Peta Lokasi Kp. Separi Tenggarong |
Kehidupan
suami istri Gunam dan Ben selain dari mengerjakan huma dan kebun, juga
melakukan kerja sambilan berburu binatang dan memancing jukut (ikan) di sungai. Pakaian mereka terbuat dari kulit kayu jomok (pohon kayu yang kulitnya dapat dijadikan
bahan pakaian/celana) untuk dijadikan selowar
(celana) atau ulap (kain/tapih).
Seperti
biasa dilakukan selama bertahun-tahun, pagi-pagi benar Ben sudah pergi ke huma
dan pulang saat senja hari. Rupanya Sangyang telah memberi mereka rezeki,
karena huma tahun mereka menghasilkan padi yang cukup banyak. Demikianpula dengan
para tentangga Ben sekampung. Teramat senang dan suka cita penduduk benua.
Sudah
menjadi adat tradisi kebiasaan penduduk benua, setiap tahun mengadakan erau
tahun mengadakan erau tahunan
(upacara/pesta adat), sebagai tanda terima kasih mereka terhadap Sangyang yang
telah memberipenduduk benua rezeki.
Demikianlah
setelah mengetam padi, lalu diadakan erau yang disebut erau benua. Seberapa besar ongkos biaya yang diperlukan tidak
menjadi soal bagi mereka karena setiap kepala keluarga sekampung saling
bergotong royong. Mereka mengumpulkan berbagai macam barang dan hewan berupa beras,
sayuran, ayam, babi dan barang-barang yang lain demi terselenggaranya erau
benua. Bagi mereka yang penting adalah erau benua berjalan lancar dan mereka
dapat bersenang-senang.
Adat
tradisi erau diselenggarakan pada malam hari selama lima belas malam. Pada kesempatan
itulah seluruh penduduk para istri dan suami, para gadis dan bujang, para janda
dan duda berkesempatan mencari pasangan dan menentukan jodoh mereka, menentukan
pilihan hidupnya untuk masa depan mereka.
Akan
tetapi tidak demikian dengan si Gunam, ia berniat hadir pada acara erau benua
di malam terakhir saja, yaitu di hari yang ke lima belas. Sementara erau benua terus berlangsung, pada malam
itu, Gunam pergi mencari jakut di
sungai untuk makan bersama istrinya. “Ben,
empa’i awak subuh-subuh bejerang, sebab aku hendak pergi mancing jakut ke
sungai,” kata Gunam kepada istrinya.
Keesokan
paginya setelah makan hambat (sarapan
pagi), Gunam diatar istrinya pergi ke pinggir sungai untuk masuk ke dalam
gubang lalu menghanyut ke hilir menuruti arus Sungai Mahakam. Gunam mulai melempar
dan melabuh pantawnya (pancing yang
memakai pelampung gabus) beberapa buah. Dengan sabar Gunam mengawasi pantaw-pantawnya
sambil berdoa dan mengharap agar pantawnya dimakan ikan.
Meskipun
sudah setengah hari Gunam mengawasi pantawnya, tetapi mandik (tidak) seekor ikan yang mau memakan umpan pancingnya. “Sial benar awak hari ini, tak seekor jukut
yang mau mematuk umpanku,” Gunam menggerutu sendiri. Akan tetapi, ia tetap
bersabar dan terus berdoa kepada Sangyang agar diberikan rezeki untuk makan
bersama istrinya.
Benar
kata pepatah. Mujur tak dapat diraih,
malang tak dapat ditolak, karena tiba-tiba pancingnya dimakan jukut pari. Alangkah
senang hatinya, ia pun segera membawa pulang ikan hasil pancingannya.
“Leh, buntut pari
ini potok baik-baik dan awak salaikan. Dengan buntut pari ini, kendia pada
malam penghabisan erau, akan kupepalkan pada gendang,” kata Gunam pada
istrinya yang diam saja hanya menganggukkan kepalanya.
“Kanda, tidak
cukupkah engan tangan dan jari-jarimu saja memepal gendang itu?” tanya istrinya, Ben
dengan tiba-tiba.
“Mandik, dinda
Ben. Pada malam penghabisan itu etam (kita) harus habis-habisan, puas-puaskan, sampai semalam suntuk pun jadilah.”
Jawab Gunam meyakinkan.
Demikianlah,
hari-hari yang dinantikan pun sampai pada waktunya. Malam penghabisan
penyelenggaraan erau benua yang dinanti-nantikan seluruh rakyat negeri pun tiba.
Malam kelima belas, sebagai malam penghabisan erau sebenua itu diadakan. Di atas
telampak yang kapasitas luasnya bisa menampung rakyat seluruh negeri, nampak
hadir pasangan-pasangan suami-istri, anak-anak, gadis dan bujang sampai ke anak
cucu. Ada yang berpakaian jomok, ada
juga yang telanjang bulat. Semua asyik dengan lakonnya sendiri-sendiri. Ada yang
minum tuak, ada pula yang makan daging panggang dengan lahapnya, namun satu
sama lain tidaklah saling mengganggu. Masing-masing bebas memenuhi kemauan dan
kehendaknya sendiri.
Ketika
keramaian pesta sedang asyik-asyiknya berlangsung, di tengah malam buta itu,
maka tanpa setahu orang lain, Gunam mencoba dengan ekor jukut parinya memepal
gendang itu. Baru beberapa kali ekor jukut pari itu itu dipepalkan, serta merta
keadaan malam yang kelam jadi berubah. Dengan tiba-tiba datanglah kilat memancarkan
cahaya terang disertai bunyi petir sambung-menyambung. Orang-orang yang
menyaksikan menjadi sangat ngeri dan teramat ketakutan. Beberapa orang ada yang
berkata, “Nah, kita semua disumpahi dan
dikutuk Sangyang. Ini akibat memukul gendang dengan ekor jukut pari. Macam-macam
aja polahnya, etam segalanya kena juga balanya.”
Pancaran
kilat dan bunyi petir yang tak henti-hentinya itu hampir saja menyambar tubuh
Gunam. Ia berlari terus berlari mengikuti jalan yang berkelok-kelok. Akhirnya sampailah
pada sebuah pohon haur kuning yang ada di pinggir sungai. Karena letih ia
berhenti untuk melepaskan lelah. Sementara itu ia jadi teringat, bahwa di dalam
bumbung buluh peroko’anannya (tempat
rokok terbuat dari bambu) yang tergantung di pinggangnya terdapat batu penetek
leban. Segera diambilnya batu tersebut lalu digosokkan pada purun haur,
sehingga muncul api. Karena itu kilat dan petir jadi berhenti mengejar dirinya.
Gunam pun terhindar dari bahaya yang mengancam jiwanya itu.
Menurut
cerita, jalan bekas Gunam berlari saat dikejar cahaya petir dan kilat di kampung Separi sampai sekarang masih terdapat tumpukan
batu panjang berkelok-kelok. Sedangkan masyarakat
negeri yang ada di arena telampak erau
benua semuanya menjadi batu karena terkena kutukan Sangyang. Dan tempat itu
dinamakan Gua Batu. Di dalam gua batu tersebut terdapat baroh (danau kecil) yang dihuni oleh
jukut atau ikan baung berwarna kuning sebesar lengan manusia. Sedangkan,
orang-orang yang telah dikutuk Sangyang menjadi batu bentuknya ada yang tampak
sedang menyesui anaknya, berjerang, dan ada juga yang tubuhnya telanjang bulat.
Demikian
cerita legenda rakyat kutai yang sekarang ini hampir punah dan sudah banyak dilupakan.
Menceritakan asal terjadinya kampung
Separi yang berasal dari seekor ikan pari dan teluk Segunam yang berasal dari nama Si Gunam.(M. Hanafie Kahar)
Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Pemda Kutai, 1979
Posted:
Sita
Rosita, Pangarakan-Bogor
Menurut cerita legenda rakayat Kutai, jalan bekas Gunam berlari saat dikejar kilat lidah petir di kampung Separi, sampai sekarang masih terdapat tumpukan batu panjang berkelok-kelok. Sedangkan masyarakat negeri yang ada di arena telampak erau benua diselenggarakan, semuanya menjadi batu karena terkena kutukan Sangyang. Dan tempat itu Gua Batu yang di dalamnya terdapat baroh (danau kecil) yang dihuni oleh jukut atau ikan baung berwarna kuning sebesar lengan manusia. Sedangkan, orang-orang yang telah dikutuk Sangyang menjadi batu bentuknya ada yang tampak sedang menyesui anaknya, berjerang, dan ada juga yang tubuhnya telanjang bulat.
BalasHapus