Dihimpun oleh Emi
Sita dan Tusya (Foto: SP091257) |
Nina Bobok - Sabtu, 30 Nopember 2013 - 4:57 WIB: Mendengar suara hantu Tingting Uwit itu berbunyi
dari bawah pondok mereka, disuruhnya pula istrinya melemparkan tumpi untuk
memburu hantu Tingting Uwit. Tetapi sebelum istrinya pergi mengambil tumpi
tersebut, terdengar pula suara, “Ting, ting... Uwit, tumpinya ndik nyaman,
biar Uan Gergasi suami istri kutelan.”
Mendengar suara hantu Tingting Uwit yang terakhir
ini, bertambah takutlah kedua Uan Gergasi suami istri itu. “Wah... celaka kita
sekarang, “ ujar Uan Gergasi itu kepada istrinya.” Tumpi kita dikatakan tidak
enak, lebih baik kita lari saja, dan kita berdua akan ditelannya. Dar ipada
kita berdua mati ditelan hantu Tingting Uwit itu, lebih baik kita lari saja,
dengan melompat dari jendela pondok ini. Sudah pasti hantu Tingting Uwit ini
akan naik ke pondok kita.”
Tanpa pikir panjang lagi, dipengaruhi perasaan
takut, sambil masih bergulung dalam tikar, keduanya lalu melompat dari jendela.
Malang tak dapat diraih, kedua Uan Gergasi itu jatuh ke tanah, tertusuk bambu
yang ujungnya sudah diruncingkan yang tadi dipasang oleh kakak beradik itu. Dan
seketika itu pula kedua Uan Gergasi itu tewas karena tubuhnya tertembus bambu
runcing. Tamatlah riwayat Uan Gergasi suami istri yang suka mengganggu manusia.
Setelah melihat Uan Gergasi tewas oleh bambu
runcing yang dipasangnya itu, kedua kakak beradik itu naik ke atas pondok.
Sesampai di atas pondok mereka mencari tempat untuk merebahkan badan mereka
tertidur sampai pulas benar. Saat matahari terbit mereka terbangun karena
adanya suara gaduh di dalam pondok itu. Mereka mencari dari mana asalnya sumber
suara gaduh itu. Ketika mereka membuka pintu salah satu kamar, alangkah terkejutnya
mereka menyaksikan apa yang nampak di depan mereka. Di dalam kamar besar yang
layaknya seperti penjara itu, mereka menyaksikan berpuluh-puluh manusia yang
kurus kering bagaikan mayat hidup. Tubuhnya sudah tidak sempurna lagi, ada yang
matanya tinggal satu, tangannya hanya sebelah dan lain sebagainya.
Demi melihat keadaan seperti itu, timbullah
perasaan iba sang kedua kakak beradik itu. Mereka semua lalu diberi makanan
secukupnya serta mengobati semua yang luka. Setelah kesehatan mereka pulih kembali,
maka orang-orang itu semuanya disuruh pulang ke tempat mereka masing-masing
dengan membawa bekal dari pondok Uan
Gergasi yang masih tersisa.
Kini tinggallah kedua kakak beradik itu di dalam
pondok Uan Gergasi dengan tentram tanpa harus takut diganggu karena Uan Gergasi
sudah tewas. Pada hari-hari berikutnya kedua kakak beradik itu memeriksa ke
setiap sudut-sudut rumah, dan membersihkan rumah tersebut dari benda-benda yang
membuat kotor rumah tersebut. Bermacam-macam keanehan ternyata ditemukan, oleh
kedua kakak beradik itu lalu dimusnahkan. Dalam rumah itu terdapat pula
berpuluh-puluh tempayan berisikan berupa-rupa beras, beras biasa, beras pulut,
sembela padi, dan sembela pulut. Di antaranya ada pula yang berisikan pekasam,
semacam wadi. Ada pekasam babi, rusa, lembu, dan lain-lainnya. Kemudian oleh
kedua kakak beradik itu, rumah Uan Gergasi itu diubah sesuai ukuran dan selera
si kakak beradik.
Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu, dari
hari ke hari, dari pekan ke pekan, dan dari bulan ke bulan hingga tahun ke
tahun, keadaan kedua kakak beradik itu berubah dan tubuhnya semakin membesar sesuai perkembangan usia mereka. Adiknya
sudah bisa membantu pekerjaan kakaknya.
Pada suatu hari berkatalah si kakak kepada adiknya,
“Dik..., jika persediaan makanan dalam pondok peninggalan Uan Gergasi kita
makan terus-menerus tentu akan habis, sedangkan kita harus terus hidup. Oleh
karena itu menurut pendapat kakak sebaiknya kita berdua membuka ladang,
berhuma, dan kita olah menurut kemampuan kita. Biar kecil asal kita
mengerjakannya dengan tekun, ulet dan rajin berkerja keras tentu akan
menghasilkan yang bisa kita makan untuk kelangsungan hidup kita”. Mendengarkan kakaknya berkata demikian sang
adik menjawab, “Baiklah kak, tapi aku ikut pula menebas pepohonan menurut
kekuatanku.”
Akhirnya kedua kakak beradik itu bermupakat untuk
membuka ladang tepat pada musim ladang. Setelah tiba waktunya musim ladang,
mulailah mereka berkerja membuka ladang. Dari pagi hingga menjelang petang
mereka melakukannya dengan semangat kerja yang demikian tinggi. Menebang
pohon-pohon, membakar semak belukar, menduru, sampai pada akhirnya terbukalah
ladang yang siap untukmereka garap. Ketika sampai pada hari yang menurut mereka
baik untuk menanam padi maka mereka pun mulai menanami ladang mereka dengan
bibit-bit padi yang sebelumnya sudah mereka pilih dan kumpulkan. Luas ladang
mereka tidak terlalu luas, dibuat dengan bentuk melebar mengelilingi sebuah
tunggul kayu besar yang terdapat di situ. Benihnya hanya sebanyak 1 kulak atau 2 kg. Demikian keadaan ladang
mereka dibuat menurut kemampuan mereka yang masih kanak-kanak. Setelah padinya
tumbuh, mereka pelihara dengan penuh semangat dan penuh kehati-hatian.
Rumput-rumput yang mengelilingi padi mereka bersihkan.
Setelah musim merumput berlalu, tibalah masa musim
panen padi. Setiap sore dibuatlah api di sekitar ladang itu guna memburu segala
pemangsa dan hama-hama padi yang akan merusak buah padi yang mulai keluar. Pada
akhirnya buah padi itu mulai masak dan akan mulai dipotong. Sebelum turun
memotong atau mengetam padi, ditepungtawarilah padi menurut pemikiran kedua
kakak beradik itu, selanjutnya bekerjalah mereka memetik hasil jerih payah
mereka selama ini.
Suatu ketika saat kakak beradik itu sedang asyik
mengetam padi, tiba-tiba datang seorang perempuan tua dengan membawa sebuah
bakul tempat padi. Perempuan tua itu mendekati kedua kakak- beradik lalu
berkata, “Cu..., dapatkah kita berdua ni mbawak aku ngetam. Aku ndak umpat urang di dinun..., nun di sepihak
gunung situ, urang nindak mbawak. Kan upahku, ‘tu barang aja sepemberi cucu
berdua. Aku ndik milih.”
Mendengar permintaan perempuan tua yang
menghiba-hiba itu, timbul rasa belas kasihan di hati kedua kakak-beradik, lalu
si kakak menjawab, “Siannya kita... nek, culas benehan urang didinun, mandik
ndak mbawak nenek. Baik hak kita umpat ngetam padi di humaku nya sedikit ni,
biar nya cepat pupus.”
Demikianlah mereka bertiga mengetam padi di ladang
yang kecil itu, sambil berbicara dan bersenda gurau. Dalam pada itu, kedua
kakak-beradik kadang-kadang merasa heran mendengar perempuan tua itu
berkata-kata sendirian seperti orang yang membaca mantra, tetapi mereka hanya
berdiam diri saja. Mereka terus bekerja, mengetam padi tanpa menghiraukan
kelakuan perempuan tua tersebut.
Sudah satu kerangking (tempat padi) yang penuh,
namun padi masih banyak yang belum diketam. Ketam /dipotong arah di muka, maka
keluar pula buah padi yang lebat dan masak, pada bekas tangkai padi yang
dipotong, dan bila diketam di arah belakang, maka berbuah pula dengan lebatnya
pada tangkai yang bekas dipotong tadi. Kedua kakak beradik itu merasa heran
atas kejadian itu, namun tidak dapat memikirkan lebih lanjut lagi, karena bakul
besar tempat menaruh padi yang sudah diketam sudah penuh dan harus dibawa ke
pondok mereka untuk disimpan dalam kerangking padi. Demikianlah, sudah seharian
mereka bertiga memotong padi mengelilingi tunggul kayu besar yang ada di
tengah-tengah ladang, seolah-olah padi itu tak ada habis-habisnya. Dari dapur
sampai ke tengah pondok mereka, sudah penuh sesak dengan timbunan padi yang
baru dipotong. Akhirnya kedua kakak beradik itu menyerah dan kewalahan
dibuatnya, lalu berkata kepada perempuan tua itu, “Nek..., hari dah merian,
baik hak etam berenti dulu, biar empai aja etam mupuskannya tinggal sedikit
‘tu.”
Perempuan tua itu lalu menjawab, “Amun cucuku bedua
ndak mulang, mulang hak bedulu, biar ku ngehabisi ngetamnya sedikit ‘ni, sebab
amun dipucahkan kemalaman, empai ndik ada lagi padi ni.”
Setelah berkata demikian, perempuan tua itu pun
terus memotong padi yang masih bersisa sedikit itu, dan tidak lama kemudian
tepat matahari akan terbenam, selesailah pekerjaannya. Kemudian mereka bertiga pulang
ke pondok, dan terus pergi mandi untuk membersihkan badan ke sungai. Sekembali
dari sungai, mereka makan, makanan yang sejak siang tadi sudah tersedia. Mereka
bertiga makan dengan asyiknya, karena seharian bekerja tanpa menghiraukan makan
dan minum. Selesai makan mereka duduk beristirahat di tengah pondok sambil
bercakap-cakap. Perempuan tua itu berkata, “Cu..., ndik kusangka etam banyak
boleh padi hari ini. Liat hak, tulak dalam kerangking, sampai ke dapur penuh
sesak sampai pulang e tengah pondok. Huma cucuku hanya mengelilingi tunggur
kayu pore ’tu maha, ndik tama diakal macam ni banyak bolehannya. Biasanya amun
tegak ini banyak bolehan, paling sedikit berpuluh-puluh paso binihannya.
Makanya... cu, aku madahi awak dua-diangsanak, amun cucuku ndak mulai nebas
huma ‘tu, odah timbang mana ndak mulai, cucuku bersehkan dulu sedepa segi
empat, lalu di situ tarohi tigu setulang di atas telisak, keripit sirih lipat
selimpat, dian lilin matu dan tepung tawar, lalu cucuku ncarang, bermemang,
artinya minta supaya segala jin tanh, kayu, jin hutan dan sekalian jin, jauh
dari situ, supaya cucuku jangan peramisan. Sudah ‘tu betuhing cucuku tiga hari,
dan baru mulai nebas pada hari keempatnya, dimulai arah matahari hidup ke
matahari padam. Jika sudah habis cucuku nebas, nebang, njemor reba lalu nunu,
dan waktu ndak mulai ngasak padi, kira-kira di tengah huma, cucuku bersehkan
tanah sedepa segi empat memanjang, awak lentaki dipinggirannya kayu, anak-anak
kayu aja, polah tegak kapal ‘tu, lalu di dalamnya awak tanami serai, kunyit,
lengkuas. Di buncu empat, cucuku tajaki daun lenjuang, tegak bendera. Lalu
cucuku alak buluh seruas, dan diisi air, dan dirikan/tanjakkan, di dalam, parak
segala lengkuas, kunyit, dan serai tadi. Parak dengan odah itu, cucuku hidupi
api, jangan sampai padam. Sebab amun urang ndak pegi betulak tu musti bebekal.
Inilah maksud syarat-syarat tadi. Hambat-hambat, ya..., hambat benar, amun
kawannya sebelum burung-burung, atau binatang-binatang lainnya mingat, bakul
odah binihan (bibit padi) sudah dibawa turun keodah pembinihan ‘tu, bebaya,
dengan dibawak jua, tigu, sirih nya sudah dipolah keripit dilipat selimpat,
diam dan tepung tawar. Sementara nunggui itu, awak bememang, artinya nyruh
segala jin bejauh, jangan parak. Sudah ‘tu cucuku bememang dan tepung tawari
binih padinya dalam bakul tadi, macam ni hak maksudnya; segala bekalan-bekalan
nya ndak dibawa berlayar ni sudah cukup, api, air, padi, tigu, kripit sirih
lipat selimpat, dian, serai, kunyit, lengkuas. Belayar hak kita, amun sudah
genap enam bulan kita balik mulang, bawaki kawan-kawan kita nya sesat di
jalanan atau nya mandik beodah, macam ‘tu tegak memangnya. (Bersambung)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai,
Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan,
Bogor
Luas ladang mereka tidak terlalu luas, dibuat dengan bentuk melebar mengelilingi sebuah tunggul kayu besar yang terdapat di situ. Benihnya hanya sebanyak 1 kulak atau 2 kg. Demikian keadaan ladang mereka dibuat menurut kemampuan mereka yang masih kanak-kanak. Setelah padinya tumbuh, mereka pelihara dengan penuh semangat dan penuh kehati-hatian. Rumput-rumput yang mengelilingi padi mereka bersihkan.
BalasHapus