Sita Blog : "Nina Bobo"
Sabtu, 16 Januari 2016 - 09:23 WIB
Dikisahkan suatu
ketika Sitti Sarah istri Nabi Ibrahim yang pertama, marah kepada Sitti Hajar
istri Nabi Ibrahim a.s. yang kedua, yang diberikan oleh raja Mesir kepadanya.
Sitti Hajar merasa tidak senang dan bersumpah bahwa ia akan segera menjauhi
Sitti Sarah, tak mau tinggal se negeri selama-lamanya. Oleh sebab itu Sitti
Hajar mendesak kepada Nabi Ibrahim a.s. supaya mereka segera meninggalkan
negeri Syam, hijrah ke negeri lain. Karena demikianlah sumpah yang diucapkan,
dan dengan pengharapan semoga di negeri yang baru itu mereka akan dapat hidup
dengan tenteram.
Ketika itulah Nabi
Ibrahim a.s. menerima wahyu dari Tuhan, yang memerintahkan agar dia bersama
Sitti Hajar dan puteranya yang masih kecil yaitu Ismail agar segera
meninggalkan negeri Syam, berjalan ke arah selatan menuju tanah Mekah sekarang
ini. Tetapi negeri Mekah pada waktu itu masih belum ada. Yang ada hanya gurun
pasir dan bukit-bukit batu cadas, panas kering tak berair sama sekali, sunyi
sepi tak berpenghuni. Kesanalah Nabi Ibrahim a.s. beserta isteri dan anaknya,
Ismail pergi.
Beruntunglah di sana
tumbuh sebatang pohon kayu yang bisa dijadikan tempat untuk beristirahat
berlindung dari panasnya terik matahari. Beberapa lama kemudian setelah Nabi
Ibrahim a.s. menyediakan air sisa bekal yang ada ia pun bermaksud meninggalkan
Sitti Hajar dan puteranya Ismail yang masih kecil itu di sana.
Nabi Ibrahim a.s.
segera berjalan meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali menuju ke negeri
Syam, tetapi Sitti Hajar yang melihat itu segera berlari-lari menyusulnya sedang
puteranya Ismail ditinggalkan di bawah pohon kayu, seraya berseru kepada
Ibrahim :
“Wahai suamiku Ibrahim hendak kemanakah? Sampai
hatikah engkau meninggalkan kami berdua di sini? Apa yang bisa kami perbuat di
tempat ini?”
Sitti Hajar
menangis, hatinya merasa sangat sedih, berulang-ulang ia menahan dengan merayu,
membujuk suaminya agar tidak pergi meninggalkan dia dan puteranya. Akan tetapi
Nabi Ibrahim a.s. dengan langkah yang tetap terus berjalan, tidak mau menoleh
barang sedikitpun tak mau mendengar tangisan yang menyayat dari isteri dan itu.
Sitti Hajar putus harapan untuk menahan suaminya, lalu ia bertanya kepada Nabi
Ibrahim :
“Tuhankah yang menyuruh engkau pergi, wahai Ibrahim?”
“Ya!” jawab
Nabi Ibrahim.
“Oh..., jika demikian saya percaya, bahwa Tuhan tidak
akan menyia-nyiakan kami berdua tinggal di sini. Tuhan pasti akan melindungi
kami!” berkata Sitti Hajar.
Setelah itu Sitti
Hajar pun pergi meninggakan suaminya kembali menghampiri puteranya, Ismail yang
masih tidur di bawah pohon kayu. Sementara itu, Nabi Ibrahim a.s. berjalan
terus dengan hati yang tetap dan tabah karena menjunjung tinggi perintah Tuhan.
Maka sampailah ia di Baitul Haram, di mana ia bersimpuh sambil menadahkan kedua
telapak tangannya, berdo’a ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
“Ya Tuhan kami! Sesungguhnya aku telah menempatkan
keturunanku di wadi, yang tak ada sama sekali tanaman dan tumbuhan, dekat
Baitul Haram. Hendaklah engkau jadikan mereka orang yang mendirukan dan
melakukan sembahyang. Hendaklah engkau jadikan hati manusia condong kepada
mereka, berilah mereka rezeki dengan buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur.” (Surat Ibrahim ayat 37) Selesai
berdoa, ia lalu bangkit melanjutkan perjalannya ke negeri Syam.
Sementara itu Sitti
Hajar dan puteranya, sepeninggal Nabi Ibrahim a.s. mengalami penderitaan dan
kesukaran yang teramat sangat. Air persediaan habis. Air susu Sitti Hajar pun
kering. Betapa sengsara dan dahaganya kedua insan yang tak berdaya itu. Panas
terik matahari terasa membakar tubuhnya, namun tak ada stetes pun air yang bisa
diminum. Akan tetapi Sitti Hajar tettap
tabah. Ia kuatkan dirinya meski berjalan dengan lunglai karena kehausan, ia
terus melangkah mencari air hingga sampai ke kaki bukit Safa. Diangkat
tangannya untuk melindungi matanya dari silaunya cahaya matahari yang begitu
terik. Ia melihat sekeliling, sejauh mata memandang tak seorang manusia pun
yang nampak kelihatan. Di tempat itu hanya padang pasir dan bukit-bukit batu
semata. Tidak jauh di hadapannya ada pula sebuah bukit kecil yang dikenal
dengan nama bukit Marwah. Lalu Sitti
Hajar menuju bukit itu dengan berlari. Tak seberapa lama ia pun berhenti di
sana, memandang ke sana-sini, tapi tak juga menjumpai manusia di sana. Akan
tetapi ia belum juga berputus asa meski perasaan lelah begitu menderanya, ia
terus berlari berulang-ulang dari bukit safa hingga ke bukit marwah. Dan itu
diulang-ulangnya sampai tujuh kali. Meskipun demikian tak satupun manusia
kelihatan. (Peristiwa inilah yang
kemudian menjadi salah satu rukun haji yang disebut Sa’i. Berlari-lari kecil tujuh kali pulang pergi antara bukit Safa
dan Marwah.)
Sitti Hajar
terhenyak di kaki bukit Marwah, perasaan letih, lesu, dan serasa tak berdaya
lagi untuk menahan haus, lapar yang tak terhingga. Ia menyerah kepada takdir
Tuhan. Ketika itulah sekonyong-konyong, ia mendengar ada suara gaib yang
memanggil-manggil namanya. Ia pun melihat ke sekeliling, tetapi tak seorang pun
nampak kelihatan. Tiba-tiba ia melihat malaikat Jibril yang menampakkan diri sambil
mengepak-ngepakkan sayapnya memukul ke tanah lalu menghilang dalam sekejap.
Sitti Hajar
mendekati tempat itu. Atas kuasa Tuhan, rupanya tanah yang bekas dipukul-pukul
oleh sayap malaikat Jibril itu memancarlah air yang cukup berlimpah. Sitti
Hajar membendung air itu agar jangan sampai mengalir ke tempat lainnya.
Terhindarlah Sitti Hajar dan puteranya Ismail dari bahaya maut yang menimpanya.
Air yang keluar dari lubang bekas pukulan malaikat Jibril itu dikenal dengan
nama Air
Zamzam.
Suatu ketika
melintaslah serombongan kafilah suku Jurhum dari negeri Yaman. Dari jauh mereka
melihat burung-burung berterbangan di sekitar bukit Abi Qubeis. Mereka mengetahui
bahwa di dekat bukit itu tentu terdapat air. Lalu kafilah itu mendekati tempat
tersebut dan memang benar di sana ada air. Mereka pun mendapati Sitti Hajar dan
puteranya Ismail ada di sana. Maka suku
Jurhum itu tinggallah di sana hingga turun-temurun. Mereka menjadi penduduk
wadi itu yang pertama kali, dan wadi itu menjadi sebuah kota paling terkenal di
seluruh dunia dikenal dengan nama Mekah.
Di tanah Mekah
inilah Siti Hajar wafat dalam usia 90 tahun. Sedangkan puteranya Ismail kawin
dengan seorang puteri suku Jurhum sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan dekat
Ka’bah.
Rupanya doa Nabi
Ibrahim a.s. dikabulkan Tuhan, sehingga wadi yang kering dan tandus itu pada
akhirnya menjadi sebuah kota yang ramai banyak dikunjungi oleh Ummat Islam di
seluruh dunia untuk menunaikan ‘ibadah haji.
Referensi:
C.Israr, “Sejarah
Kesenian Islam”- Bulan Bintang - Jakarta1978
Pangarakan, Bogor
Sabtu, 16 Januari 2016 – 08:42 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar