Jumat, 29 November 2013

Cerita Rakyat Kutai: "PUAN TAHUN" Bag. 4 Diceritakan Oleh Sita Rose



Dihimpun oleh Emi
Sita dan Tusya (Foto: SP091257)
Nina Bobok - Sabtu, 30 Nopember 2013 - 4:57 WIB: Mendengar suara hantu Tingting Uwit itu berbunyi dari bawah pondok mereka, disuruhnya pula istrinya melemparkan tumpi untuk memburu hantu Tingting Uwit. Tetapi sebelum istrinya pergi mengambil tumpi tersebut, terdengar pula suara, “Ting, ting... Uwit, tumpinya ndik nyaman, biar  Uan Gergasi suami istri kutelan.”

Mendengar suara hantu Tingting Uwit yang terakhir ini, bertambah takutlah kedua Uan Gergasi suami istri itu. “Wah... celaka kita sekarang, “ ujar Uan Gergasi itu kepada istrinya.” Tumpi kita dikatakan tidak enak, lebih baik kita lari saja, dan kita berdua akan ditelannya. Dar ipada kita berdua mati ditelan hantu Tingting Uwit itu, lebih baik kita lari saja, dengan melompat dari jendela pondok ini. Sudah pasti hantu Tingting Uwit ini akan naik ke pondok kita.”

Tanpa pikir panjang lagi, dipengaruhi perasaan takut, sambil masih bergulung dalam tikar, keduanya lalu melompat dari jendela. Malang tak dapat diraih, kedua Uan Gergasi itu jatuh ke tanah, tertusuk bambu yang ujungnya sudah diruncingkan yang tadi dipasang oleh kakak beradik itu. Dan seketika itu pula kedua Uan Gergasi itu tewas karena tubuhnya tertembus bambu runcing. Tamatlah riwayat Uan Gergasi suami istri yang suka mengganggu manusia.

Setelah melihat Uan Gergasi tewas oleh bambu runcing yang dipasangnya itu, kedua kakak beradik itu naik ke atas pondok. Sesampai di atas pondok mereka mencari tempat untuk merebahkan badan mereka tertidur sampai pulas benar. Saat matahari terbit mereka terbangun karena adanya suara gaduh di dalam pondok itu. Mereka mencari dari mana asalnya sumber suara gaduh itu. Ketika mereka membuka pintu salah satu kamar, alangkah terkejutnya mereka menyaksikan apa yang nampak di depan mereka. Di dalam kamar besar yang layaknya seperti penjara itu, mereka menyaksikan berpuluh-puluh manusia yang kurus kering bagaikan mayat hidup. Tubuhnya sudah tidak sempurna lagi, ada yang matanya tinggal satu, tangannya hanya sebelah dan lain sebagainya.

Demi melihat keadaan seperti itu, timbullah perasaan iba sang kedua kakak beradik itu. Mereka semua lalu diberi makanan secukupnya serta mengobati semua yang luka. Setelah kesehatan mereka pulih kembali, maka orang-orang itu semuanya disuruh pulang ke tempat mereka masing-masing dengan membawa bekal dari  pondok Uan Gergasi yang masih tersisa.

Kini tinggallah kedua kakak beradik itu di dalam pondok Uan Gergasi dengan tentram tanpa harus takut diganggu karena Uan Gergasi sudah tewas. Pada hari-hari berikutnya kedua kakak beradik itu memeriksa ke setiap sudut-sudut rumah, dan membersihkan rumah tersebut dari benda-benda yang membuat kotor rumah tersebut. Bermacam-macam keanehan ternyata ditemukan, oleh kedua kakak beradik itu lalu dimusnahkan. Dalam rumah itu terdapat pula berpuluh-puluh tempayan berisikan berupa-rupa beras, beras biasa, beras pulut, sembela padi, dan sembela pulut. Di antaranya ada pula yang berisikan pekasam, semacam wadi. Ada pekasam babi, rusa, lembu, dan lain-lainnya. Kemudian oleh kedua kakak beradik itu, rumah Uan Gergasi itu diubah sesuai ukuran dan selera si kakak beradik.

Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu, dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, dan dari bulan ke bulan hingga tahun ke tahun, keadaan kedua kakak beradik itu berubah dan tubuhnya semakin membesar  sesuai perkembangan usia mereka. Adiknya sudah bisa membantu pekerjaan kakaknya.

Pada suatu hari berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik..., jika persediaan makanan dalam pondok peninggalan Uan Gergasi kita makan terus-menerus tentu akan habis, sedangkan kita harus terus hidup. Oleh karena itu menurut pendapat kakak sebaiknya kita berdua membuka ladang, berhuma, dan kita olah menurut kemampuan kita. Biar kecil asal kita mengerjakannya dengan tekun, ulet dan rajin berkerja keras tentu akan menghasilkan yang bisa kita makan untuk kelangsungan hidup kita”.  Mendengarkan kakaknya berkata demikian sang adik menjawab, “Baiklah kak, tapi aku ikut pula menebas pepohonan menurut kekuatanku.”

Akhirnya kedua kakak beradik itu bermupakat untuk membuka ladang tepat pada musim ladang. Setelah tiba waktunya musim ladang, mulailah mereka berkerja membuka ladang. Dari pagi hingga menjelang petang mereka melakukannya dengan semangat kerja yang demikian tinggi. Menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menduru, sampai pada akhirnya terbukalah ladang yang siap untukmereka garap. Ketika sampai pada hari yang menurut mereka baik untuk menanam padi maka mereka pun mulai menanami ladang mereka dengan bibit-bit padi yang sebelumnya sudah mereka pilih dan kumpulkan. Luas ladang mereka tidak terlalu luas, dibuat dengan bentuk melebar mengelilingi sebuah tunggul kayu besar yang terdapat di situ. Benihnya hanya sebanyak  1 kulak atau 2 kg. Demikian keadaan ladang mereka dibuat menurut kemampuan mereka yang masih kanak-kanak. Setelah padinya tumbuh, mereka pelihara dengan penuh semangat dan penuh kehati-hatian. Rumput-rumput yang mengelilingi padi mereka bersihkan.

Setelah musim merumput berlalu, tibalah masa musim panen padi. Setiap sore dibuatlah api di sekitar ladang itu guna memburu segala pemangsa dan hama-hama padi yang akan merusak buah padi yang mulai keluar. Pada akhirnya buah padi itu mulai masak dan akan mulai dipotong. Sebelum turun memotong atau mengetam padi, ditepungtawarilah padi menurut pemikiran kedua kakak beradik itu, selanjutnya bekerjalah mereka memetik hasil jerih payah mereka selama ini.

Suatu ketika saat kakak beradik itu sedang asyik mengetam padi, tiba-tiba datang seorang perempuan tua dengan membawa sebuah bakul tempat padi. Perempuan tua itu mendekati kedua kakak- beradik lalu berkata, “Cu..., dapatkah kita berdua ni mbawak aku ngetam. Aku ndak  umpat urang di dinun..., nun di sepihak gunung situ, urang nindak mbawak. Kan upahku, ‘tu barang aja sepemberi cucu berdua. Aku ndik milih.”
Mendengar permintaan perempuan tua yang menghiba-hiba itu, timbul rasa belas kasihan di hati kedua kakak-beradik, lalu si kakak menjawab, “Siannya kita... nek, culas benehan urang didinun, mandik ndak mbawak nenek. Baik hak kita umpat ngetam padi di humaku nya sedikit ni, biar nya cepat pupus.”

Demikianlah mereka bertiga mengetam padi di ladang yang kecil itu, sambil berbicara dan bersenda gurau. Dalam pada itu, kedua kakak-beradik kadang-kadang merasa heran mendengar perempuan tua itu berkata-kata sendirian seperti orang yang membaca mantra, tetapi mereka hanya berdiam diri saja. Mereka terus bekerja, mengetam padi tanpa menghiraukan kelakuan perempuan tua tersebut.

Sudah satu kerangking (tempat padi) yang penuh, namun padi masih banyak yang belum diketam. Ketam /dipotong arah di muka, maka keluar pula buah padi yang lebat dan masak, pada bekas tangkai padi yang dipotong, dan bila diketam di arah belakang, maka berbuah pula dengan lebatnya pada tangkai yang bekas dipotong tadi. Kedua kakak beradik itu merasa heran atas kejadian itu, namun tidak dapat memikirkan lebih lanjut lagi, karena bakul besar tempat menaruh padi yang sudah diketam sudah penuh dan harus dibawa ke pondok mereka untuk disimpan dalam kerangking padi. Demikianlah, sudah seharian mereka bertiga memotong padi mengelilingi tunggul kayu besar yang ada di tengah-tengah ladang, seolah-olah padi itu tak ada habis-habisnya. Dari dapur sampai ke tengah pondok mereka, sudah penuh sesak dengan timbunan padi yang baru dipotong. Akhirnya kedua kakak beradik itu menyerah dan kewalahan dibuatnya, lalu berkata kepada perempuan tua itu, “Nek..., hari dah merian, baik hak etam berenti dulu, biar empai aja etam mupuskannya tinggal sedikit ‘tu.”

Perempuan tua itu lalu menjawab, “Amun cucuku bedua ndak mulang, mulang hak bedulu, biar ku ngehabisi ngetamnya sedikit ‘ni, sebab amun dipucahkan kemalaman, empai ndik ada lagi padi ni.”

Setelah berkata demikian, perempuan tua itu pun terus memotong padi yang masih bersisa sedikit itu, dan tidak lama kemudian tepat matahari akan terbenam, selesailah pekerjaannya. Kemudian mereka bertiga pulang ke pondok, dan terus pergi mandi untuk membersihkan badan ke sungai. Sekembali dari sungai, mereka makan, makanan yang sejak siang tadi sudah tersedia. Mereka bertiga makan dengan asyiknya, karena seharian bekerja tanpa menghiraukan makan dan minum. Selesai makan mereka duduk beristirahat di tengah pondok sambil bercakap-cakap. Perempuan tua itu berkata, “Cu..., ndik kusangka etam banyak boleh padi hari ini. Liat hak, tulak dalam kerangking, sampai ke dapur penuh sesak sampai pulang e tengah pondok. Huma cucuku hanya mengelilingi tunggur kayu pore ’tu maha, ndik tama diakal macam ni banyak bolehannya. Biasanya amun tegak ini banyak bolehan, paling sedikit berpuluh-puluh paso binihannya. Makanya... cu, aku madahi awak dua-diangsanak, amun cucuku ndak mulai nebas huma ‘tu, odah timbang mana ndak mulai, cucuku bersehkan dulu sedepa segi empat, lalu di situ tarohi tigu setulang di atas telisak, keripit sirih lipat selimpat, dian lilin matu dan tepung tawar, lalu cucuku ncarang, bermemang, artinya minta supaya segala jin tanh, kayu, jin hutan dan sekalian jin, jauh dari situ, supaya cucuku jangan peramisan. Sudah ‘tu betuhing cucuku tiga hari, dan baru mulai nebas pada hari keempatnya, dimulai arah matahari hidup ke matahari padam. Jika sudah habis cucuku nebas, nebang, njemor reba lalu nunu, dan waktu ndak mulai ngasak padi, kira-kira di tengah huma, cucuku bersehkan tanah sedepa segi empat memanjang, awak lentaki dipinggirannya kayu, anak-anak kayu aja, polah tegak kapal ‘tu, lalu di dalamnya awak tanami serai, kunyit, lengkuas. Di buncu empat, cucuku tajaki daun lenjuang, tegak bendera. Lalu cucuku alak buluh seruas, dan diisi air, dan dirikan/tanjakkan, di dalam, parak segala lengkuas, kunyit, dan serai tadi. Parak dengan odah itu, cucuku hidupi api, jangan sampai padam. Sebab amun urang ndak pegi betulak tu musti bebekal. Inilah maksud syarat-syarat tadi. Hambat-hambat, ya..., hambat benar, amun kawannya sebelum burung-burung, atau binatang-binatang lainnya mingat, bakul odah binihan (bibit padi) sudah dibawa turun keodah pembinihan ‘tu, bebaya, dengan dibawak jua, tigu, sirih nya sudah dipolah keripit dilipat selimpat, diam dan tepung tawar. Sementara nunggui itu, awak bememang, artinya nyruh segala jin bejauh, jangan parak. Sudah ‘tu cucuku bememang dan tepung tawari binih padinya dalam bakul tadi, macam ni hak maksudnya; segala bekalan-bekalan nya ndak dibawa berlayar ni sudah cukup, api, air, padi, tigu, kripit sirih lipat selimpat, dian, serai, kunyit, lengkuas. Belayar hak kita, amun sudah genap enam bulan kita balik mulang, bawaki kawan-kawan kita nya sesat di jalanan atau nya mandik beodah, macam ‘tu tegak memangnya. (Bersambung)

Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor                           

1 komentar:

  1. Luas ladang mereka tidak terlalu luas, dibuat dengan bentuk melebar mengelilingi sebuah tunggul kayu besar yang terdapat di situ. Benihnya hanya sebanyak 1 kulak atau 2 kg. Demikian keadaan ladang mereka dibuat menurut kemampuan mereka yang masih kanak-kanak. Setelah padinya tumbuh, mereka pelihara dengan penuh semangat dan penuh kehati-hatian. Rumput-rumput yang mengelilingi padi mereka bersihkan.

    BalasHapus