Janji pak Pogo dengan siluman ular |
“Pak, aku gembira
sekali kau telah kembali! Bagaimana pak? Apakah kau berhasil menemui ular sawah
penunggu hutan bambu itu, dan bagaimana dengan rebung bambunya, pak? Tanya Nyi
Suwanti sambil bangun dari tempat tidur dan menggamit tangan suaminya. Pak Pogo
membalas gamitan tangan istrinya dengan memeluk tubuh istrinya lalu duduk di
pinggir tempat tidur seraya menjawab pertanyaan istrinya:
“Istriku, rupanya
segala sesuatunya berjalan lancar sebagaimana yang kita inginkan, dan rebung
bambu itu aku letakkan di bawah pintu depan sebelum aku masuk tadi”.
“Oya, begitukah?
Jika demikian langsung kita siangi saja rebung itu, dan kita masak sore ini
juga, bagaimana, pak?”
“Aku setuju, bu.
Sebaiknya memang begitu, lebih cepat lebih baik sebab aku sudah tak sabar ingin
memiliki seorang anak darimu, bu!” demikian kata-kata penuh cumbuan yang
diucapkan pak Pogo sambil mencubit dagu istrinya yang teramat dicintainya itu.
Nyi Suwanti pun menjawabnya pula dengan penuh mesra:
“Hi, hi, hi,...
bapak ini bisa saja, gombal, akh! Lebih baik sekarang aku memasak rebung bambu
itu saja.” demikian kata-kata Nyi Suwanti dengan penuh sikap kemanjaan kepada
suaminya, Pak Pogo.
Singkat cerita,
mereka berdua pun asyik menikmati rebung bambu yang sudah dimasaknya itu dengan
sepiring nasi putih yang di makan bersama-sama. Sepiring berdua, seperti judul
lagunya Hamdan ATT, penyanyi dangdut yang terkenal itu. Sebulan kemudian mulai
nampak ada perubahan pada diri Nyi Suwanti. Ia sering muntah-muntah dan
perutnya pun mulai sedikit membesar. Melihat perubahan ini pak Pogo sangat
gembira karena ia tahu istrinya mengidam dan sedang hamil mengandung janin bayi
yang sangat diidam-idamkannya selama ini.
Tepat pada bulan
kesembilan lewat sembilan hari, Nyi Suwanti, istri pak Pogo melahirkan seorang
bayi perempuan mungil, beranbut hitam pekat, sedikit keriting dengan mata tajam
yang menandakan bahwa bayi itu kelak akan menjadi wanita yang cerdas. Pak Pogo
sangat bahagia sekali melihat istrinya melahirkan bayinya dengan lancar, sehat
dan tidak mendapat halangan satu apapun. Ia memberi nama bayinya itu, Sri Pogowanti. Kata “Sri” diambil dari
nama seorang Dewi Pelindung yang turun ke dunia menjelama jadi ular sawah untuk
melindungi bumi persawahan padi penduduk dari hama tikus yang suka merusak dan
memakan tanaman padi yang siap akan dipanen. Sedangkan “pogowanti” adalah
gabungan nama dirinya sendiri, Pogo dan nama istrinya Suwanti. Akan tetapi ada
yang masih menganjal dalam pikirannya, karena bayi yang dilahirkan
istrinya berjenis kelamin perempuan. Ia
jadi ingat akan janjinya kepada ular sawah penunggu hutan saat bertemu di hutan
bambu dahulu, yang akan bersedia menyerahkan anaknya kepada ular sawah setelah
berusia sembilan tahun jika anak yang dilahirkan berkelamin perempuan. Tetapi
janji yang harus dipenuhinya itu belum pernah dikatakan dan diberikatahukan
kepada istrinya, Nyi Suwanti. “Akh, biarkanlah yang terjadi maka terjadilah,
aku tetap tak akan membuka rahasia ini
kepada istriku. Aku tak mau membuat istriku jadi susah karena memikirkan hal
ini”. Demikian pikir pak Pogo dalam hati.
Hari-hari berjalan
terus, dari hari ke hari, dari minggu ke Minggu, bulan ke bulan, dan dari tahun
berganti tahun, maka tak terasa Sri Pogowanti yang dulu kecil bayi mungil kini
sudah berusia sembilan tahun. Kemungilan dan kecantikannya semakin bertambah.
Rambutnya bagaikan mayang terurai, panjang hingga sebahu, kulitnya kuning
langsat, suaranya lembut bagaikan buluh perindu. Meski usianya masih sembilan
tahun akan tetetapi bentuk tubuhnya seperti orang dewasa, sehingga membuat
terpesona bagi siapa saja yang melihatnya.
Pada suatu malam
saat pak Pogo dan istrinya tertidur lelap, mereka berdua serentak terjaga.
Mereka mendengar suara desis panjang dengan kata-kata yang cukup membuat
berdiri bulu roma. Ya, itu adalah suara desis ular sawah penunggu hutan bambu
yang datang menagih janji kepada pak Pogo, karena pak Pogo ternyata melupakan
janjinya untuk menyerahkan anak perempuannya, Sri Pogowanti:
“Pogo, kau lupa akan
janjimu sendiri bahwa akan menyerahkan anakmu kepadaku jika terlahir perempuan.
Ini sudah sembilan tahun berlalu, aku menagih janji akan mengambil anakmu untuk
kujadikan tumbal makananku.”
“oya, ya, ya, ya,...
ular sawah, tentu aku tidak lupa, maafkanlah aku! Ular sawah, aku mohon sekali
ini saja, maafkanlah kami! Beri kami waktu barang sepekan untuk merundingkan
masalah ini kepada istri dan anak kami, Nyi Suwanti dan Sri Pogowanti.”
Baik, Pogo! Aku
masih memberimu kesempatan. Akan tetapi jika sepekan ini kau tak datang ke
hutanku, aku akan datang kembali ke sini untuk merampas anakmu yang cantik
itu.” Demikian ancaman ular sawah kepada pak Pogo. Nyi Suwanti yang sama sekali
tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, menjadi terheran-heran,
terkesemima melihat ular sawah yang cukup besar melebihi bentuk ular sawah
sesungguhnya.(SP091257)
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar