Jumat, 15 Januari 2016

"KISAH SITI HAJAR DAN NABI IBRAHIM" Dikisahkan oleh Sita

Sita Blog : "Nina Bobo"
Sabtu, 16 Januari 2016 - 09:23 WIB

Dikisahkan suatu ketika Sitti Sarah istri Nabi Ibrahim yang pertama, marah kepada Sitti Hajar istri Nabi Ibrahim a.s. yang kedua, yang diberikan oleh raja Mesir kepadanya. Sitti Hajar merasa tidak senang dan bersumpah bahwa ia akan segera menjauhi Sitti Sarah, tak mau tinggal se negeri selama-lamanya. Oleh sebab itu Sitti Hajar mendesak kepada Nabi Ibrahim a.s. supaya mereka segera meninggalkan negeri Syam, hijrah ke negeri lain. Karena demikianlah sumpah yang diucapkan, dan dengan pengharapan semoga di negeri yang baru itu mereka akan dapat hidup dengan tenteram.

Ketika itulah Nabi Ibrahim a.s. menerima wahyu dari Tuhan, yang memerintahkan agar dia bersama Sitti Hajar dan puteranya yang masih kecil yaitu Ismail agar segera meninggalkan negeri Syam, berjalan ke arah selatan menuju tanah Mekah sekarang ini. Tetapi negeri Mekah pada waktu itu masih belum ada. Yang ada hanya gurun pasir dan bukit-bukit batu cadas, panas kering tak berair sama sekali, sunyi sepi tak berpenghuni. Kesanalah Nabi Ibrahim a.s. beserta isteri dan anaknya, Ismail pergi.

Beruntunglah di sana tumbuh sebatang pohon kayu yang bisa dijadikan tempat untuk beristirahat berlindung dari panasnya terik matahari. Beberapa lama kemudian setelah Nabi Ibrahim a.s. menyediakan air sisa bekal yang ada ia pun bermaksud meninggalkan Sitti Hajar dan puteranya Ismail yang masih kecil itu di sana.

Nabi Ibrahim a.s. segera berjalan meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali menuju ke negeri Syam, tetapi Sitti Hajar yang melihat itu segera berlari-lari menyusulnya sedang puteranya Ismail ditinggalkan di bawah pohon kayu, seraya berseru kepada Ibrahim :

“Wahai suamiku Ibrahim hendak kemanakah? Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua di sini? Apa yang bisa kami perbuat di tempat ini?”

Sitti Hajar menangis, hatinya merasa sangat sedih, berulang-ulang ia menahan dengan merayu, membujuk suaminya agar tidak pergi meninggalkan dia dan puteranya. Akan tetapi Nabi Ibrahim a.s. dengan langkah yang tetap terus berjalan, tidak mau menoleh barang sedikitpun tak mau mendengar tangisan yang menyayat dari isteri dan itu. Sitti Hajar putus harapan untuk menahan suaminya, lalu ia bertanya kepada Nabi Ibrahim :

“Tuhankah yang menyuruh engkau pergi, wahai Ibrahim?”
“Ya!” jawab Nabi Ibrahim.
“Oh..., jika demikian saya percaya, bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kami berdua tinggal di sini. Tuhan pasti akan melindungi kami!” berkata Sitti Hajar.

Setelah itu Sitti Hajar pun pergi meninggakan suaminya kembali menghampiri puteranya, Ismail yang masih tidur di bawah pohon kayu. Sementara itu, Nabi Ibrahim a.s. berjalan terus dengan hati yang tetap dan tabah karena menjunjung tinggi perintah Tuhan. Maka sampailah ia di Baitul Haram, di mana ia bersimpuh sambil menadahkan kedua telapak tangannya, berdo’a ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.

“Ya Tuhan kami! Sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di wadi, yang tak ada sama sekali tanaman dan tumbuhan, dekat Baitul Haram. Hendaklah engkau jadikan mereka orang yang mendirukan dan melakukan sembahyang. Hendaklah engkau jadikan hati manusia condong kepada mereka, berilah mereka rezeki dengan buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Surat Ibrahim ayat 37) Selesai berdoa, ia lalu bangkit melanjutkan perjalannya ke negeri Syam.

Sementara itu Sitti Hajar dan puteranya, sepeninggal Nabi Ibrahim a.s. mengalami penderitaan dan kesukaran yang teramat sangat. Air persediaan habis. Air susu Sitti Hajar pun kering. Betapa sengsara dan dahaganya kedua insan yang tak berdaya itu. Panas terik matahari terasa membakar tubuhnya, namun tak ada stetes pun air yang bisa diminum.  Akan tetapi Sitti Hajar tettap tabah. Ia kuatkan dirinya meski berjalan dengan lunglai karena kehausan, ia terus melangkah mencari air hingga sampai ke kaki bukit Safa. Diangkat tangannya untuk melindungi matanya dari silaunya cahaya matahari yang begitu terik. Ia melihat sekeliling, sejauh mata memandang tak seorang manusia pun yang nampak kelihatan. Di tempat itu hanya padang pasir dan bukit-bukit batu semata. Tidak jauh di hadapannya ada pula sebuah bukit kecil yang dikenal dengan nama bukit Marwah. Lalu Sitti Hajar menuju bukit itu dengan berlari. Tak seberapa lama ia pun berhenti di sana, memandang ke sana-sini, tapi tak juga menjumpai manusia di sana. Akan tetapi ia belum juga berputus asa meski perasaan lelah begitu menderanya, ia terus berlari berulang-ulang dari bukit safa hingga ke bukit marwah. Dan itu diulang-ulangnya sampai tujuh kali. Meskipun demikian tak satupun manusia kelihatan. (Peristiwa inilah yang kemudian menjadi salah satu rukun haji yang disebut Sa’i. Berlari-lari kecil tujuh kali pulang pergi antara bukit Safa dan Marwah.)

Sitti Hajar terhenyak di kaki bukit Marwah, perasaan letih, lesu, dan serasa tak berdaya lagi untuk menahan haus, lapar yang tak terhingga. Ia menyerah kepada takdir Tuhan. Ketika itulah sekonyong-konyong, ia mendengar ada suara gaib yang memanggil-manggil namanya. Ia pun melihat ke sekeliling, tetapi tak seorang pun nampak kelihatan. Tiba-tiba ia melihat malaikat Jibril yang menampakkan diri sambil mengepak-ngepakkan sayapnya memukul ke tanah lalu menghilang dalam sekejap.

Sitti Hajar mendekati tempat itu. Atas kuasa Tuhan, rupanya tanah yang bekas dipukul-pukul oleh sayap malaikat Jibril itu memancarlah air yang cukup berlimpah. Sitti Hajar membendung air itu agar jangan sampai mengalir ke tempat lainnya. Terhindarlah Sitti Hajar dan puteranya Ismail dari bahaya maut yang menimpanya. Air yang keluar dari lubang bekas pukulan malaikat Jibril itu dikenal dengan nama Air Zamzam.

Suatu ketika melintaslah serombongan kafilah suku Jurhum dari negeri Yaman. Dari jauh mereka melihat burung-burung berterbangan di sekitar bukit Abi Qubeis. Mereka mengetahui bahwa di dekat bukit itu tentu terdapat air. Lalu kafilah itu mendekati tempat tersebut dan memang benar di sana ada air. Mereka pun mendapati Sitti Hajar dan puteranya Ismail ada di sana.  Maka suku Jurhum itu tinggallah di sana hingga turun-temurun. Mereka menjadi penduduk wadi itu yang pertama kali, dan wadi itu menjadi sebuah kota paling terkenal di seluruh dunia dikenal dengan nama Mekah.  

Di tanah Mekah inilah Siti Hajar wafat dalam usia 90 tahun. Sedangkan puteranya Ismail kawin dengan seorang puteri suku Jurhum sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan dekat Ka’bah.

Rupanya doa Nabi Ibrahim a.s. dikabulkan Tuhan, sehingga wadi yang kering dan tandus itu pada akhirnya menjadi sebuah kota yang ramai banyak dikunjungi oleh Ummat Islam di seluruh dunia untuk menunaikan ‘ibadah haji.   

Referensi: 
C.Israr, “Sejarah Kesenian Islam”- Bulan Bintang - Jakarta1978

Pangarakan, Bogor
Sabtu, 16 Januari 2016 – 08:42 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar