Minggu, 30 Juni 2013

Slamet Priyadi: "Dongeng Burung Emprit dan Burung Tinggalanak" (Bag. 2) Habis Diceritakan oleh Kak Sita


Blog Sita - Senin, 01 Juli 2013 - 05:13 WIB

Kak Sita
Assalamu'alaikum... Adik-adik, salam jumpa dan salam sejahtera selalu! Kak Sita kembali akan melanjutkan dongeng tentang burung emprit dan burung tinggal anak yang belum selesai kepada adik-adik semua. Jangan bosan, ya sebab ceritanya memang agak panjang. Pak Slamet yang menulis cerita ini memang sedang ada kesibukan dan tugas-tugas yang tak bisa ditinggalkan. Jadi, kak Sita mendongengnya terputus-putus bersambung terus, salam penuh kasih dari kak Sita buat adik-adik semua. Inilah cerita berikutnya!
  
Di atas dahan dengan daun-daun yang didapat di sekitar pohon yang mereka singgahi, mereka buat sarang untuk tempat tinggal mereka yang baru. Burung Mesir lalu membelai kedua anaknya dengan penuh rasa kasih sayang. Dalam hatinya berkata, “Oh, anakku hampir saja jiwamu melayang menyusul ayahmu. Untunglah ada pamanmu di sini yang bisa membantu dan menolong kita. Mudah-mudahan saja dia akan betah tinggal di sini menemani kita selamanya”. 

Ketika burung Mesir masih dalam lamunannya, burung emprit menyapanya perlahan, “Wahai Tinggalanak, apa yang sedang kau pikirkan? Aku melihatmu seperti dalam kebingungan. Apa ada yang mengganjal pikiranmu terkait dengan keberadaanku di sini?”

Sedikit terperanjat burung Mesir menjawab pertanyaan burung emprit, “Oh, tidak...tidak... aku hanya berpikir bagaimana jika tidak ada engkau di sini, mungkin kami bertiga sudah mati menjadi santapan ular hijau kecokelatan yang buas dan sangat berbisa itu. Dan karena nya aku mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala pertolonganmu kepada kami”.

“Akh, saya pikir itu memang sudah seharusnya kita saling tolong menolong, bantu membantu dalam segala hal. Malah justru aku yang seharusnya banyak berterimakasih kepadamu, Tinggalanak. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika aku tak berjumpa denganmu di negeri Mesir yang sama sekali masih asing bagiku ini”. Sudahlah, Tinggalanak! Kita tak perlu larut dalam pembicaraan yang tidak penting itu. Pokoknya kita sama-sama tahu sajalah. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita mencari jalan keluar agar kita bisa terhindar dari ancaman dan mara bahaya yang disetiap saat bisa mengancam keselamatan kita dan anak-anakmu”. Demikian burung emprit berkata kepada burung Mesir. Nampaknya mereka dari waktu ke waktu sudah semakin akrab saja.

Pada satu kesempatan, burung emprit mengungkapkan hasratnya untuk mempersunting burung Mesir dan mengajak burung Mesir untuk ikut serta bersamanya kembali ke negeri Jawa Dwipa di kepulauan Nusantara, “Tinggalanak, aku ingin berterus terang kepadamu bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu, dan berkeinginan sekali untuk mempersuntingmu menjadi istriku. Apakah engkau mau menerima lamaranku ini?” Demikian pernyataan isi hati burung emprit diungkapkan dengan secara terus terang dan terbuka kepada Tinggalanak, burung Mesir yang sudah memiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil itu.

Mendengar pernyataan dan pertanyaan yang begitu  cepat dan terus terang tanpa tedeng aling-aling serta tidak diduga-duga dari burung emprit Jawa, burung Mesir menjadi terperangah, betul-betul pernyataan itu membuat kaget dirinya. Meski pun di dalam hatinya  sesungguhnya ia sangat gembira dan bahagia sekali mendengarnya.  Burung Mesir masih terdiam membisu dan menundukkan kepalanya belum menjawab pertanyaan burung emprit. Sampai akhirnya pertanyaan kedua diajukan lagi oleh burung emprit Jawa,

“Bagaimana dengan pertanyaanku tadi Tinggalanak? Apakah kau mau menjadi istriku? Jika kau setuju, maka aku akan mengajakmu pergi ke kampung halamanku Negeri Jawa Dwipa di Nusantara. Negeri yang teramat elok nan permai dengan hutan dan rimba belantara  yang membentang luas, tanah persawahan dengan padi-padinya yang menguning, air sungai yang mengalir jernih, riak ombak di lautan  yang membiru, putih berkilauan bagaikan ratna mutu manikan, gemah-ripah dan loh jinawi semua itu akan kau lihat dan saksikan sendiri, Tinggalanak!” 



“Sebenarnya aku mau menjadi istrimu dan ikut ke negerimu, di Jawadwipa. Akan tetapi bagaimana dengan kedua anakku yang masih kecil-kecil dan belum bisa terbang jauh sebagaimana kita, Emprit? Bagaimana jika kita menundanya selama sembilan bulan sampai anak-anakku bisa terbang dengan kuat?” Jawab burung tinggal anak sambil memberi alternatif pilihan dan saran pada burung emprit.

“Baiklah Tinggalanak, aku setuju dengan saranmu! Aku akan datang lagi kemari setelah  enam bulan kemudian, dan sementara ini aku akan pergi dulu untuk mencari makanan secukupnya untuk bekal di perjalanan.” Burung emprit kemudian terbang meninggalkan burung tinggalanak dan kedua anaknya.

Singkat cerita, sembilan bulan pun telah berlalu. Kedua anak burung Tinggalanak, kini sudah remaja, tampan dan gagah pula. Bulu-bulu dan sayapnya nampak kuat. Mereka terbang dari dahan satu ke dahan yang lain, dari pohon tempat tinggal mereka ke pohon yang lain dengan sigap dan cekatan sekali. Sepertinya mereka memang sudah siap untuk terbang jauh menyeberangi samudra melintas benua. Sementara induk mereka memperhatikan dari jauh  akan sepak terjang kedua anaknya itu dengan penuh perasaan bahagia dan suka cita. Saat kedua anaknya kembali dan menghampiri dirinya, ia pun menanyakan pada kedua anaknya itu.

“Anak-anakku kalian kini sudah menjadi besar. Ibu lihat terbang kalian pun sudah demikian tangkas, kuat dan cekatan. Hari ini mungkin paman kalian akan datang mengajak kita pergi merantau ke negeri jauh nun di seberang lautan, negeri Jawadwipa. Apakah kalian siap untuk ikut bersama ibu?”

“Wow! Tentu saja ibu, ananda sangat siap dan kami berdua bahkan sangat gembira sekali untuk pergi terbang jauh mengunjungi negeri yang menurut teman-teman ananda yang sudah pernah berkunjung ke sana, Jawadwipa adalah salah satu negeri terindah di dunia dengan pemandangan alamnya yang sangat mempesona dan bangsa manusianya serta burung-burungnya yang seperti kita ini sangatlah ramah, penuh rasa persahabatan terhadap sesamanya. Kapan kita berangkat ibu? Terus terang ananda sudah tak sabar menunggu hari keberangkatan itu!” Demikian jawaban kedua anaknya dengan penuh suka cita.   

Menjelang senja saat Matahari mulai terbenam, burung Emprit tiba dan hinggap di salah satu ranting pohon tempat tinggal mereka yang langsung disapa dengan suka cita oleh burung Tinggal anak dan kedua anak-anaknya.  

“Wahai paman Emprit, kami sudah lama sekali dan tak sabar menanti kehadiran paman di sini. Selamat datang paman! Kedua anak burung Tinggalanak menyapa kehadiran burung Emprit secara serempak.

“Assalamu’alaikum dan salam sejahtera untuk kalian semua. Sungguh paman juga gembira dan bahagia sekali melihat kalian berdua sudah besar-besar, tampan dan gagah-gagah! Bagaimana kabar kalian? Tentunya kalian pasti sudah sangat siap untuk terbang jauh berkunjung ke negeri paman, negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara, bukan?!”

Mendengar itu anak tertua menjawab, “Kabar kami sangat sehat, paman! Bahkan terlalu sangat siap untuk terbang jauh bersama  ibunda dan paman.” Iya paman, kami siap! Jawab putera kedua.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, mereka semua, burung Tinggalanak dan kedua puteranya serta burung Emprit pun berangkat, terbang melesat dengan cepat meninggalkan tempat tinggal mereka. Meninggalkan negeri mereka tercinta, Mesir untuk menuju ke negeri seberang, negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara.

Tak diceritakan secara panjang lebar di tentang perjalanan mereka menuju negeri Jawadwipa. Singkat cerita, mereka telah sampai di ujung utara pulau Sumatra. Tepatnya di selat perbatasan antara negeri Malaysia dan Indonesia. Secara tiba-tiba terjadi perubahan cuaca yang sangat mendadak, tiba-tiba terjadi badai besar, air laut menggulung-gulung setinggi gunung, bumi berguncang, angin kencang puting beliung  menhanyutkan apa saja yang ada di pesisir pantai utara  pulau Sumatra. Kedua putera Burung tinggalanak yang memang sudah kelelahan terpisah dari ibunya tak ketahuan lagi rimbanya. Hanya tinggal mereka berdua yang masih bersama-sama, terbang terhempas kian kemari bertaha hidup dari badai besar yang mengancam jiwanya. Ditengah-tengah badai besar dan angin kencang yang menghempaskan keduanya, burung Tinggalanak masih sempat bertanya kepada burung Emprit yang sedang berupaya mengatasi derasnya hujan dan badai di lautan serta hembusan angin kencang yang membuat tubuh mereka terombang-ambing di atas samudera yang cukup luas itu.

“Kanda Emprit bagaimana dengan kedua anak-anakku? Aku tak mau terpisah dari mereka, aku sangat mencintai dan mengasihinya. Tolonglah kanda Emprit, jangan tinggalkan mereka!” Demikian ratap dan tangis burung Tinggalanak mengharap kepada burung Emprit agar mencari kedua anaknya terlebih dahulu.

“Dinda Tinggalanak, sebaiknya kita tak usah memperhatikan mereka dulu. Mereka berdua sudah besar-besar, tenaganya lebih kuat dari kita. Aku yakin mereka berdua selamat dan kelak mereka akan mencari kita, percayalah padaku dinda Tinggalanak!” Demikian jawaban yang diucapkan burung Emprit kepada istrinya, burung Tinggalanak. Suatu jawaban yang sungguh di luar perkiraan dan sangat tidak diharapkan burung Tinggalanak, dan itu sudah membuat hatinya kecewa dan terluka hati burung Tinggalanak. Pikirnya, ternyata suaminya teramat egois hanya mementingkan keselamatan diri sendiri, dan tidak memiliki perasaan empati serta tidak mau memahami perasannya yang begitu sangat mengasihi dan menyayangi kedua puetranya yang baru berangkat dewasa.

“Baiklah kanda Emprit! Jika itu kemauanmu, aku tak mengapa. Akan tetapi aku akan tetap mencari kedua anak-anakku terlebih dahulu. Tinggalkanlah aku sendiri, dan pergilah! Kelak aku akan selalu mencarimu, memanggil namamu. Di setiap kampung yang aku singgahi aku akan mencicit, menjerit-jerit dengan bunyi suara yang menyayatkan hati seperti orang yang ditinggal mati. Dan ‘roh’ aku pun akan masuk ke dalam dirimu sehingga engkaupun akan berbunyi dan bersuara seperti aku karena aku ada dalam dirimu." Bersamaan dengan ucapan kata terakhir burung Tinggalanak,  kilatan petir menyambar tubuh burung tinggal anak yang seketika itu juga mati, hangus terbakar.

Beberapa hari kemudian setelah badai reda, dan cuaca kembali normal seperti sedia kala, di setiap daerah mulai dari ujung Sumatra utara terus hingga pulau Jawa, nampak burung Tinggalanak yang sudah menjelma menjadi burung Emprit bertengger di atas pucuk-pucuk pohon di setiap daerah kampung yang dilalui dan disinggahinya. Burung emprit atau burung Tinggalanak itu mencicit menciap menyayat hati dengan suaranya yang seakan-akan memanggil-manggil sebuah nama agar mengantar dia kembali ke negeri Mesir, “Priiit...priiit...priiit...priiit...balekno Mesirrr...(dalam bahasa Jawa artinya: “Prit,prit, prit... prit, balikkanlah saya ke Mesir.”)

Dan yang  anehnya setiap kali daerah atau kampung yang disinggahi burung Tinggalanak atau burung Emprit ini, ada saja salah satu warganya yang meninggal dunia, sehingga burung ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai burung pembawa berita kematian. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "burung Syetan".

Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

1 komentar:

  1. Burung Tinggalanak atau burung Emprit selalu bertengger di atas pucuk-pucuk pohon. Setiap daerah atau kampung yang dilalui dan disinggahinya, burung Emprit atau burung Tinggalanak itu mencicit menciap. Bunyinya menyayatkan hati seperti memanggil-manggil sebuah nama agar mengantar dia kembali ke negeri Mesir, “Priiit...priiit...priiit...priiit...balekno Mesirrr...(dalam bahasa Jawa artinya: “Prit,prit, prit... prit, balikkanlah saya ke Mesir.”)
    Anehnya setiap kali daerah atau kampung yang disinggahi burung Tinggalanak atau burung Emprit tersebut, ada saja salah satu warganya yang meninggal dunia, sehingga burung ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai burung pembawa berita kematian. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "burung Syetan".

    BalasHapus