Sita Rose |
Rabu, 01 Juli 2015 - pangarakan.blogspot.com - DIKISAHKAN, suatu ketika Syeh ‘Abdullah Turugbadi
dari kota Thus berkumpul bersama murid-muridnya sambil makan roti yang sudah
disediakan di atas meja. Berkatalah Syeh
Turugbadi kepada murid-muridnya:
“Wahai, murid-muridku! Sebentar lagi kita akan kedatangan seorang tamu
yang patut kita hormati, dia adalah sahabat lamaku bernama Mansyur al-Hallaj
dari kota Qasymir. Sambutlah dia, dan hormati sebagaimana mestinya, jangan
lihat dan bertanya dengan apa yang dibawa dan dilakukannya di sini, karena dia
akan melakukan hal-hal besar terkait dengan pelajaran yang akan kalian dapatkan
nanti yang mungkin saja itu tidak kau mengerti dan fahami sebelumnya!”
Selang bebera lama kemudian, tibalah Syeh Mansyur
al-Hallaj yang pada saat itu menggunakan pakaian qaba’ hitam dengan membawa dua
ekor anjing hitam yang dirantai di kedua lehernya. Sementara Syeh ‘Abdullah Turugbadi menyuruh
murid-muridnya untuk menyambut Syeh Mansyur al-Hallaj sahabatnya itu:
“Nah, murid-muridku itulah dia, orang yang kita tunggu-tunggu! Bangkit
dan sambutlah dia dan ingat pula dengan kata-kata pesanku kepada kalian semua,
tadi!”
“Baik, guru!”
Demikian Syeh Turugbadi berkata kepada
murid-muridnya yang segera ke luar dari ruangan menghampiri menyambut Syeh
Mansyur al-Hallaj, dan mengantarnya masuk menuju ruangan tempat gurunya yang
memang sudah menantinya sejak tadi. Murid-murid Syeh ‘Abdullah Turugbadi merasa heran juga dan
bertanya-tanya dalam hati dengan apa yang dibawa oleh sahabat gurunya itu, dua
ekor anjing hitam yang menurut ajaran fiqih Syafi’i yang dianutnya, khewan
anjing dianggap najis dan haram. Akan
tetapi mereka semua tak mau bertanya-tanya lagi dan pertanyaan itu hanya
disimpannya saja di dalam hati karena sebelumnya mereka memang sudah diberi
tahu oleh gurunya tentang Syeh Mansyur al-Hallaj sahabat gurunya itu.
Syeh Turugbadi pun menyambut sahabatnya itu dengan
memeluknya erat-erat tanda rasa persahabatan yang penuh keakraban dan ketulusan.
lalu dia mempersilahkan sahabatnya itu untuk duduk di bangku yang telah
disediakan, sementara murid-muridnya duduk bersila di atas permadani di ruang
tamu yang sekali gus juga menjadi ruang tempat belajar murid-muridnya.
“Sahabatku, silahkan masuk dan duduklah di sini, aku sudah lama menanti
kehadiranmu untuk memberikan sedikit pelajaran Islam kepada murid-muridku
terkait dengan sifat-sifat kebanyakan manusia yang selalu saja bersikap curiga,
penuh syak wasyangka dan sering menilai dan melihat orang lain dari luarnya dan
segi buruknya saja!”
“Yakh, begitulah memang sifat kebanyakan manusia, sahabatku Syeh
Turugbadi. Kebanyakan mereka justru hanya mampu melakukan perbuatan saleh
secara ritual vertikal saja, manakala menerapkannya secara horisontal kepada
sesama, kepada setiap orang, kepada semua binatang, dan alam lingkungan,
acapkali mereka justru menjadi alpa dan lupa. Sebagai contoh kecil, tidak menjawab salam
dari orang yang mengucapkan salam kepadanya, memalingkan muka, membusungkan
dada saat bertemu dengan teman di tengah jalan, merasa paling pintar, merasa
paling benar dan merasa lebih kaya dan dari orang lain, dan lain sebagainya.”
Demikian kata-kata yang diucapkan Syeh Mansyur al-
Hallaj kepada Syeh Abdullah Turugbadi sambil memanggil kedua ekor anjingnya
untuk duduk di sampingnya lalu kedua anjingnya itu diberinya masing-masing
sepotong roti yang ada di atas meja. Perbuatan ini tentu saja sangat
mengejutkan murid-murid Syeh Turugbadi kecuali Syeh Turugbadi sendiri yang
memang sudah mengenal lebih dekat keyakinan Syeh Abdullah al-Hallaj tentang
anjing. Demi melihat keterkejutan dan
perasaan tidak senang dari murid-murid Syeh Turugbadi dengan apa yang
dilakukannya maka dia pun melanjutkan kata-katanya kepada Syeh Tugbadi:
“Wahai sahabatku Syeh Turugbadi, aku merasa murid-muridmu tidak suka
dengan apa yang aku lakukan, membawa kedua anjing hitam peliharaan dekat denganku
di sini dan memberinya roti yang telah kau hidangkan kepadaku. Aku harap nanti
kau bisa menjelaskannya kepada mereka semua karena yang aku lakukan pasti kau
sudah memahaminya, dan sekarang aku mohon diri untuk kembali ke Qasmir. Aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih
atas segala kebaikanmu kepadaku, dan maafkan atas segala tindakanku yang
mungkin tidak berkenan di tempatmu ini, sekarang aku mohon diri,
assalamu’alaikum!”
Mendengar perkataan Syeh Manyur
al-Hallaj, Syeh Abdullah Turugbadi hanya tersenyum, setelah membalas salam, ia
mendekati Syeh Mansyur dan memeluknya sambil berkata:
“Baiklah sahabatku, kau jangan khawatir dan aku akan menyampaikan pesan
pelajaran darimu tadi kepada murid-muridku, maafkanlah atas sikap mereka yang kurang
berkenan kepadamu, sesungguhnya itu dilakukan karena mereka belum mengerti dan
memahami makna religi di balik sikap dan perbuatanmu, selamat jalan sahabatku,
assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
Setelah membalas salam, Syeh Abdullah Turugbadi,
Syeh Mansyur al-Hallaj pun keluar meninggalkan ruangan tempat tinggal sahabatnya.
Sementara Syeh Abdullah Turugbadi
bersama muridnya mengantarnya sampai di depan pintu.
Selang beberapa menit kemudian Syeh Abdullah
Turugbadi bersama murid-muridnya kembali ke dalam ruangan tempat mereka
berkumpul. Murid-murid Syeh yang masuk
lebih dulu masuk ke ruangan segera duduk bersila di atas permadani, sedang Syeh
Abdullah yang masuk kemudian langsung menuju bangkunya. Sejenak kemudian ia berkata kepada
murid-muridnya:
“Murid-muridku, sesungguhnya tadi
kalian telah mendapat pelajaran agama dari sahabatku Syeh Mansyur al-Hallaj
terkait ajaran islam yaitu, prilaku saleh secara horisontal, apakah kalian bisa
memahaminya dengan makna religi yang terkandung dalam sikap dan tindakan yang
telah dilakukan sahabatku, Syeh Mansyur al-Hallaj?”
Mendengar pertanyaan seperti itu murid-murid Syeh
Turugbadi, yang memang sebelumnya tidak mengerti menjadi tambah tidak mengerti
lagi, mereka semua hanya diam seribu basa meski di dalam hatinya banyak
pertanyaan yang ingin dikemukan kepada gurunya.
Dalam situasi yang hening itu salah seorang murid tertua bernama Khasan mengajukan
pertanyaan kepada gurunya:
“Guru, mohon maaf sebelumnya, kami kira semua murid-muridmu ini tidak
mengerti, masih belum bisa memahami, dan tidak bisa menerima tindakan Syeh
Mansyur al-Hallaj yang membawa dua ekor anjing hitam ke dalam ruang belajar
ini, apalagi memberi makan kedua anjing peliharaannya itu dengan roti yang kita
hidangkan kepadanya. Bukankah menurut
faham yang kita anut anjing adalah binatang yang najis dan diharamkan, mengapa
guru mengundang orang semacam itu ke mari? Orang yang sudah jelas-jelas tidak
menghormati kita dan membuat makanan kita menjadi najis dan tidak suci lagi
untuk dimakan, dan terus terang kami, terutama aku, masih belum mengetahui makna
religi yang terkandung di dalam sikap Syeh Mansyur al-Hallaj itu, dan belum
bisa menerima atas semua tindakan yang dilakukannya di sini yang menurutku
adalah tindakan yang tidak patut untuk dicontoh?” Mendengar
penuturan dari rekannya, Khasan yang dianggapnya ada benarnya, semua
murid-murid Syeh Abdullah serentak berseru:
“Betul, betul, guru! Benar, memang benar sekali apa yang dikatakan
Khasan itu, benar Guru!” Demi mendengar
reaksi yang cukup keras dari semua murid-muridnya dengan tindakan yang
dilakukan sahabatnya, Syeh Abdullah Turugbadi menanggapinya dengan tenang:
“Baiklah murid-muridku, aku akan menjawab dan menjelaskannya secara
rinci kepada kalian semua, dan sekarang mohon kalian semua mendengarkan dan
memperhatikannya dengan baik. Jika masih
ada yang belum jelas dengan penjelasanku, kalian boleh mendiskusikanya lagi,
aku akan selalu terbuka untuk itu, apakah kalian sudah siap untuk mendengarkan
penjelasanku!”
“Siap guru, kami semua sudah siap untuk mendengar dan memperhatikan
wejangan guru!”
“Baik, sekarang aku akan menjelaskannya kepada kalian semua! Sebagaimana
yang telah aku sampaikan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya bahwa di dalam pokok-pokok
ajaran Islam yang sudah kita ketahui bersama bahwa dengan syariatnya, Islam
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang kita sebut hubungan secara
vertikal, dan Islam juga mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam lingkungannya seperti lingkungan di
sekitarnya baik kepada hewan, kepada tumbuh-tumbuhan dan sebagainya yang kita sebut
hubungan secara horisontal, dan kesemuanya itu terkeristalisasi dalam prinsip ajaran
Islam yaitu, yang pertama adalah Iman,
hubungan kepercayaan secara batiniah. Kedua
Islam,
yaitu amal perbuatan shaleh, dan yang ketiga adalah Ihsan, yaitu akhlaqul karimah.
Dan perlu kalian ingat bahwa ketiga prinsip ajaran Islam itu harus terwujud dan
terejawantah dalam sikap perbuatan dan prilaku kita sehari-hari di dalam
kehidupan ini murid-muridku.” Syeh Abdullah Turugbadi menghentikan wejangannya,
lalu menolehkan kepala ke arah murid-muridnya yang nampak masih antusias memperhatikan
dan mendengarkan wejangannya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melanjutkan
wejangannya kembali.
“Nah, murid-muridku! Terkait dengan tindakan, sikap dan perilaku Syeh
Mansyur al-Hallaj yang sudah kalian saksikan dan alami sendiri seharusnya
kalian bisa mengkaitkannya dengan ketiga prinsip ajaran Islam tadi yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Menurutku apa yang
dilakukan Syeh Mansyur al-Hallaj dengan memberi makanan roti kepada kedua anjingnya
itu termasuk perbuatan saleh secara horisontal yang mengasihi sesama mahkluk
hidup kepada manusia, hewan, dan lingkungan alam sebagaimana yang termaktub
dalam prinsip ajaran Islam yang pokok tadi, Iman, Islam dan Ihsan!” Kembali
Syeh Abdullah Turugbadi menghentikan wejangannya untuk bernafas sejenak. Sambil mengangkat tangan kirinya dan
menunjukkan satu jari telunjuk ke arah murid-muridnya ia melanjutkan
wejangannya:
“Murid-muridku, yang lebih
teramat penting dan pokok lagi ialah bahwa makna religi yang terkandung dalam
sikap Syeh Mansyur al-Hallaj adalah bahwa kedua anjing berwarna hitam yang
dirantai dan dibawanya serta itu sesungguhnya simbol atau lambang nafsu-nafsu
yang bersemayam bersembunyi dalam diri kita yang teramat sukar dikendalikan bahkan
mungkin dilenyapkan. Dan, Syeh Mansyur al-Hallaj adalah orang sudah mampu
mengendalikan itu dengan merantai dan mengendalikan anjing-anjing peliharaannya
yang merupakan lambang nafsu-nafsu yang ada dalam dirinya yaitu nafsu lawwamah,
nafsu sufiyah, dan nafsu amarah sebagai mana hal tersebut sudah aku sampaikan
pada pelajaran sebelumnya. Sekarang bagaimana
dengan kalian sendiri? Apakah kalian
sudah mampu dan bisa mengendalikan dan melenyapkan nafsu-nafsu tersebut? Aku
melihatnya justru nafsu-nafsu tersebut masih tersembunyi, masih melekat kuat
dan kalian sepertinya masih belum mampu mengendalikan, mengeluarkannya apalagi
untuk melenyapkan nafsu-nafsu tersebut dari dalam diri kalian. Nah, aku sebagai gurumu sungguh tak
membutuhkan jawaban dari kalian untuk pertanyaan-pertanyaan ini dari kalian, dan
kalian bisa merenungkannya sendiri!”
Pustaka:
—Drs. H. Effendi Zarkasi, “Unsur Islam Dalam
Pewayangan”
Penerbit
Alfa Daya Jakarta 1981
—Jamaluddin Kafie, “Tuntunan Pelaksanaan Rukun Iman
Islam dan Ihsan”
Penerbit
Al-Ikhlas-Surabaya 1981
—YB. Prabaswara, “Syeh Siti Jenar Cikal Bakal Faham
Kejawen”
Penerbit
Armedia Jakarta
nice share gan, kerennnnn
BalasHapushabbatusauda propolis
nice share gan, kerennnn artikelnya
BalasHapushabbatusauda propolis