Blog Sita - Senin, 01 Juli 2013 - 05:13 WIB
Kak Sita |
Assalamu'alaikum... Adik-adik, salam jumpa dan salam sejahtera selalu! Kak Sita kembali akan melanjutkan dongeng tentang burung emprit dan burung tinggal anak yang belum selesai kepada adik-adik semua. Jangan bosan, ya sebab ceritanya memang agak panjang. Pak Slamet yang menulis cerita ini memang sedang ada kesibukan dan tugas-tugas yang tak bisa ditinggalkan. Jadi, kak Sita mendongengnya terputus-putus bersambung terus, salam penuh kasih dari kak Sita buat adik-adik semua. Inilah cerita berikutnya!
Di atas dahan
dengan daun-daun yang didapat di sekitar pohon yang mereka singgahi, mereka
buat sarang untuk tempat tinggal mereka yang baru. Burung Mesir lalu membelai
kedua anaknya dengan penuh rasa kasih sayang. Dalam hatinya berkata, “Oh, anakku hampir saja jiwamu melayang
menyusul ayahmu. Untunglah ada pamanmu di sini yang bisa membantu dan menolong
kita. Mudah-mudahan saja dia akan betah tinggal di sini menemani kita
selamanya”.
Ketika burung
Mesir masih dalam lamunannya, burung emprit menyapanya perlahan, “Wahai Tinggalanak, apa yang sedang kau
pikirkan? Aku melihatmu seperti dalam kebingungan. Apa ada yang mengganjal
pikiranmu terkait dengan keberadaanku di sini?”
Sedikit
terperanjat burung Mesir menjawab pertanyaan burung emprit, “Oh, tidak...tidak... aku hanya berpikir
bagaimana jika tidak ada engkau di sini, mungkin kami bertiga sudah mati
menjadi santapan ular hijau kecokelatan yang buas dan sangat berbisa itu. Dan
karena nya aku mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala
pertolonganmu kepada kami”.
“Akh,
saya pikir itu memang sudah seharusnya kita saling tolong menolong, bantu
membantu dalam segala hal. Malah justru aku yang seharusnya banyak
berterimakasih kepadamu, Tinggalanak. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana
jadinya jika aku tak berjumpa denganmu di negeri Mesir yang sama sekali masih
asing bagiku ini”. Sudahlah, Tinggalanak! Kita tak perlu larut dalam
pembicaraan yang tidak penting itu. Pokoknya kita sama-sama tahu sajalah. Yang
penting sekarang adalah bagaimana kita mencari jalan keluar agar kita bisa
terhindar dari ancaman dan mara bahaya yang disetiap saat bisa mengancam
keselamatan kita dan anak-anakmu”. Demikian burung emprit berkata kepada
burung Mesir. Nampaknya mereka dari waktu ke waktu sudah semakin akrab saja.
Pada satu
kesempatan, burung emprit mengungkapkan hasratnya untuk mempersunting burung
Mesir dan mengajak burung Mesir untuk ikut serta bersamanya kembali ke negeri
Jawa Dwipa di kepulauan Nusantara, “Tinggalanak,
aku ingin berterus terang kepadamu bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu,
dan berkeinginan sekali untuk mempersuntingmu menjadi istriku. Apakah engkau
mau menerima lamaranku ini?” Demikian pernyataan isi hati burung emprit
diungkapkan dengan secara terus terang dan terbuka kepada Tinggalanak, burung
Mesir yang sudah memiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil itu.
Mendengar
pernyataan dan pertanyaan yang begitu
cepat dan terus terang tanpa tedeng aling-aling serta tidak diduga-duga
dari burung emprit Jawa, burung Mesir menjadi terperangah, betul-betul
pernyataan itu membuat kaget dirinya. Meski pun di dalam hatinya sesungguhnya ia sangat gembira dan bahagia
sekali mendengarnya. Burung Mesir masih
terdiam membisu dan menundukkan kepalanya belum menjawab pertanyaan burung
emprit. Sampai akhirnya pertanyaan kedua diajukan lagi oleh burung emprit Jawa,
“Bagaimana
dengan pertanyaanku tadi Tinggalanak? Apakah kau mau menjadi istriku? Jika kau
setuju, maka aku akan mengajakmu pergi ke kampung halamanku Negeri Jawa Dwipa
di Nusantara. Negeri yang teramat elok nan permai dengan hutan dan rimba
belantara yang membentang luas, tanah
persawahan dengan padi-padinya yang menguning, air sungai yang mengalir jernih,
riak ombak di lautan yang membiru, putih
berkilauan bagaikan ratna mutu manikan, gemah-ripah dan loh jinawi semua itu
akan kau lihat dan saksikan sendiri, Tinggalanak!”
“Sebenarnya
aku mau menjadi istrimu dan ikut ke negerimu, di Jawadwipa. Akan tetapi
bagaimana dengan kedua anakku yang masih kecil-kecil dan belum bisa terbang
jauh sebagaimana kita, Emprit? Bagaimana jika kita menundanya selama sembilan
bulan sampai anak-anakku bisa terbang dengan kuat?” Jawab burung
tinggal anak sambil memberi alternatif pilihan dan saran pada burung emprit.
“Baiklah
Tinggalanak, aku setuju dengan saranmu! Aku akan datang lagi kemari
setelah enam bulan kemudian, dan
sementara ini aku akan pergi dulu untuk mencari makanan secukupnya untuk bekal
di perjalanan.”
Burung emprit kemudian terbang meninggalkan burung tinggalanak dan kedua
anaknya.
Singkat cerita,
sembilan bulan pun telah berlalu. Kedua anak burung Tinggalanak, kini sudah
remaja, tampan dan gagah pula. Bulu-bulu dan sayapnya nampak kuat. Mereka
terbang dari dahan satu ke dahan yang lain, dari pohon tempat tinggal mereka ke
pohon yang lain dengan sigap dan cekatan sekali. Sepertinya mereka memang sudah
siap untuk terbang jauh menyeberangi samudra melintas benua. Sementara induk
mereka memperhatikan dari jauh akan
sepak terjang kedua anaknya itu dengan penuh perasaan bahagia dan suka cita.
Saat kedua anaknya kembali dan menghampiri dirinya, ia pun menanyakan pada
kedua anaknya itu.
“Anak-anakku
kalian kini sudah menjadi besar. Ibu lihat terbang kalian pun sudah demikian
tangkas, kuat dan cekatan. Hari ini mungkin paman kalian akan datang mengajak
kita pergi merantau ke negeri jauh nun di seberang lautan, negeri Jawadwipa.
Apakah kalian siap untuk ikut bersama ibu?”
“Wow!
Tentu saja ibu, ananda sangat siap dan kami berdua bahkan sangat gembira sekali
untuk pergi terbang jauh mengunjungi negeri yang menurut teman-teman ananda
yang sudah pernah berkunjung ke sana, Jawadwipa adalah salah satu negeri
terindah di dunia dengan pemandangan alamnya yang sangat mempesona dan bangsa
manusianya serta burung-burungnya yang seperti kita ini sangatlah ramah, penuh
rasa persahabatan terhadap sesamanya. Kapan kita berangkat ibu? Terus terang
ananda sudah tak sabar menunggu hari keberangkatan itu!” Demikian
jawaban kedua anaknya dengan penuh suka cita.
Menjelang senja
saat Matahari mulai terbenam, burung Emprit tiba dan hinggap di salah satu
ranting pohon tempat tinggal mereka yang langsung disapa dengan suka cita oleh
burung Tinggal anak dan kedua anak-anaknya.
“Wahai
paman Emprit, kami sudah lama sekali dan tak sabar menanti kehadiran paman di
sini. Selamat datang paman! Kedua anak burung Tinggalanak menyapa
kehadiran burung Emprit secara serempak.
“Assalamu’alaikum
dan salam sejahtera untuk kalian semua. Sungguh paman juga gembira dan bahagia
sekali melihat kalian berdua sudah besar-besar, tampan dan gagah-gagah!
Bagaimana kabar kalian? Tentunya kalian pasti sudah sangat siap untuk terbang
jauh berkunjung ke negeri paman, negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara,
bukan?!”
Mendengar itu
anak tertua menjawab, “Kabar kami sangat
sehat, paman! Bahkan terlalu sangat siap untuk terbang jauh bersama ibunda dan paman.” Iya paman, kami siap! Jawab
putera kedua.
Setelah
mempersiapkan segala sesuatunya, mereka semua, burung Tinggalanak dan kedua
puteranya serta burung Emprit pun berangkat, terbang melesat dengan cepat
meninggalkan tempat tinggal mereka. Meninggalkan negeri mereka tercinta, Mesir
untuk menuju ke negeri seberang, negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara.
Tak diceritakan
secara panjang lebar di tentang perjalanan mereka menuju negeri Jawadwipa.
Singkat cerita, mereka telah sampai di ujung utara pulau Sumatra. Tepatnya di
selat perbatasan antara negeri Malaysia dan Indonesia. Secara tiba-tiba terjadi
perubahan cuaca yang sangat mendadak, tiba-tiba terjadi badai besar, air laut
menggulung-gulung setinggi gunung, bumi berguncang, angin kencang puting
beliung menhanyutkan apa saja yang ada
di pesisir pantai utara pulau Sumatra. Kedua
putera Burung tinggalanak yang memang sudah kelelahan terpisah dari ibunya tak
ketahuan lagi rimbanya. Hanya tinggal mereka berdua yang masih bersama-sama,
terbang terhempas kian kemari bertaha hidup dari badai besar yang mengancam
jiwanya. Ditengah-tengah badai besar dan angin kencang yang menghempaskan
keduanya, burung Tinggalanak masih sempat bertanya kepada burung Emprit yang
sedang berupaya mengatasi derasnya hujan dan badai di lautan serta hembusan
angin kencang yang membuat tubuh mereka terombang-ambing di atas samudera yang
cukup luas itu.
“Kanda
Emprit bagaimana dengan kedua anak-anakku? Aku tak mau terpisah dari mereka,
aku sangat mencintai dan mengasihinya. Tolonglah kanda Emprit, jangan
tinggalkan mereka!”
Demikian ratap dan tangis burung Tinggalanak mengharap kepada burung Emprit
agar mencari kedua anaknya terlebih dahulu.
“Dinda
Tinggalanak, sebaiknya kita tak usah memperhatikan mereka dulu. Mereka berdua
sudah besar-besar, tenaganya lebih kuat dari kita. Aku yakin mereka berdua
selamat dan kelak mereka akan mencari kita, percayalah padaku dinda Tinggalanak!” Demikian
jawaban yang diucapkan burung Emprit kepada istrinya, burung Tinggalanak. Suatu
jawaban yang sungguh di luar perkiraan dan sangat tidak diharapkan burung
Tinggalanak, dan itu sudah membuat hatinya kecewa dan terluka hati burung
Tinggalanak. Pikirnya, ternyata suaminya teramat egois hanya mementingkan
keselamatan diri sendiri, dan tidak memiliki perasaan empati serta tidak mau
memahami perasannya yang begitu sangat mengasihi dan menyayangi kedua puetranya
yang baru berangkat dewasa.
“Baiklah
kanda Emprit! Jika itu kemauanmu, aku tak mengapa. Akan tetapi aku akan tetap
mencari kedua anak-anakku terlebih dahulu. Tinggalkanlah aku sendiri, dan
pergilah! Kelak aku akan selalu mencarimu, memanggil namamu. Di setiap kampung
yang aku singgahi aku akan mencicit, menjerit-jerit dengan bunyi suara yang
menyayatkan hati seperti orang yang ditinggal mati. Dan ‘roh’ aku pun akan
masuk ke dalam dirimu sehingga engkaupun akan berbunyi dan bersuara seperti aku
karena aku ada dalam dirimu." Bersamaan dengan ucapan kata terakhir
burung Tinggalanak, kilatan petir
menyambar tubuh burung tinggal anak yang seketika itu juga mati, hangus
terbakar.
Beberapa hari
kemudian setelah badai reda, dan cuaca kembali normal seperti sedia kala, di setiap daerah mulai dari ujung Sumatra utara
terus hingga pulau Jawa, nampak burung Tinggalanak yang sudah menjelma menjadi burung Emprit bertengger di atas pucuk-pucuk pohon di setiap daerah kampung
yang dilalui dan disinggahinya. Burung
emprit atau burung Tinggalanak itu mencicit menciap menyayat hati dengan suaranya yang seakan-akan
memanggil-manggil sebuah nama agar mengantar dia kembali ke negeri Mesir, “Priiit...priiit...priiit...priiit...balekno Mesirrr...(dalam
bahasa Jawa artinya: “Prit,prit, prit...
prit, balikkanlah saya ke Mesir.”)
Dan yang anehnya setiap kali daerah atau kampung yang disinggahi burung Tinggalanak atau burung Emprit ini, ada saja salah satu warganya yang meninggal dunia, sehingga burung ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai burung pembawa berita kematian. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "burung Syetan".
Penulis:
Slamet Priyadi
di Kp. Pangarakan - Bogor
Burung Tinggalanak atau burung Emprit selalu bertengger di atas pucuk-pucuk pohon. Setiap daerah atau kampung yang dilalui dan disinggahinya, burung Emprit atau burung Tinggalanak itu mencicit menciap. Bunyinya menyayatkan hati seperti memanggil-manggil sebuah nama agar mengantar dia kembali ke negeri Mesir, “Priiit...priiit...priiit...priiit...balekno Mesirrr...(dalam bahasa Jawa artinya: “Prit,prit, prit... prit, balikkanlah saya ke Mesir.”)
BalasHapusAnehnya setiap kali daerah atau kampung yang disinggahi burung Tinggalanak atau burung Emprit tersebut, ada saja salah satu warganya yang meninggal dunia, sehingga burung ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai burung pembawa berita kematian. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "burung Syetan".