacam ini lama-kelamaan menyebabkan tubuh
Basanai menjadi semakin kurus dan lemah karena tak ada lagi gairah makan.
Berdiri pun ia sudah tak sanggup, badannya kian melemah. Basanai menderita
sakit baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Ia merasa bahwa ajalnya sudah
semakin dekat, maka ia pun berpesan kepada mamaknya, “Mandeh, jika aku meninggal sedangkan Asamsudin belum kembali pulang,
tolong kuburkanlah aku di Gunung Ledeng. Kuburkanlah jasadku menghadap ke arah
laut. Jika jasadku tak dapat melihat pencalang kapal Asamsudin, maka roh akulah
yang kelak akan dapat melihatnya. Aku akan selalu menantinya di alam akhirat.
Setelah berpesan demikian kepada mamaknya, Basanai pun menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Iya telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi menghadap Ilahi Rabbi.
Singkat
cerita, kapal pencalang yang ditumpangi Asamsudin telah berlabuh di muara. Setelah
sekian lama berlayar Kampung Batang Kapas menjadi sangat dirindukannya. Rindu
kepada ibunya yang sangat disayanginya, rindu kepada Basanai yang sangat
dicintainya. Rindu pula terhadap segenap teman dan sahabatnya. Setelah sampai dirumah,
Asamsudin langsung menemui ibunya yang sedang duduk di bangku panjang depan
rumah. Ia sama sekali tak melihat Basanai ada di situ. Setelah mencium tangan
ibunya Asamsudin bertanya kepada ibunya, “Ibu,
aku tak melihat Basanai, kemanakah dia?” Dengan linangan air mata, ibu Asamsudin
menjawab, “Asamsudin, jika kau mencintai Basanai, kenapa
tak kau katakan dari dulu! Sepeninggalmu pergi berlayar, Basanai membuka
bungkusan perak tembakau milikmu yang berada di atas palang pintu. Semenjak itu
ia jadi selalu mengharapkanmu agar cepat kembali pulang. Sekarang Basanai telah
tiada, ia meninggal karena menantikanmu, karena selalu merindukanmu hingga
jatuh sakit, tubuhnya kering kerontang tak mau makan sampai akhirnya meninggal.
Assamuddin, sebelum meninggal Basanai berpesan kepadamu, ”jika aku tidak dapat
menantinya di dunia maka aku akan menantinya di akhirat. Jasadnya dikuburkan di
Gunung Ledeng menghadap ke arah laut sesuai permintaannya, karena jika tak
melihatmu kembali pulang, maka ia dapat melihat kapal pencalangmu dari Gunung
Ledeng itu. Demikianlah pesan Basanai kepada ibu Asamsudin.” “Ya, bu! Ini
memang salahku tak mau berterus terang”. Jawab Asamsudin sambil mengusap
air matanya yang jatuh tetes demi tetes.
Malam
itu juga Asamsudin pergi ke makam Basanai di Gunung Ledeng. Membawa kemenyan
putih, tujuh helah lidi dari daun berarak kelapa hijau, air putih dari tujuh
muara. Sampai di lokasi makam Basanai, Asamsudin membaca mantra sambil membakar
kemenyan. Setelah itu ia pun mengelilingi makam sebanyak tujuh kali sambil
membawa bakaran kemenyan yang asapnya mengeluarkan bau aroma magis menambah
seramnya suasana di Gunung Ledeng. Kemudian Asamsudin melecuti pula tanah makam
dengan tujuh lidi yang dibawanya tadi sebanyak tujuh kali pula. Tak lama kemudian di malam yang semakin
pekat itu terdengar suara Gadis Basanai memanggil nama Asamsudin, “Asamsudin...Aku menantikanmu!”
Dan
esok harinya penduduk Batang Kapas menemukan Asamsudin sedang menelungkup di
makam Gadis Basanai. Ia telah meninggal menyusul kekasihnya Basanai yang
meninggal dalam penantian berkepanjangan. Jasadnya dikuburkan di sisi makam
Gadis Basanai. Di tanah makam Gadis Basanai dan Asamsudin itu ditanami pohon
puding emas yang tumbuh subur. Pohon-pohon puding emas yang tumbuh subur itu
saling melilit satu sama lainnya seakan-akan memperlihatkan akan cinta mereka
yang tetap menyatu meski kasih mereka tak menyatu di dunia akan tetapi tetap
menyatu di akhirat. Menurut yang empunya
cerita, pohon puding itu sampai sekarang masih ada dan terlihat oleh awak kapal
pencalang yang datang dari arah Pagai. (priyadi1957)
Referensi :
A.A.
Navis 1994. “Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat”. Jakarta: Grasindo
"Silahkan Klik Link Dibawah :
BalasHapusTOGEL DEPOSIT VIA APA SAJA
Togel Deposit Link Aja,
Togel Deposit Telkomsel,
Togel Deposit Via Bank,
Togel Deposit Via Ecash,
Togel Deposit Via Gopay,
Togel Deposit Via Ovo,
Togel Deposit Via Paypro,
Togel Deposit Via Pulsa,
Togel Deposit XL,